Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Di setiap sekolah, selalu ada guru-guru baik yang
akan kita kenang seumur hidup. Kisah suka dan duka bersama sang guru menjadi
pengikat hati yang tak lekang oleh waktu. Seperti yang diceritakan Laksita
Judith Tabina dalam cerpen Pengorbanan Bu
Ilma ini. Kisahnya tentang Fira yang mendapat banyak bantuan dari Bu Ilma,
sampai satu musibah menimpa Bu Ilma. Judith berusaha menggambarkan perasaan
Fira yang campur aduk saat musibah itu terjadi.
Cerpen ini ditulis saat Judith masih berusia 11 tahun dan menjadi salah satu cerpen terbaik dalam
Lomba Menulis Cerita Anak 2012 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Silakan baca, mungkin kamu mempunyai pengalaman bersama guru yang
lebih seru sehingga dapat menjadi cerpen seperti karya Judith ini.
Pengorbanan
Bu Ilma
Fira menatap bayangan tubuhnya di cermin. Bajunya
tampak rapi. Wajadan rambutnya juga. Ia kemudian meraba dadanya. Debaran
jantungnya masih saja kencang. Fira kemudian mengambil napas panjang seperti yang
diajarkan oleh Bu Ilma, guru Bahasa Indonesia sekaligus pembimbing pidatonya.
Hingga akhirnya ia merasa tenang kembali.
“Ayo, Fira! Kamu pasti bisa!” gumamnya menyemangati
dirinya sendiri.
“Fira!” panggil ibunya tiba-tiba dari luar kamar.
“Iya, Bu,” sahut Fira sambil mengambil tas sekolahnya
dari atas tempat tidur.
Fira bergegas keluar kamar. Di ruang tamu Ibunya
sedang berbincang dengan Bu Ilma. Mereka tampak begitu akrab.
“Bu Ilma sudah datang, Nak,” kata ibunya saat melihat
Fira.
Fira mendekati gurunya, “Selamat pagi, Bu Ilma,” sapanya
ramah sambil mencium tangan beliau.
“Selamat pagi,” balas Bu Ilma sambil menatap Fira
penuh kasih sayang. “Kamu sudah siap?” tanyanya kemudian.
Fira mengangguk mantap, “Sudah, Bu.”
“Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang,” ajak
Bu Ilma.
Fira kemudian mencium tangan ibunya, “Fira berangkat
dulu ya, Bu,” pamitnya. “Tolong doakan Fira.”
“Tentu, Nak,” jawab Ibu lalu mencium keningnya.
“Hati-hati, ya.”
Sebentar kemudian Fira dan Bu Ilma meninggalkan rumah
diiringi lambaian tangan ibunya.
Sepanjang perjalanan Fira lebih banyak diam. Ia sibuk
merenung. Akhirnya hari ini tiba juga. Hari di mana ia akan maju untuk
mengikuti lomba pidato. Hampir 2 bulan lamanya Bu Ilma membimbing Fira dengan
tekun. Hingga Fira mampu mengikuti semua petunjuk beliau dengan baik. Bu Ilma
sangat puas dengan hasil latihannya. Dan Fira berharap saat lomba nanti ia tidak
akan mengecewakan Bu Ilma.
Sebenarnya Fira bukan anak yang pintar bicara di
depan kelas. Ia bahkan pemalu. Tapi Bu Ilma memilih dirinya untuk mengikuti lomba
pidato karena menurut beliau Fira memiliki suara yang bagus dan kuat. Bu Ilma
memang tidak pernah membeda-bedakan semua muridnya. Beliau selalu adil, lembut
dan penuh kasih. Hingga seluruh sekolah sangat hormat serta sayang padanya.
Setiap pulang sekolah Bu Ilma melatih Fira. Waktunya
tidak lama hanya sekitar 1 jam saja. Sebab Fira masih harus membantu Ibunya berjualan
kue. Tapi Bu Ilma mau mengerti keadaannya. Bahkan dengan sukarela gurunya itu
mengantar Fira pulang setiap habis latihan. Agar ia tidak terlambat melayani
pembeli kue-kue buatan Ibunya.
