Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Bagaimana kisah Mas Gagah dan Gita dalam Novelet Ketika Mas gagah Pergi Bagian 1? Mengharukan? Apakah kamu meneteskan air mata setelah membacanya?
Kisah Gita masih berlanjut. Kali ini ada tokoh baru, Yudi namanya. Apakah Yudi akan menggantikan posisi Mas Gagah di hati Gita. Silakan simak saja lanjutan kisah Ketika Mas Gagah Pergi ini...
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi
Bagian 2
Setahun kemudian…
Pagi
itu aku kembali berlari-lari mengejar bus jurusan Pulo Gadung-Depok dengan
seragam putih abu-abu.
Ya,
sejak kami sekeluarga pindah dari Pasar Minggu ke Rawamangun, perjalananku
menuju SMA Cendana jadi lebih lama. Bukan itu saja, aku yang terbiasa berjalan
kaki ke sekolah kini harus berdesak-desakan dalam bus, menahan sabar saat
macet, mendengarkan sumpah serapah kondektur bus pada beberapa mahasiswa yang
selalu dikiranya karyawan, dan tiba di sekolah dengan perut mual serta kepala
pening akibat supir yang ugal-ugalan dan suka mengerem mobilnya secara
mendadak.
“Kamu
nggak mau diantar saja, Gita? Capek loh di jalan. Apalagi kamu sudah kelas
III,” tanya Mama.
Aku
menggeleng. Sejak Mas Gagah meninggal, entah mengapa aku tak pernah mau naik
sedan itu lagi. Hal yang akan semakin mengingatkanku pada masa-masa
bersamanya….Lagi pula macet yang dahsyat selalu membuatku merasa lebih baik
naik kendaraan umum.
Jadi
begitulah, aku selalu berangkat lebih pagi. Jam setengah enam aku sudah berada
dalam bus dan semua jadi lebih menyenangkan. Udara yang segar, jalanan lengang,
Sopir dan kondektur yang belum stress, serta bangku-bangku yang belum
seluruhnya terisi.
“Asalaamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh! Salam sejahtera!”
Aku
melihat ke depan. Para penumpang lain juga melakukan hal yang sama tanpa
menjawab salamnya. Pengamen atau mau minta sumbangan nih?
Kulihat
lelaki dengan kemeja kotak-kotak cokelat dan celana panjang krim. Ia menyandang
tas hitam. Tak ada gitar atau kotak amal di tangannya. So, mau ngapain nih
orang?
Aku
melengos.
“Maaf
bila kehadiran saya mengganggu kenyamanan bapak Ibu dan saudara-saudara. Tetapi
ijinkanlah saya menunaikan kewajiban sebagai hamba yang telah diberikan setitik
ilmu oleh Allah SWT, yang tentunya harus disampaikan setelah diamalkan.”
Lalu
tiba-tiba saja ia mengucapkan basmallah, hamdalah…, serta syahadat. Lalu
dilanjutkannya dengan ayat Al-Qur’an dan hadis. Kayak orang yang mau ceramah
saja! Tetapi … aku tergetar. Suaranya merdu.
“Saudara-saudaraku,
Bapak-bapak dan Ibu-Ibu…, sudahkah anda membaca koran pagi ini?” sapanya.
Tak
ada yang menjawab. Lelaki itu tersenyum. Aku jengah. Tak habis pikir…, mau
ngapain sih orang ini? Kutatap wajah dan sosoknya. Hampir tak berbeda dengan
para mahasiswa pada umumnya. Tinggi, kurus, hitam berambut agak ikal dan
berkacamata minus. Yaa lumayan manis deh….
“Mengapa
banyak orang di negeri kita menjadi koruptor? Apa yang sebenarnya terjadi?
Tidakkah kita malu, sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita malah
mendapat ranking tertinggi dalam korupsi? Bagaimana cara mencegahnya?”
Aku
mulai terperangah. Orang-orang di dalam bus mulai mengatur duduk mereka lagi,
mencari posisi yang lebih nyaman untuk…ini dia… mendengarkan lelaki aneh itu!
Apalagi yang mau dia katakan?
Lelaki
itu terus bicara. Dan lama-lama para penghuni bus, termasuk aku larut mendengar
omongannya. Seorang bapak yang sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku,
kini duduk tegak dengan kening berkerut. Seorang mahasiswi yang duduk tak jauh
di hadapanku terlihat memiringkan kepala dan memicingkan matanya. Dua pemuda
berambut gondrong yang baru saja bermaksud mengamen segera mengurungkan
niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa menagih ongkos!
Wah,
lelaki ini membuat semua terkesima!
“Berapa
banyak orang miskin kian miskin karena perilaku korupsi skala kecil maupun
besar. Bermula dari diri kita, keluarga dan sekitar, mari kita berjuang untuk
menjadi pribadi yang lebih jujur, dan berahlak mulia. Jadi kesimpulannya, Islam
itu indah, tetapi kita sebagai umat Islam, seringkali membuatnya tampak buruk.
Kalau kita orang Islam, wajib malu dengan stigma korupsi yang melekat di negeri
ini. Kebenaran itu mutlak milik Allah, dan bila ada kesalahan maka itu semata
karena kekhilafan saya. Billahi fisabililhaq. Wassalamu’alaikum warohmatullahi
wabarokatuh.”
“Wa’alaikum
salaaaaaaammm!”
Kudengar
hampir seluruh penumpang bus menjawab salamnya diiringi dengan tepukan tangan.
“Minggu!
Minggu! Minggu!” teriak kondektur.
Aku
bergegas turun. Di depanku, lelaki orator itu telah melompat lebih dulu dan
segera hilang ditelan keramaian.
“Tadinya
saya kira dia mahasiswa gila. Nggak tahunya anak cerdas berbudi! Hebat dia!”
seru seorang bapak yang sempat kudengar.
Jam
06.00. Aku baru saja membuka buku sosiologiku sambil menikmati semilir angin
pagi ketika sebuah salam menyapa seluruh penumpang bus yang masih tampak
terkantuk-kantuk….
Lelaki
itu lagi! Kali ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak hijau dan menyandang
ransel.
“Maaf,
saya mengganggu perjalanan Anda semua,” katanya tersenyum. “Sesungguhnya orang
yang ‘laisa minal khoisirin’ atau bukan termasuk orang-orang yang merugi adalah
mereka yang senantiasa nasehat-menasehati dalam keadaan apa pun.”
Kututup
buku sosiologiku. Penasaran.
“Ibnu
Umar pernah berkata: “Aku datang kepada Nabi SAW, maka bertanyalah seorang pria
Anshor: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bijaksana dan paling mulia?”
