Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Publikasi
film Tausiyah Cinta mulai bergema pada Oktober 2015 lalu melalui gerakan nonton
bareng (nobar). Biasanya, nobar menjadi salah satu sarana promosi film saat sudah
tayang di bioskop. Untuk film Tausiyah Cinta, nobar dan masa tayang di bioskop
berjarak hampir 3 bulan. Pada 7 Januari 2016, film Tausiyah Cinta baru muncul
di bioskop dengan jumlah layar terbatas. Saya menjadi salah satu orang yang (bela-belain) nonton di hari pertama
tayang di bioskop itu.
Tiga Tokoh Film Tausiyah Cinta
Lefan
Aurino, seorang eksekutif muda, konseptor bangunan. Karirnya sukses, mendapat
sorotan positif dari media; wajah close-up-nya
menghias satu majalah nasional. Lefan tinggal bersama kakaknya, seorang daiyah
yang sibuk dakwah ke mana-mana. Ibu Lefan telah tiada dan ayahnya sudah
memiliki istri lagi. Lefan menyimpan emosi negatif terhadap kondisi
keluarganya. Ia menuding kakaknya hanya bisa berdakwah untuk orang lain tetapi
gagal mendakwahi keluarganya sendiri. Ia selalu sinis dengan uluran keakraban dari
ayahnya. Lefan Aurino seolah menjadi gambaran lajang kota yang sukses di karir
dan usahanya, namun merana di rumah.
Azka
Pradipta, memiliki keluarga yang hangat dan penuh perhatian. Meskipun menetap
dan berkarir di Jakarta sebagai arsitek, hubungan dengan ayah-ibu serta adik
perempuannya di Surabaya tetap terjalin akrab. Azka juga seorang penghafal Al
Qur’an (Hafiz). Ia rutin muroja’ah (mengulangi hafalan ayat Al Qur’an) bersama
sesama hafiz lainnya. Teman dan ustad pengajian yang diikuti Azka sangat peduli
pada kehidupan pribadinya. Semua itu ditambah dengan sosok dan wajah Azka yang good looking. Kehidupan dan pribadi
seorang Azka tampak sempurna.
Rein
juga menjalani kehidupan dengan keluarga yang mirip dengan Azka. Ibu yang rajin
mengikuti pengajian. Ayah dan adik yang selalu menawarkan kehangatan dan canda
tawa. Rein juga mahasiswi Teknik Lingkungan yang berprestasi. Disain rancangan
pengolahan air limbah wudhu-nya dianggap cemerlang oleh dosen dan memenangkan
satu kompetisi rancang-disain. Rein selalu mengenakan jilbab lebar dan pakaian
longgar yang terlihat fashionable. Meskipun begitu, Rein bukan perempuan
kemayu. Ia biasa naik ojek dan suka memanah. Beberapa pria mengincar Rein untuk
dijadikan calon istri. Satu dua orang menyatakan secara terbuka bahwa mereka
menginginkan Rein jadi pendampingnya.
Ketiga
anak manusia itulah yang sosoknya terdapat di dalam poster film Tausiyah Cinta.
Sekilas, kita mungkin menerka bahwa film produksi Beda Sinema itu akan
mengusung tema cinta segitiga. Nyatanya, film Tausiyah Cinta menceritakan cinta
dalam banyak segi dengan tokoh utama Lefan, Azka, dan Rein. Ketiga tokoh itu
bertemu saat Rein mempresentasikan ide pengolahan air limbah wudhu pada satu
kompetisi disain proyek. Berawal dari konsep disain pengolahan air limbah wudhu
inilah mengalirlah konflik kehidupan ketiga tokoh itu. Kehidupan yang jarang
ditampilkan oleh film-film nasional era pasca reformasi. Kehidupan anak-anak
muda aktivis dakwah.
Tokoh Film Tausiyah Cinta sebagai Produk Dakwah
Anggaplah
Lefran, Azka dan Zein berusia di kisaran usia 25 tahun. Artinya mereka lahir
sekitar tahun 1990. Masa kanak-kanak mereka sudah diwarnai oleh televisi swasta,
namun belum terpapar dunia maya. Masa remaja mereka menghirup udara reformasi. Ketiganya
tumbuh dan berkembang dewasa bersama ceramah yang mulai jadi hiburan, jilbab
menjelma dari penutup aurat muslimah menjadi komoditas fashion yang omsetnya menggiurkan, serta evolusi gadget yang
menjadi identitas diri dan kebutuhan primer kekinian. Perubahan yang sangat
cepat di berbagai segi kehidupan sejak tahun 1990-an namun berhasil menampilkan
sosok Azka yang mampu menghafal surah-surah Al Qur’an tetapi tampil modern dan Rein
yang berjilbab rapi serta berprestasi secara akademis dapat dimaklumi karena
orangtua mereka adalah aktivis dakwah atau dekat dengan dunia dakwah. Dan
itulah fakta yang ditampilkan film Tausiyah Cinta.
