Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Wajah tepian sungai Musi
di kota Palembang saat malam hari sudah berbeda. Tidak seperti awal tahun 2000, saat saya masih menetap di kota
pempek itu. Usai tunainya shalat Isya, orang-orang yang keluar untuk sekadar
berjalan-jalan di bagian seberang ilir cukup ramai. Itulah yang sya saksikan
pada Minggu malam (23/12/2017) saat mengikuti acara Travel Writing.
Travel
Writing dimulai pukul 19.00 WIB dari hotel Majestik itu.
Titik awal perjalanan kami di Masjid Agung. Kami shalat Isya dahulu, kemudian
jalan bersama-sama ke Monpera. Monumen perjuangan rakyat semakin menarik dengan
huruf MONPERA yang disorot lampu. Teman-teman memilih berfoto di depan huruf
sesuai huruf nama mereka. Kalau ditambahkan huruf K, jadi MONPERAK.
Puas berfoto dengan
beragam pose, kami kembali berjalan ke tepi Musi. Wow! saya sempat takjub,
plaza Musi begitu ramai serupa alun-alun. Orang-orang berkerumun, sebagain
besar foto bersama dengan latar jembatan Ampera, tulisan PALEMBANG dan patung
ikan Belida, iwak Belido, kata orang Palembang.
Malam menjadi pilihan
untuk jalan-jalan di Kota Palembang, satu dari sekian alasannya adalah: malam
hari tidak begitu panas. Meskipun begitu, saya sempat berkeringat. Saya salah
kostum menggunakan jaket dan baju kaos tipis karena kebiasaan di Bandung.
Harusnya cukup mengenakan t-shirt saja, ya.
Satu bangunan yang
sangat menonjol di tepi sungai Musi saat ini adalah Sosial Market, semacam mal
tapi tidak begitu besar. Entah bagaimana keadaan di dalam Sosial Market itu.
Saya hanya tahu ada bioskop CGV saja di sana. Semakin banyak pilihan warga
Palembang mencari hiburan di tepi sungai Musi.
Satu hal yang agak
mengganggu saya adalah tebaran lapak pembuat tato di plaza sungai Musi. Mereka
menghamparkan pola tato. Jika ada yang berminat, mereka harus membayar sekitar
Rp5.000 – Rp10.000 per cm2 Banyakkah peminatnya? Entahlah.
Pedagang lain yang
banyak saya temukan di plaza Musi adalah penjual mie tek tek dan nasi goreng,
juga pedagang pempek dan kemplang panggang. Pedagang mainan anak-anak juga
cukup banyak, terutama semacam baling-baling bambu yang dilengkapi lampu.
Menjelang pukul 22.00
WIB, kami mulai beranjak dari depan Benteng Kuto Besak. Memesan taksi via
aplikasi daring, pulang ke hotel Majestik. Rencanan menyusuri Sudirman Walk,
trotoar sepanjang jalan Sudirman yang dipercantik terpaksa dibatalkan. Masih
ada satu mata acara membahas digital content, sayalah pematerinya.
Menjelajah tepi sungai
Musi setelah belasan tahun meninggalkan Palembang memberikan kesan tersendiri
pada saya. Sensasinya seperti makan pempek di kota Palembang yang rasanya jauh
berbeda dengan pempek di Bandung. Susah menjelaskannya.
Anggapan Palambang sepi dan
tidak aman di waktu malam, rasanya tidak relevan lagi. Pemerintah kota dan daerah
sepertinya ingin menghapus anggapan itu. Terlebih Palembang akan menjadi tuan
rumah Asian Games. Dan harapan saya, semoga saja ramainya kehidupan malam
Palembang tetap berdampak positif. Tidak berkembang jadi kehidupan malam, yang
gimana gitu.
Komentar
Posting Komentar