Maka Nabi Saw menjawab: “Orang-orang yang paling banyak mengingat mati dan
gigih berusaha untuk persiapan menghadapi mati, merekalah orang-orang yang
bijaksana sehingga mereka itu nantinya pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan
keutamaan akhirat,” demikian hadist riwayat Ibnu Majah. Maka kembali pada diri
kita, sudahkah kita siap menghadapi kematian yang pasti datang? Dalam Al-Qur’an
dikatakan kita tak akan bisa lari daripadanya. Bahkan saudaraku, bisakah kita
menjamin bahwa esok kelak kala matahari terbit kita masih hidup?”
Hening.
Yang terdengar cuma deru mobil dan suara teriakan kondektur bus. Aku tergetar.
Ah, mati. Mengapa lelaki ini bicara soal mati? Hal yang sudah lama tak lagi
kupikirkan sejak Mas Gagah pergi….
Lelaki
itu terus bicara. Suaranya yang keras bersaing dengan deru bus dan hingar
bingar jalan raya. Tapi ia seolah tak peduli. Kini kutangkap ketulusan, juga semangat
yang menyala-nyala dalam dirinya.
“Minggu!
Minggu!”
Setelah
berpamitan pada semua penumpang, seperti biasa ia turun. Sebelumnya kudengar
suara seorang Ibu. “Saya kira anak tadi ceramah terus minta duit…, nyatanya kok
enggak ya, padahal saya sudah siapin!” katanya tak mengerti sambil memasukkan
kembali selembar ribuan ke dalam tasnya. Beberapa kepala yang lain
manggut-manggut.
Upss!
Mestinya aku turun juga di Pasar Minggu. Yaaa, kelewatan deh! Habis, lelaki itu
hari ini membuatku harus mengusap airmata. Mati. Kata-kata itu terngiang terus
setelah aku sampai di sekolah!
“Memangnya
orang itu ngapain? Iseng banget?” tanya Tri teman sekelasku, di kantin sekolah.
“Ya
ceramah!” kataku sewot. Dari tadi aku sudah ramai cerita….eee Tri malah telmi!
“Orang
kan ceramah di masjid, di mushala. Masak di bus!? Terus penumpang dimintain
duit berapa?” tanyanya sambil meminum teh botolku.
“Kan
tadi udah aku ceritain, dia nggak pernah minta duiiit!” bibirku maju beberapa
senti, dan tanganku merebut kembali teh botolku tepat sebelum Tri
menghabiskannya.
“Jangan
marah dong, Non. Kayaknya kamu kesengsem sama cowok tak bernama itu ya?” Tri
cengar-cengir. “Memangnya dia keren? Seperti siapa? Seperti Nicholas Saputra,
Dude Herlino? Atau seganteng almarhum Mas Gagah?”
Aku
menarik napas panjang. Tri…Tri….
“Maaf
Gita, maaf…aku nggak bermaksud mengingatkanmu pada almarhum…,” tukas Tri
seperti mengerti pikiranku.
“Assalaamu’alaikum!”
Aku
menoleh. Tika!
“Kalian
berdua tidak ikut rapat rohis? Hari ini ada beberapa program yang akan kita
bicarakan lho,” kata Tika sambil duduk di sampingku.
“Oh
iya, Tik! Aku malah ada usulan yel untuk rohis baru kita!” seruku seperti ingat
sesuatu. Wajah Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan Mas Gagah melintas di
hadapanku.
“Oh
ya?” wajah Tika berseri. “Seperti apa yel-nya? Teman kita yang laki-laki juga
belum dapat tuh yel rohis.”
Tri
pun menatapku ingin tahu.
Aku
melihat sekeliling. Sudah lumayan sepi. Saatnya beraksi. “Nih, kayak gini nih
yel -nya!” Aku berdiri tegak menghadap mereka, lalu berteriak keras , “Rohis
Cendana!” Setelah itu aku melompat lompat sambil mengepalkan tangan ke atas:
Huh huh huh huh: Istiqomah!”
Tika
dan Tri memandangku aneh.
“Itu
tadi apaan, Git?” Tanya Tika.
Ah,
mereka memang tak tahu yel keren. Sangat tidak apresiatif. Mereka malah
geleng-geleng kepala.
“Dasar
kelakuan! Dah pakai jilbab, masih aja preman!” seru Tri padaku.
Tika
tergelak.
O…o!
Hari
itu, pulang sekolah, Tri mengajakku dan Tika mampir ke rumahnya di Depok I.
Sambil menyelesaikan paper Sosiologi, kami melanjutkan obrolan tentang “makhluk
aneh dalam bus itu”. Tapi sepertinya Tri lebih tertarik membicarakan Bob, anak
basket idola cewek-cewek Cendana.
Akhirnya
tak lama aku pulang. Kali ini naik kereta Jabotabek. Aku biasa turun di Cikini
dan dengan menyambung sekali kendaraan sudah bisa sampai di rumah.
Kereta
melaju dan bergoyang-goyang. Aku menyelusuri gerbong demi gerbong, mencari
tempat yang agak nyaman. Seperti biasa angkutan rakyat ini benar-benar
berjubel. Semua jenis manusia dengan beragam profesi ada di sini. Mahasiswa,
pedagang asongan, dosen, karyawan, karyawati, pengangguran, pencopet, dan tentu
saja… para pengemis yang selalu ‘memeriahkan suasana’!
Bau
keringat, bau sampah. Suara makian, batuk. Lalu ludah dan dahak yang dibuang sembarangan,
tangisan bayi, kerincingan para pengamen….
Sampai
di gerbong ke empat…ya ampun! Aku terkejut sekali! Si Mas Kotak-kotak
(kemejanya selalu kotak-kotak) itu ada di situ! Dan seperti biasa, ia sedang
ceramah!
Suaranya
di ujung gerbong tak begitu terdengar dari tempatku berdiri kini. Aku maju
mendekat. Kebetulan ada bangku kosong tak jauh di depan Si Kotak-kotak. Dan
dengan cueknya aku duduk. Sungguh, aku ingin mendengar apa yang dikatakannya.
“Jadi
untuk apa kita hidup? Sebagai muslim, kita harus punya jawaban pasti untuk
pertanyaan tadi,” katanya.
“Hidup
ya untuk makan, menikah dan bayarin sekolah anak-anak!” kata seorang bapak tua
bergigi ompong, pedagang jambu yang duduk di dekat pintu, disambut gerrr yang
lain dan gemuruh suara kereta.
Si
Kotak-kotak Merah Hati tersenyum.
“Hidup
itu ya untuk berusaha…,” kataku tiba-tiba dengan suara keras.
“Ya,
adik betul! Berusaha untuk senantiasa mengabdi kepadaNya. Di surat Adz-Dzariyat
ayat 56 Allah bersabda: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah, mengabdi kepadaKu!”
Aku
menunduk. Kena lagi gua!