Adapun
Lefran dalam film Tausiyah Cinta tidak diperlihatkan detil bagaimana masa
pengasuhan orang tuanya. Hanya beberapa adegan menyiratkan kekecewaan dan kemarahan Lefran kepada ayah
dan kakak yang sibuk berdakwah dan lupa dengan keluarga. Dari sosok Elfa
(Hidayatur Rahmi), kakak Lefran yang daiyah, dapat disimpulkan bahwa Lefran pun
dekat dengan dunia dakwah. Sedikit banyak kakaknya memengaruhi Lefran meskipun
Lefran sendiri menuding sang kakak lebih mengutamakan dakwah kepada orang lain,
bahkan melupakan keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah Lefran sendiri. Sebab
mereka tinggak berdua bersama pembantu. Penyebutan keluarga ini bisa membuat
bingung karena keluarga dipersepsikan sebagai ayah-ibu dan anak-anaknya yang
masih perlu perhatian besar.
Orang-orang yang aktif dalam kegiatan dakwah
biasanya memiliki konsep diri yang positif tentang dirinya. Konsep diri (self-concept)
adalah kesadaran seseorang mengenai dirinya. Deaux, Dane, & Wrightsman
(1993) mengemukakan bahwa konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan
seseorang mengenai dirinya. Keyakinan itu dapat berkaitan dengan bakat, minat,
kemampuan, penampilan fisik, dan lain sebagainya. Aktivis
dakwah cenderung memiliki perasaan dan keyakinan
positif mengenai dirinya. Mereka bangga dan senang berotasi di dunia dakwah,
sebab pahala dan surga akan menjadi balasannya.
Konsep
diri yang positif ini bisa diturunkan kepada anak-anaknya, namun tidak menjamin
mereka kuat dalam menghadapi rintangan dan cobaan dari Allah Swt. Konsep diri
yang positif terhadap dirinya terlihat pada Azka, Lefran, dan Rein. Namun saat
mendapat cobaan, Azka terlihat rapuh juga, sedangka Lefran menjadi lelaki mellow saat tidak bisa meraih apa yang
diinginkannya. Sedangkan tokoh Rein tidak diperlihatkan mendapat cobaan yang
berarti kecuali kegalauan, bimbang dan ragu saat dihadapkan soal pilihan
pendamping hidup.
Konflik
orang-orang yang memiliki konsep diri positif namun bisa galau juga saat
mendapat cobaan Allah Swt inilah yang belum tergarap rapi dan halus dalam alur
cerita film Tausiyah Cinta. Lefran sebagai tokoh yang membuka cerita dengan
konflik dakwah sang kakak tidak menjadi ‘planet’ dengan tokoh-tokoh lain
sebagai satelitnya. Azka, Lefran, dan Rein harus berbagi porsi cerita dalam
durasi 2 jam saja. Penceritaan mereka pun harus diselingi munculnya tokoh Afian (Zaky Ahmad Riva’i) yang
menjadi penutup penting cerita Tausiyah Cinta. Mungkin jika penulis skenario
fokus mengembangkan konflik dan subkonflik pada Lefran saja, alur film ini
dapat berjalan mulus tanpa kesan lompat-lompat, atau datang-lenyap.
Mungkin ketidakfokusan cerita terjadi karena keinginan yang begitu kuat untuk menasihati para penonton yang diproyeksikan sebagai aktivis dakwah. Dugaan itu diperkuat dengan pencantuman subtittle terjemahan ayat-ayat Al Qur’an yang beberapa kali dilafalkan para pemainnya. Nasihat-nasihat verbal pun kerap muncul melalui mulut para tokoh. Keverbalan nasihat ini juga mungkin karena sasaran penonton adalah orang-orang yang jarang menonton film sehingga perlu dinasihati dengan kalimat-kalimat langsung. Bagi aktivis dakwah, bisa jadi merasa tertampar setelah menonton film ini, akibat berbagai pesat tersurat dan nasihat dalam film Tausiyah Cinta.
Bersambung... ke sini
Produser : Suwandi Basyir, Azwar Armando
Sutradara : Humar Hadi
Penulis : Nadia Silvarani, Maryah El
Qibthiyah, Yuli Retno Winarsih, Humar Hadi
Pemeran : Hamas Syahid Izzuddin, Ressa
Rere, Rendy Herpy
Durasi : 100 menit
Rating : 13+
Sumber foto
analisisnya bagus, tapi kalau liat ulasan kang koko, filmnya tampak menggurui yah?
BalasHapusSilakan nonton aja Hilman ^_^...
HapusMemang sulit memadukan beberapa hal sekaligus, mendakwahi sekaligus mengisahkan. Tapi, sebenarnya orang dewasa itu juga bisa kok, menangkap pesan2 tersirat. Jadi tak harus tersurat. Bagaimanapun, tetap salut dengan tim Tausiyah Cinta.
BalasHapusIya, jadi pengen bikin versi novelnya yang lebih fokus
Hapus