Dan hari ini Fira bertekad untuk tampil dengan baik.
Ia ingin membalas semua kebaikan serta kasih sayang Bu Ilma. Fira tak ingin menyia-nyiakan
seluruh perjuangan dan bimbingan Bu Ilma padanya.
***
Perlahan-lahan motor yang dikendarai Bu Ilma memasuki
halaman Gedung Serba Guna tempat lomba pidato diadakan. Suasana tampak ramai.
Sepertinya peserta lomba kali ini banyak sekali. Fira merasa gugup hingga
jantungnya berdetak kencang. Ia berjalan dengan takut-takut di samping Bu Ilma.
Melihat itu Bu Ilma langsung menggenggam tangannya. Dan kehangatan tangan Bu
Ilma membuat jantung Fira kembali tenang. Mereka berdua lalu menuju tempat
pendaftaran. Tak lama kemudian Bu Ilma menerima sebuah nomor urut peserta untuk
Fira.
“Ini nomer pesertamu, Fira,” Bu Ilma mengulurkan
sebuah kertas bertuliskan angka 19 padanya.
Fira menerima kertas itu. Dalam hati ia merasa lega
karena tidak mendapat giliran pertama.
“Sebaiknya nomor itu kamu sematkan di bajumu, agar
tidak hilang,” nasehat Bu Ilma. “Kamu tidak lupa membawa peniti seperti pesan
Ibu kemarin, kan?”
Wajah Fira mendadak pucat. Ia lupa memasukkan
penitinya ke dalam tas. Padahal tadi pagi ibunya juga sudah mengingatkan.
Mungkin karena terlalu gugup ia sampai melupakan peniti yang tergeletak di atas
meja.
“Ma... maaf. Sa... saya lupa tidak membawanya,”
beritahu Fira terbata-bata
“Sebentar,” Bu Ilma lalu mengaduk-aduk isi tasnya “Aduh,
sayang sekali Ibu juga lupa,” sambungnya kecewa. “Kalau begitu Ibu beli ke toko
itu dulu, ya,” Bu Ilma menunjuk sebuah toko yang ada di seberang jalan.
“Maafkan saya, Bu,” ungkapnya lagi.
“Tidak apa-apa, Fira” balas Bu Ilma lembut. “Kamu
tunggu di sini saja, ya.”
Fira berdiri di halaman Gedung Serba Guna sambil
memperhatikan Bu Ilma yang menyeberang dengan hati-hati. Sebentar saja gurunya itu
sudah keluar dari toko yang tadi di tunjuknya. Rupanya di situ tidak menjual
peniti. Bu Ilma lalu berjalan mencari toko yang lain. Sementara Fira hanya bisa
menunggu dengan perasaan bersalah.
Tiba-tiba terdengar panggilan untuk para peserta
lomba. Fira menjadi cemas karena Bu Ilma masih belum kembali. Ia mondar-mandir sendirian
karena peserta lain sudah mulai memasuki gedung. Tapi kemudian ia melihat Bu
Ilma. Wajahnya tampak cerah. Rupanya peniti yang dicari sudah didapat. Fira
menunggu dengan tidak sabar. Ia berusaha memberitahu Bu Ilma. Tangannya sibuk
menunjuk-nunjuk ke arah Gedung Serba Guna. Rupanya gurunya itu mengerti. Sebab
Bu Ilma buru-buru menyeberang jalan sambil berlari.
CITTT....BRAKKKK!
Tiba-tiba sebuah motor yang melaju kencang menghantam
tubuh Bu Ilma. Fira hanya bisa terganga.
“Tidaaaakkk...!!!” teriak Fira nyaring sambil berlari
mendekati Bu Ilma yang tergeletak di jalan raya. “Bu Ilma! Bu Ilma!” jeritnya
panik.
Bu Ilma hanya diam. Hingga membuat Fira ketakutan. Ia
lalu menggoyang-goyangkan tubuh gurunya itu. “Bu Ilma!” panggilnya lagi.
Perlahan-lahan Bu Ilma membuka matanya, “Fi...ra,”
bisiknya parau.
Airmata Fira menetes, “Bu Ilma, apa yang sakit, Bu?”