Entah
apa namanya. Kebetulan barangkali. Tetapi hari terus berlalu dan hampir setiap
hari aku bertemu dengan lelaki tak bernama yang selalu memakai kemeja
kotak-kotak itu. Di bus, dalam kereta… bahkan yang bikin aku heran bukan
kepalang, aku pernah bertemu dengannya kala tak sengaja menyusuri rumah-rumah
triplek di sepanjang kali Ciliwung! Pernah juga di Tanah Abang, lalu di Pekan
Raya Jakarta saat aku, Mama, dan Papa ke sana! Kebayang nggak sih? Di PRJ dia
ceramah ini sambil menggelar buku-buku agama.
“Buku
ini berapa, Nak?” tanya seorang bapak tua berbaju lusuh bersandal jepit sambil
memegang buku tentang sholat tersebut.
“Mengapa
Bapak memilih buku itu?”
Si
Bapak tersenyum malu. “Saya ingin menjaga shalat saya. Selama ini belum benar.”
“Ambillah,
Pak. Semoga bermanfaat. Saya berikan untuk Bapak.”
Si
Bapak terpana. Langsung mendekap buku tebal karangan Al-Ghazali itu dengan
haru.
“Sekarang
boleh saya meminta buku tentang warisan ini?” tanya seorang Ibu berpakaian
bagus. Wow, silau juga aku memandang perhiasannya.
“Silakan
Ibu letakkan uang infaqnya di kaleng ini seikhlas Ibu. Insya Allah untuk
disalurkan pada orang yang berhak menerimanya,” seru Si Kotak-kotak.
Begitulah.
Di mana ia berada di sana selalu banyak yang memperhatikannya. Wajar. Habis
yang diangkat menjadi bahan pembicaraan selalu yang menarik, seru, aktual dan
hebat. Belum lagi manuvernya.
Lelaki
berkemeja kotak-kotak itu juga sangat unpredictable dan berani. Pernah kami
sama-sama di dalam miniarta yang padat. Hampir tak ada celah, sesak sekali. Ia
bahkan tak menyampaikan tausiyahnya seperti biasa. Tiba-tiba saja terjadi
keributan. Dalam gerak cepat kulihat lelaki itu mencengkeram tangan seorang
pemuda berbaju rapi.
“Kembalikan
handphone ibu itu!” katanya tegas, pada pemuda tersebut, sambil memegang tangan
si pemuda yang mencoba menyembunyikan sebuah ponsel.
Para
penumpang langsung ribut dan berteriak-teriak, “Copeeet! Copeet! Gebukin aja,
Bang! Habisin! Habisin!” beberapa pemuda mencoba merangsek maju seakan ingin
membantu Si Kotak-kotak!
“Tahan!”
teriak Si Kotak-kotak. “Bu, ini hape ibu. Lain kali hati-hati,” ujarnya.
Si
Ibu yang diajak ngomong bengong. “Lah kapan diambilnya?” gerutunya sambil
menerima benda itu kembali. “Nah iya ini hape saya! Dasar copet!”
Beberapa
orang mendekati si pencopet, sepertinya ingin menghakimi. Lalu tiba-tiba sebuah
pukulan mendarat di wajah pencopet itu!
“Tahan,
Bang! Tahan!” teriak si Kotak-kotak lagi. “Pak Sopir, berhenti, Pak!”
Saat
miniarta berhenti Lelaki itu menarik si pencopet turun. “Kamu harus
bertanggungjawab,” katanya.
Beberapa
lelaki ikut turun.
Miniarta
lalu melaju. Dari kaca belakang miniarta kulihat Si Kemeja kotak-kota berusaha
mencegah amuk beberapa pemuda. Ia merangkul pencopet itu dan mengajaknya entah
kemana.
Semoga
insyaf tuh orang, pikirku. Syukur saja tak jadi bulan-bulanan.
Soal
Si Kotak-kotak, terus terang aku makin penasaran pada pribadinya. Siapa dia?
Siapa orangtuanya? Kuliahkah, pengangguran atau sudah bekerja? Di mana
rumahnya? Dan mengapa ia seakan sangat mirip dengan seseorang yang dekat
denganku?
Pertanyaan
itu belum juga terjawab hingga aku diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI!
“Palestina
masih terus berjuang untuk kemerdekaan mereka. Di negeri itu, semua yang
menentang penjajahan disebut teroris, bahkan bocah-bocah yang membawa batu
melempari tentara Israel. Dan dunia diam. Mengapa? Karena korbannya muslim?
Jadi berapa pun yang tewas tak ada yang peduli? PBB cuma mengaku bersimpati.
Amerika cuma jago menghimbau, sementara negeri-negeri Islam berpecah belah.
Wahai kaum muslimin Indonesia, dimanakah kalian? Tidakkah kita sempat untuk
sekadar mendoakan mereka?”
Ramadhan,
jelang berbuka puasa. Di dalam kereta api Jabotabek dari kampus menuju Cikini,
kulihat airmata mengambang di pelupuk mata lelaki tak bernama itu. Ia masih
seperti dulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat yang tak surut sedikit
pun. Bahkan pada saat puasa begini ia membuatku ingin menangis.
“Ramadhan
seperti apakah yang dilalui saudara-saudara kita di Palestina? Tahukah Anda,
pada Ramadhan mulia ini kebiadaban dan kekejian terus digelar di sana? Apa yang
terjadi melebihi tragedi Nazi. Para bocah kehilangan tangan dan kaki, para
pemuda dan wanita juga dibantai, rumah-rumah mereka dirobohkan dan tanah mereka
dirampas, sementara kita di sini masih tertawa-tawa tak percaya.”
“Darimana
kamu tahu tentara Israel lebih kejam dari Nazi?” kejar seorang bapak—sepertinya
dosen—dingin.
Si
Kotak-kotak mengeluarkan berbagai kliping surat kabar dan majalah, lengkap
dengan foto-foto yang telah diperbesar. “Lihatlah sendiri. Saya mengumpulkannya
dari berbagai majalah internasional. Silakan anda lihat! Pertanyaan saya cuma
satu. Adakah ukhuwah Islamiyah yang masih tersisa di dada kita? Bahkan kita
kalah reaktif dengan rakyat Amerika Serikat yang bila ada satu saja warga
negaranya tewas di Irak atau hilang di Indonesia, pemberitaan begitu gencar dan
simpati dunia segera mengalir. Tapi ribuan saudara kita dibantai kita bahkan
tak mengetahuinya….”
“Kenapa
kita harus memikirkan Palestina? Jauh amat. Pikirin yang dekat-dekat saja dulu.
Nih negeri kita yang semakin miskin dan kacau…,”nada sinis seorang pemuda
gondrong. “Palestina dipikirin. Kayak nggak ada kerjaan….”
Lelaki
berkemeja kota-kotak itu menghampiri si Pemuda. “Abang betul,” katanya.
“Prioritas kita adalah saudara-saudara kita satu bangsa, satu tanah air. Satu
daerah, satu RT, pera tetangga kita! Kita tak boleh mengabaikan mereka. Apa
yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban saudara-saudara kita di sini,
harus disegerakan, karena ada hak-hak atas mereka dalam diri kita yang harus
ditunaikan.”
Si
Gondrong menatapnya tajam.
“Tetapi
Islam mengajarkan kita, untuk berbuat maksimal. Di mana pun kita berada, itu
adalah bumi Allah, termasuk Palestina. Di sana sedang terjadi penjajahan biadab
puluhan tahun. Kita tak usah bicara Islam, bicara nilai-nilai kemanusiaan yang
Abang anggap lebih universal. Apakah kita akan menjadi bangsa yang bungkam atas
nasib bangsa lainnya? Bukankah Indonesia adalah negeri yang tak pernah
mentolerir penjajahan? Lagi pula, secara historis, ada warisan Islam, Masjid Al
Quds, tempat Nabi Muhammad SAW Isra-mi”raj yang sedang terancam hancur. Siapa
yang akan peduli? Lalu karena alasan Indonesia belum makmur, kita tak boleh
menengok nasib mereka? Sekadar mendoakan dari jauh pun tak mau? Lihat, dalam
kesengsaraan mereka warga Palestina masih setia membantu kita setiap kali
negeri kita dilanda bencana. Dan itu mereka lakukan sejak sebelum kita merdeka
dulu!”
Si
Gondrong diam, mengusap-usap pipinya.
“Ya,
adik benar,” suara orang yang tadi kuduga dosen.
Aku
mengusap mataku yang mulai berembun. Kulihat beberapa orang di sekitarku juga
tampak seperti disentakkan dan terenyuh.
“Saya
ingin menyumbang…,” kata seseorang. “Bisa lewat adik?”
“Tidak.
Tapi pergilah ke yayasan-yayasan Islam atau Bulan Sabit Merah Indonesia.
Alhamdulillah, Allah menggerakkan hati Bapak.”
Kereta
terus melaju. Berguncang-guncang. Melonjak keras. Seperti hatiku, setiap kali
mendengar kata-kata lelaki tak bernama itu.
“Oh
ya, ini memang tak seberapa, tetapi lumayan untuk berbuka puasa,” sekitar lima
menit sebelum adzan lelaki itu membagi-bagikan kurma pada para penghuni gerbong
yang mulai resah mencari-cari makanan.
“Silakan,
Dik,” ujarnya ramah padaku yang terbengong-bengong.
Ada
sih orang kayak gini?!
Aku
sering bertemu Si Kotak-kotak itu hingga aku lulus SMA dan diterima di Fakultas
Ilmu Budaya UI. Beberapa kali kutemukan ia tengah berada di UI. Apa ia juga
kuliah di sini? Aku tak bisa memastikannya. UI terlalu luas. Bahkan fakultas
satu dengan yang lain berjarak cukup jauh dan biasanya di tempuh dengan bis
kuning, meski masih satu lingkungan. Dan mahasiswanya…, banyak sekali. Aku
sendiri memasuki tingkat dua memutuskan untuk kos. Capek juga pulang balik naik
bus atau kereta tiap hari.
Akhir
semester lalu, aku masih ingat. Hari itu aku baru pulang ujian dan berniat
mampir di Kantin Kukusan, dekat tempat kos –untuk membeli nasi bungkus.
Tiba-tiba kudengar suara seseorang. Suara yang keras, tegas, berwibawa dan enak
didengar. Begitu kukenal. Ah, kutepiskan pikiranku dan masuk ke dalam kantin.
Di depan pintu aku terpaku.
Belasan
orang duduk tak teratur menghadap seseorang yang berdiri di sudut ruangan. Si
Mas Kotak-kotak tak bernama itu! Dan di sekitarnya… ya ampun, cowok semua!
Kecuali pelayan rumah makan yang juga sedang terbengong-bengong! Kutarik napas
panjang, dasar nasib, udah tahu markas cowok teknik, nekat juga. Ya, cueklah!
Namanya juga orang lapar!
“Namanya
Dr. Alexis Carrel. Ia peraih Nobel dalam bidang kedokteran tahun 1912, dan
direktur riset Rockfeller Foundation. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa
berdoa bisa menjadi sumber aktivitas terbesar bagi anggota tubuh kita. Sebagai
dokter, ia melihat kebiasaan berdoa bagaikan tambang radium yang menyalurkan
sinar dan melahirkan kekuatan diri.”
“O
ya? Begitu ya, Bang?” tanya seorang cowok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
diiringi decak kagum.
Aku
masih terpaku di pintu.
“Eh,
nasinya keburu dingin nanti! Ayo kita makan. Rasulullah saja tak pernah
membiarkan makanan menunggu lho!” ujar si kotak-kotak memecahkan suasana yang
sesaat hening.
“Eh
iya, Bang…memang sudah lapar kali ni,” ujar seseorang yang tepat berada di
depan si kotak-kotak dalam dialek Sumatera Utara.
“Tapi
jangan lupa, setiap kali kita bisa menjumpai makanan, selain bersyukur, kita
juga harus ingat saudara-saudara kita yang dhuafa di negeri ini…”
“Waaaah
tak bisa makan aku nanti, Bang,” seru si logat Sumatera Utara tadi.
“Para
tetangga terdekat kita…,” Si Kotak-kotak tersenyum. “Jangan sampai kita makan,
mereka tak makan….”
“Makin
tak bisa makanlah, Bang…,” lelaki di depan si Kotak-kotak itu kebingungan
sendiri. Cengengesan.
Si
Kotak-kotak tertawa. Dipegangnya pundak orang itu akrab, “Kita juga harus
makan, Dik. Sebab Allah lebih menyukai muslim yang kuat daripada yang lemah,”
kata lelaki tak bernama itu bijak. Dengan tubuh yang sehat, kemungkinan kita
menolong mereka lebih besar bukan?”
Hening.
Aku tercengang lagi. Wong cowok-cowok kantin di sini biasa senengnya godain
kita-kita sambil main gitar, terus sekarang memasang mimik sedih?
“Mbak,
nasi sama semur dagingnya!” teriakku dari depan pintu. Maklum, perut sudah
melilit… ee si mbaknya asyik senyam-senyum sambil memandang Si Mas Kotak-kotak.
“Mbaaaaak!”
teriakku. “Nasi sama semur daging!”
Kontan
semua memandangku, termasuk Si Kotak-kotak.
Aku
tergagap. Masuk pelan-pelan. Segera mengambil nasi bungkusku dan berlari. Salah
sendiri masuk ke kandang macan, weeeeee!
“Apaan,
Mbak?” ulang si pelayan kantin Kukusan dengan suara keras.
“Ssssssst,
jangan teriak gitu dong! Saya cuma mau nanya. Mas yang kemarin makan di sini,
yang pakai baju kotak-kotak ungu muda itu namanya siapa?”
“Yang
ceramah? Yang bikin kantin saya laris?”
Aku
mengangguk cepat.
“Wah,
saya juga ndak tahu tuh, Mbak. Dia jarang kok makan di sini? Memangnya kenapa
sih? Situ naksir, ya?” berondongnya.
Aku
menghela napas dan segera berlalu.
“Sama
dong, Mbak! Kita juga naksir!” teriak si pelayan itu. “Saingan ni yeee!”
Aku
cemberut. Ember tuh orang! Siapa yang naksir? Emangnya kita cewek apaan. Sewot
betul aku! Aku kan cuma penasaran! Bayangkan! Sudah lama aku melihat Si
kotak-kotak itu berkeliaran…bahkan namanya saja aku tidak tahu! Wajar dong
penasaran!
Sekian
lama aku tak bertemu Si Mas Kotak-kotak. Kebetulan aku juga sibuk di kampus,
apalagi teman-teman di Forum Amal dan Studi Islam (FORMASI) benar-benar
melibatkanku dalam banyak kegiatan. Aku sendiri baru ikut kegiatan itu setahun
lalu. Apa ya, motivasinya? Yaaa, pengen jadi orang yang lebih baik aja…
sekaligus ingin lebih dalam lagi mengenal Islam dan umatnya di bumi ini
seperti… Mas Gagah dan…lelaki tak bernama itu. Ah, jujur. Secara tak langsung,
setelah Mas Gagah tiada, semangat untuk belajar Islam memang kembali kudapat
dari dia. Orang yang tak kukenal sama sekali!
“Gita,
jangan lupa lho…, total uang yang kuberikan padamu tiga juta rupiah. Lalu dua
puluh kardus mie instan, lima kardus baju bekas dan tiga karung beras!” suara
Tutut , sahabatku di jurusan, mengagetkanku.
“Iya,
aman!” Seruku sekenanya.
“Sip!”
Tutut tersenyum dan berlari meninggalkanku.
Lelaki
kotak-kotak tak bernama itu sekarang ada di mana ya? Semoga Allah selalu
memberi kekuatan padanya. Aku jadi ingat Tutut pernah cerita ada seorang teman
kakaknya yang sejak SMP dan SMA menjuarai berbagai lomba pidato sampai lomba
debat tingkat nasional. Sekarang dia sering memberikan ceramah dimana-mana
bahkan tanpa dibayar dan dipinta.
“Tempatnya
juga nggak lazim. Di bus, kereta, restoran, panti-panti, nggak jelas deh. Tapi
orangnya tulus dan rendah hati sekali.”
“Namanya,
Tut? Terus kuliahnya di mana? Dia suka pakai baju kotak-kotak ya?”
Tutut
mengernyitkan dahi. “Ada apa nih?” tanyanya nyengir. “Ayo, berhati-hatilah
dengan hatimu…,” katanya waktu itu sambil melirik penuh arti dan menghentikan
informasi.
Yaaa,
penonton kan kecewa. Tapi Tutut benar. Kenapa sih aku terlalu ingin tahu dengan
sosok misterius itu? Apakah karena sosok itu mengingatkanku pada…Mas Gagah?
“Gita,
ayo berangkat! Panggilin teman-teman yang lain!” teriak Eki dan beberapa kawan
membuyarkan lamunanku.
Yap.
Aku mengangguk dan segera berkemas.
Tak
lama aku dan anak-anak FORMASI sudah menuju daerah Tanah Tinggi untuk
memberikan bantuan bagi korban kebakaran besar di sana.
Setelah
sampai, kami semua dengan mengenakan jaket kuning segera mengeluarkan barang
bantuan dan disambut oleh beberapa pemuka warga dengan haru. Tangisku hampir
pecah melihat bayi dan balita tidur beralaskan tikar di atas reruntuhan rumah
mereka yang terbakar.
“Warga
yang lain kemana, Pak?” tanya Eki heran.
Aku
melihat sekeliling. Kok sepi ya….
“Iya
nih, lagi pada ngaji di bedeng. Ayo deh Bapak antar ke sana,” kata seorang
bapak ramah.
Kami
semua berjalan menuju sebuah bedeng triplek yang terkesan dibangun asal jadi.
“Ayo,
masuk, Nak!”
Di
dalam bedeng sekitar seratus orang lebih sedang mendengarkan ceramah. Aku duduk
perlahan, menatap ke depan dengan pandangan tak percaya.
“Jadi
musibah bisa jadi adalah ujian dari Allah atas keimanan kita. Di dalam hadis
dikatakan bahwa bila ada seseorang yang kena musibah, walau hanya tertusuk oleh
duri, niscaya dosanya akan dikurangi oleh Allah.”
Lelaki
dengan kemeja kotak-kotak itu terus bicara. Wajahnya teduh. Ya Allah, kenapa
orang ini senantiasa bersegera dalam kebajikan? Kenapa ia selalu hadir lebih dulu?
Kenapa ia begitu mirip? Wajahnya tak seganteng Mas Gagah. Bukan wajah yang
mirip…mungkin perangai…atau….
“Rasulullah
Saw berkata bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran. Karena itu meski kita
miskin harta, hendaknya tetap kaya iman. Jangan sampai sudah kita miskin di
dunia, banyak berbuat maksiat pula, hingga kelak melarat di akhirat.
Na’udzubillahi min dzalik.”
Kulihat
para warga serius mendengar. Sesekali mereka mengangguk-angguk.
“Demikian
dulu dari saya. Saya mohon maaf bila ada kata yang salah. Sesungguhnya
kebenaran itu dari dan milik Allah semata. Semoga Allah senantiasa meneguhkan
hati dan persaudaraan kita. Marilah kita saling mendoakan.”
Usai
mengucap doa dan salam lelaki itu bangkit.
“Tunggu!
Siapakah nama anak? Saya juga ingin mendoakan anak…,” kata seorang Ibu tua
tiba-tiba.
Aku
tersentak. Ya, siapakah namamu?
Lelaki
itu tersenyum. “Nama saya Abdullah, Bu. Saya bukan siapa-siapa dan saya pun
akan mendoakan semua yang ada di sini. Assalamu’alaikum.”
Pemuda
itu pun bergegas pergi setelah bersalaman dengan beberapa pemuka warga.
“Baiklah,
sekarang kita kedatangan adik-adik dari UI,” kata seorang bapak berpeci. Tepuk
tangan kembali bergema mengiringi kehadiran Eki dan kawan-kawan FORMASI di
hadapan warga.
Tetapi
mataku tertuju keluar. Memandang lelaki itu hingga ia menjelma titik kecil dan
menghilang di kejauhan.
Abdullah?
Betulkah itu namanya? Mas Gagah-ku yang muncul kembali?
Senja
ini, aku memang berniat pulang ke rumah. Kangen sama Mama Papa. Di stasiun UI
aku bersungut-sungut. Kereta api Jabotabek yang sejak tadi kutunggu, tak muncul
juga. Eeeh, setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar pengumuman: KRL tak
dapat beroperasi karena listrik mati! Geregetan. Kontan aja aku putar arah.
Jalan kaki ke Kober lalu menyambung naik bus.
Baru
saja aku menginjakkan kaki ke atas bus, kulihat Si Mas Kotak-kotak duduk tepat
di paling depan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencari bangku kosong.
Sia-sia. Penuh semua!
“Silakan,
Dik!” suara Si Kotak-kotak!
“Makasih,
Mas Abdullah.” Ups, aku kelepasan! Sok akrab banget. Sepintas kulihat dia
mengerutkan kening.
O…o!
Aku
menunggu-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia tampak
tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung karena Pak Sopir kerap mengerem
mendadak. Sampai di Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya. Dan kemudian seperti hari-hari kemarin
kudengar dan kucermati kata-katanya.
“Fii
ahsani taqwim. Artinya Allah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk. Anda
merasa pesek, jereng, tonggos, jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak perlu
demikian. Percayalah anda harus tetap bersyukur karena itu sebaik-baik bentuk
Anda. Amalan anda yang akan membuat Anda lebih ganteng dan cantik, terutama di
hadapanNya. Dan sebaik baik manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Jadi sudahkah kita bersyukur atas keberadaan kita hari ini?”
Orang-orang
di bus memandang lelaki ini serius sambil manggut-manggut, beberapa
cengengesan. Aku juga. Lelaki itu terus bicara diiringi deru kendaraan.
“Mari
sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu lagi. Cobalah memandang
sesuatu tidak hanya dari sudut pandang Anda, tetapi dari sudut pandang orang
lain dan Tuhan.”
“Sudut
pandang Tuhan seperti apa itu?” celutuk seorang Bapak.
“Apa
yang tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis dan dicatat oleh nurani kita,
insya Allah,” katanya sambil tersenyum.
Tanpa
terasa bus yang kami naiki sudah memasuki Pasar Minggu. Tiba-tiba jalan bus
terhenti, di hadang kerumunan pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak
Ada yang mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga… samurai! Tubuhku
langsung lemas.
Aku
dan para penumpang lain serba salah. Turun atau bertahan di bus? Bisa-bisa kami
kena batu nyasar!
Jantungku
berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! Aksi para pelajar itu brutal
sekali! Mereka saling lempar dan saling baku hantam!
PRANNNGGG!
PRANNNGGG!
Kaca
jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu
mengaduh memegangi pelipisnya yang berdarah!
“Serbuuuuuuuuuu!
E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”
Ya
Allah, seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas bus ini. Aku bingung
harus bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.
“Hei!
Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yang jadi sasaran!” teriak seorang
bapak panik. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.
“Sa…
ya bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu lemah.
Si
Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.
“Eh,
mane die?! Hajarr! Bunuhh!
“Pak,
jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu panik.
“Nggak
bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak Sopir tak kalah panik.
DUG!
DUG!
PRANGGGG!
PRRANNGG!
Segerombolan
pelajar naik ke dalam bus membawa berbagai senjata. Pengecut! Beraninya
ramai-ramai! Sungguh aku ingin meludahi anak-anak tengil ini!
“Mane
tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.
Seluruh
penumpang bergidik.
“Adik
cari siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar.
“Minggir
lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”
Lelaki
dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.
“Nie
die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”
“Hajarrrr!
Tusuk!”
Para
pelajar itu maju dan… aku serasa tak berpijak di bumi… mereka membacoknya!
Seluruh penumpang histeris!
“Tahan!
Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii…?”
CRESH….
“Aaaaa!”
aku terkejut.
Lelaki
berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya.
“A…dikku…, bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya pedih.
Aku
bangkit dari tempat duduk dan berteriak histeris. “Polisiiii! Polisiiii!
Paaaak, cepat kemariiiii!” teriakku.
Para
remaja itu berhamburan keluar bus setelah mereka merampas tas Mas Abdullah.
Salah satunya, yang paling tengil sempat kutendang dari belakang!
“To…long…,
tolong mereka…,” kataku memelas pada para penumpang.
“Tunggu…
polisi!” teriak seseorang ketakutan.
“Polisi
belum datang! Tadi saya pura-pura!” teriakku panik.
“Cepat
keluarkan mereka!” Suara seseorang.
Aku
menoleh. Seorang pemuda bergegas ke arahku dan membantu membopong Mas Abdullah
dan anak sekolah yang terluka itu. Aku seperti mengenalnya….
“Kamu….”
“Saya
Manto, Mbak…,”ujar pemuda itu.
Kuhirup
napas dalam-dalam. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi itu tak penting. Yang
paling penting adalah segera menolong Mas Abdullah dan pelajar itu. “Saya
Gita,” tukasku. Lalu aku, pemuda itu dan dua lelaki separuh baya turun mencari
bantuan.
Jalanan
mulai sepi. Hanya batu-batu, ceceran darah dan pecahan kaca di sekitar. Dari
jauh kudengar sirine polisi.
Kuhentikan
dua buah taksi.
Ayo,
Pak! Masukkan mereka!” teriakku pada yang membopong.
“Saya
nggak megang uang, Neng!”
Kukeluarkan
dompetku. “Saya yang bayar! Rumah sakit terdekat, Pak!” aku masuk ke dalam
taksi. Sementara si pemuda rapi tadi di taksi yang lain bersama pelajar yang
terluka itu. “Biar mbak, saya ada uang untuk bayar taksi,” katanya.
Barulah
aku menyadari, pemuda rapi itu adalah pria yang waktu itu tertangkap tangan Mas
Abdullah sedang mencopet handphone di miniarta.
“Ia
membantu saya berubah…,” katanya seperti tahu pertanyaanku.
Subhanallah.
Tak ada waktu. Kami bergegas.
Taksi
melaju. Kudengar lelaki yang entah mengapa kini kuanggap saudaraku itu berzikir
satu-satu.
“Tahan
ya, Mas. Insya Allah, kita segera ke rumah sakit!” Tiba-tiba bayangan Mas Gagah
melintas di hadapanku. Apakah nyeri seperti ini yang ia rasakan dulu? Mengapa
orang baik yang selalu menjadi korban? Aku menggigil.
Sesampainya
di RS, kedua korban segera dimasukkan ke UGD. Aku resah menunggu, juga bingung.
Ketika petugas menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, aku cuma sebut Abdullah.
“Identitasnya
ada, Mbak?”
“Saya
juga nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-pelajar brengsek itu!”
tegasku. Kasihan Mas Kotak-kotak. Malah dia belum sadar….
Aku
mencari pemuda rapi tadi. Di mana dia?
“Suster
lihat pemuda yang bersama saya tadi membawa korban?”
“Iya
mbak, tapi ia tadi terburu-buru, katanya sudah terlambat ke tempat kerja. Ia
menitipkan ini pada mbak.
Mbak,
maaf saya buru-buru. Sumpah, saya sudah tidak jadi pencopet lagi. Lewat dia
saya dapat hidayah. Semoga Allah melindungiNya. Besok insya Allah saya ke sini
lagi. Manto.
“Adik
yang tadi dalam bis?”
Aku
terperanjat. Polisi….
Aku
mengangguk. “Ya, saya Gita.”
“Ikut
ke kantor kami untuk memberi keterangan.”
Dua
hari aku bolak-balik kampus-kantor polisi. Diantaranya untuk menjadi saksi
siapa pelaku penusukan. Demi kebenaran, aku menurut. Pelaku penusukan yang
berwajah bengis itu pun sudah diamankan.
Dan
hari ini, ketika aku kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk, aku terperanjat.
“Sudah
meninggal kemarin, Mbak….”
“Apa?”
“Pelajar
yang kena tusuk sudah meninggal.”
“Saya
nanya yang satu lagi, yang masuknya bareng sama pelajar itu!”
Sang
suster mengangguk-angguk. “Ooo, baru setengah jam yang lalu dijemput
keluarganya dan pemuda yang kemarin bersama mbak kemari. Lukanya tidak terlalu
parah. Ia juga berpesan untuk menyampaikan terimakasih kepada mbak yang sudah
menolongnya.”
Aku
mengangguk dan menggigit bibir. Tanpa terasa buliran bening menetes membasahi
pipiku. “Terimakasih, Suster,” ujarku pelan. “Terimakasih Allah, ia tak pergi
secepat Mas Gagah….”
Begitulah
ceritanya. Hari, minggu, bulan, tahun berganti. Aku tak pernah bertemu lagi
dengan lelaki itu. Setiap hari, saat pulang dan pergi dengan bus atau kereta
api, entah mengapa aku berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosoknya
seperti dulu. Tapi ia tak ada. Ia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan
aku yang tak tahu kemana harus mencarinya. Dan ini adalah rasa kehilangan
keduaku yang besar, setelah kepergian Mas Gagah.
Sebenarnya
aku bertekad, bila aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, aku akan memberanikan
diri menyapanya. Aku akan bercerita tentang Mas Gagah, tentang kepeduliannya
pada sekitar sebagaimana lelaki tak bernama itu. Aku bahkan berencana
mengenalkan merekapada Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan adik-adik di kolong
jembatan yang dulu dibina Mas Gagah.
“Memang
orangnya kayak Gagah, Mbak?” Tanya Bang Ucok, saat kami bersama-sama membenahi
buku-buku koleksi taman bacaan.
Bang
Urip menatapku ingin tahu. Di depan taman bacaan mungil ini, adik-adik kecil
sibuk membuat layang-layang untuk dijual.
Aku
tercenung. “Mungkin wajahnya nggak ya, Bang. Tapi apa yang dia lakukan,
kepeduliannya…entahlah. Gita merasa dekat saja dengannya. Gita merasa spirit
yang sama dalam dirinya seperti spirit dalam diri Mas Gagah.”
Bang
Urip dan Bang Ucok garuk-garuk kepala. “Jadi pengin kenalan,” kata Bang Ucok.
Bang Urip dan Kang Asep mengangguk.
“Suatu
saat Gita akan ajak ia kemari, Bang, insya Allah.”
“Iya,
tak ada lagi yang mengajar kami mengaji sejak Gagah tidak ada,” ujar Bang Ucok.
“Ya
iye, pada takut dipalak duluan. Lewat sini aje mereka kagak berani,” tambah
Bang Urip. “Ye, emangnye mereka Si Gagah? Ketahuan die sinpai karate. Kita
palak, malah dulu kite nyang babak belur, trus malah diajak ngaji. Waktu kite
ude kagak mabok, kagak main judi, kagak malak orang, trus jadi orang yang
peduli ame lingkungan kite, Gagah bilang kite itu: preman insap! Kate Gagah
dulu sahabat Nabi juga banyak nyang preman. Pas insap mereka langsung
istiqomah!”
“Ah,
emang lo inget artinya istiqomah?” serobot Kang Asep.
“Kayaknya
konsisten, persisten, resisten!”
“Apa
artinya itu, memang kau ingat? Sok anak kuliah kau kali kau!”
Bang
Urip garuk-garuk kepala, “Ya kagak sih. Gue ingat belakangnye ten semua. Ah
udeh nyang penting teguh maju jalan lurus terus! Istiqomah ntu gitu kate si Gagah!”
“Preman
insaaaap!” seru Bang Ucok.
Bang
Urip dan Kang Asep langsung berdiri tegak, menyusul Bang Ucok: “Huh huh huh
huh: istiqomah!” mereka lompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas,
seperti tentara yang paling bersemangat. Seperti dulu saat masih bersama Mas
Gagah. Tak jauh di belakang mereka, anak-anak rumah baca juga melompat-lompat
melakukan hal yang sama.
Aku
tersenyum. Mereka masih terus mengingat Mas Gagah dan masih sering bercerita
tentangnya, seperti aku berharap setiap kali masih bisa menemukan sosoknya di
rumah sepulang dari kuliah.
“Mbak
Gita sekarang tambah ayu ya?”
“Iya,
lebih kalem…”
Celutuk
beberapa anak tiba-tiba, sambil mencuri-curi pandang ke arahku.
Sudah
senja. Kupeluk mereka dan segera pulang. “Nanti Mbak Gita bawakan lagi buku
yang banyak, insya Allah!” janjiku.
Lama
setelah itu aku belum juga kembali bertemu dengan Si Kemeja Kotak-kotak.
Kini
aku sudah lebih rapi dalam berjilbab. Tutut yang paling girang sampai sujud
syukur segala melihat aku bertekad untuk tak lagi pakai baju ketat atau
kerudung terawang. Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak itu
punya andil dalam keislamanku, meski aku lebih teguh berjilbab bukan karena
dia, melainkan karena Allah semata.
Dan
kini, tak terasa aku sudah tamat kuliah. Aku juga ingin bisa segera bekerja,
seperti teman-temanku yang lain. Bisa bermanfaat bagi orang banyak, bukan
sekadar mencari uang.
“Kenapa
sih tidak kerja di perusahaan Papa saja?” tanya Papa.
Aku
hanya mencium kening beliau dan berkata, “Gita mau berusaha mandiri dulu….”
Untunglah
Papa mau mengerti dan senang melihat anaknya selalu berusaha mandiri. “Kamu
akan jadi perempuan yang kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk
bahuku.
Dan
hari ini aku cukup deg-degan.
Sebuah
perusahaan elektronik membutuhkan tenaga marketing yang menguasai bahasa
Inggris. Aku mencoba melamar. Namanya juga usaha. Kemarin aku sudah dipanggil
untuk wawancara. Ya, siapa tahu diterima meski kurang pengalaman, kan?
“Mbak
Gita?”
Aku
mengangguk.
“Mbak
diminta langsung menghadap Direktur kami!” ujar resepsionis di hadapanku.
Aku
berdiri, dengan perasaan tak menentu “Direktur?” tanyaku. “Bukan ke HRD lagi
yang mbak?”
“Iya,
data mbak sudah dipelajari oleh HRD kami. Wawancara oleh HRD juga sudah kan
kemarin. Ini wawancara berikutnya, Mbak.”
“Wawancara
lagi?” aku tak mengerti.
“Pak
Yudhistira minta Mbak langsung menghadapnya.”
“Oh,”
kutepis rasa heranku.
“Silakan,
Mbak,” seorang perempuan lain yang kukira sekretaris menemaniku menuju ruang
direktur.
Penuh
rasa optimis aku melangkah. “Selamat pagi,” sapaku biasa, saat melangkah masuk.
Seorang
lelaki dengan kemeja kotak-kotak menjawab salamku.
Aku
terperangah!
Dia
juga!
Kubaca
nama yang terpampang di mejanya: Yudhistira Arifin, Ph.D -Direktur.
“Gita
Ayu Pratiwi?“
Aku
mengangguk.
“Saya
merasa pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanyanya tiba-tiba.
Suaraku
tercekat di kerongkongan. “ Dalam…ng… bus…, Pak….?”
Dia
mengangguk. Tersenyum, berdiri, merapikan jas di bahu bangkunya. “Mungkin di UI
karena saya juga lulusan sana…,” ujarnya simpatik. “Atau dalam bus dan kereta
api?” ia tertawa. “Barangkali malah di rumah sakit?”
Aku
tersenyum, namun bingung.
“Anda
tahu mengapa Anda saya panggil kemari?”
Aku
menggeleng.
“Pertama,
karena Anda gadis itu. Gadis yang membawa saya ke Rumah Sakit…bertahun lalu
saat peristiwa tawuran pelajar itu….”
Aku
tercengang.
“Gita….subhanallah….”
Aku
mengangguk, “Saya, Pak.”
“Keluar
dari rumah sakit , saya diberitahu nama orang yang menolong saya. Gita. Tak
mungkin saya lupa…,”katanya lagi. “Maaf, sesudah pemulihan, saya kesulitan
menghubungi anda. Rumah sakit juga tidak menyimpan data Anda. Saya kemudian
mendapat beasiswa kuliah di Perancis. Jadi…saya belum mengucapkan
terimakasih….”
Hening.
Tiba-tiba
sekretaris yang tadi mengantarku, masuk kembali sambil membawa beberapa map.
“Pak, ada undangan mengisi ceramah dari Departemen Keuangan, beberapa hotel
berbintang dan dari universitas di Jerman serta Australia,”
Departemen
Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di Jerman dan Australia? Hebat sekali!
Batinku.
“Jadi,
kualifikasi Anda cocok dengan yang kami butuhkan. Selamat, Gita! Anda kami
terima!”
“Alhamdulillah,”
kataku. “Terimakasih, Pak.”
“Kembali,”
katanya ringan. “Oh ya, Gita, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas pertolongan
Anda. Hanya Allah yang mampu membalasnya. Ah kalau saja Anda tidak membawa saya
ke rumah sakit waktu itu, tentu saya tak akan ada di sini sekarang….”
“Dan
mungkin saja saya tidak akan diterima bekerja di sini…,” candaku. “ Ya,
sama-sama, Pak….”
Ia
tertawa.
“Panggil
saya Yudi saja. Anda mulai bekerja besok. Silakan pelajari berkas-berkas ini….”
Aku
mengangguk.
“Tolong
panggil OB kita ya,” katanya pada sekretarisnya kemudian.
Aku
baru akan beranjak, saat seseorang masuk. Wajah yang pernah kulihat lagi!
“Ini
Manto,” ujarnya. “OB kita yang hebat. Manto yang mengingatkan saya akan nama
Anda.”
Manto
mengangguk, “Mbak Gita….”
Aku
ternganga: pemuda rapi yang dulu pernah ia tangkap saat mencopet dulu! Yang
juga membantuku menolong pelajar itu!
“Setelah
menasehati saya dulu, Pak Yudi mengajak saya ke sanggar milik temannya. Kami
belajar ngaji sambil membuat kerajinan tangan. Setelah lama tak bertemu,
setahun lalu, Pak Yudi mengajak saya bekerja di sini.”
“Manto
rajin dan jujur, jadi Gita bisa minta tolong apa saja padanya,” Pak Yudi
tersenyum. Aku juga.Subhanallah.
Sorenya,
setelah makan bakso di sekitar (calon) kantorku, aku naik ke Trans Jakarta
tujuan Rawamangun.
Aku
baru saja akan membuka berkas-berkas yang diberikan Mas Abdul eh…Pak Yudi…,
ketika satu sosok yang kukenal naik ke dalam bus sambil tersenyum.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh….”
Aku
melongo. Nyaris tak percaya.
“Nak
Yudi!” Seru seorang bapak. “Senang bisa mendengar Anda lagi!”
“Ya,
perjalanan panjang seakan tak berarti bersama Dik Yudi!” seru penumpang lain.
Pak
Supir tertawa. Penumpang yang lain tersenyum senang.
Aku
ternganga. Dan seperti dulu, dengan gaya khasnya, ia berbicara dan orang-orang
mendengarkan.
“Apakah
hakikat sabar itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di tengah masyarakat kita yang
kini sudah semakin tak peduli? Mau mendengar cerita tentang cinta dan sabar?
Tentang bagaimana kita harus berjabat hati dalam membangun negeri ini?”
Semua
mengangguk tanpa sadar. Aku juga.
Dan
seperti tahun-tahun lalu pula… kata-katanya begitu menyentuh dan berpengaruh,
mengingatkanku pada sosok yang seperti terus berada dalam rinduku….
“Ajari
saya… Islam. Saya mau… mengaji, Nak,” bisik seorang Ibu berwajah Chinese yang
duduk tepat di sampingku, saat Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.
Aku
haru.
Dari
balik kacamatanya, kulihat mata lelaki berkemeja kotak-kotak rapi itu
berkaca-kaca. Selalu, seperti dulu, saat pertama kali aku menatapnya.
Angin
tak ada, dibungkam AC bus Trans Jakarta, namun semilirnya menyelusup dalam
batinku. Sejuk. Lelaki itu mengangguk padaku, tersenyum lama.
Dalam
senja yang temaram, dari balik jendela busway, kulihat Mas Gagah di antara
kerumunan orang yang menunggu bus. Wajahnya cerah.
Dan
jadilah muslimah sejati
yang
selalu mengedepankan nurani
Agar
Allah selalu besertamu.
Ingat
Islam itu indah…
Komentar
Posting Komentar