Bu Ilma menggeleng lemah. Beliau lalu mengulurkan
sebelah tangannya yang masih menggenggam peniti. Sementara itu orang-orang mulai
berlarian dan mengerumuni mereka berdua.
“Ini, penitinya. Kamu harus mengikuti lomba dengan
baik, ya,” pesan Bu Ilma.
“Tidak!” seru Fira. “Saya mau ikut Bu Ilma ke Rumah
Sakit,” tolak Fira sedih.
“Jangan, Nak. Ingat semua kerja kerasmu. Jadi
tetaplah berlomba,” pinta Bu Ilma lembut.
“Tidak, Bu,” sahut Fira sambil terisak. “Saya ingin
menemani Ibu,” sambung Fira. “Ini semua salah saya.”
“Bukan, Fira. Ini bukan salahmu,” bisik Bu Ilma
sambil menahan sakit. “Ibu yang tidak hati-hati saat menyeberang.”
Tangis Fira semakin keras. Ia merasa sangat bersalah.
Gara-gara keteledorannya Bu Ilma kecelakaan. Sementara itu dari kejauhan terdengar
suara sirine ambulan. Rupanya ada yang sudah memanggilnya.
Akhirnya Fira hanya dapat melihat gurunya itu
diangkut dan dibawa pergi. Ia masih terus berdiri di tepi jalan meskipun
ambulan itu telah lenyap dari pandangan matanya.
“Fira!” panggil seseorang.
Fira menoleh. Di belakangnya berdiri Bu Sinta, wali
kelasnya. Fira tidak tahu siapa yang sudah memberitahu Bu Sinta. Ia berlari
mendekati gurunya itu.
“Saya yang salah, Bu. Semua salah saya. Gara-gara
saya Bu Ilma kecelakaan,” isak Fira berulang-ulang.
Bu Sinta menggeleng, “Itu musibah, Nak,” kata Bu
Sinta penuh pengertian.
“Sekarang kita masuk, ya. Karena lombanya sudah
dimulai,” ajak Bu Sinta sambil menghapus airmata Fira dengan sapu tangan yang
sejak tadi dipegangnya.
Fira hanya menurut ketika Bu Sinta membawanya masuk
ke dalam Gedung Serba Guna. Saat itu peserta pertama sudah mulai berpidato. Tapi
ia tidak memperhatikan. Pikirannya masih tertuju pada Bu Ilma. Dan air matanya
kembali menetes.
“Sudah, Fira. Jangan terus bersedih,” bujuk Bu Sinta
saat melihat wajah Fira kembali basah. “Sekarang Bu Ilma pasti sudah dirawat.
Jadi kamu tidak perlu khawatir,” sambungnya lagi. “Kita berdoa saja agar beliau
cepat sembuh.”
Fira mengangguk. Tapi air matanya tak bisa berhenti
mengalir. Kesedihan masih memenuhi dadanya. Ia tidak sanggup ikut lomba. Bahkan
Fira sudah lupa dengan semua isi pidatonya. Ia tak tahu harus mulai dari mana.
Satu-persatu peserta lomba pidato sudah maju. Tak
lama lagi giliran Fira akan tiba. Fira merasa tak bisa ikut. Ia hanya ingin
melihat dan mengetahui keadaan Bu Ilma.
“Bu Sinta,” panggil Fira pelan.
“Ada apa, Fira,” jawab Bu Sinta sambil menatap wajah
Fira yang masih penuh airmata.
“Sa...saya tidak ingin maju, Bu. Saya tidak bisa,”
bisik Fira.
“Fira,” kata Bu Sinta menenangkan. “Bu Ilma pasti
akan kecewa kalau sampai Fira tidak ikut lomba. Dan Fira pasti tidak ingin
membuat beliau sedih, kan,” sambungnya sambil menggenggam erat tangan Fira.
“Sepulang lomba nanti Ibu akan mengajakmu menjenguk
Bu Ilma. Kamu pasti ingin memberi beliau kabar yang menggembirakan, bukan?”
Fira terdiam. Ia sibuk merenungkan kata-kata gurunya
itu. Fira teringat besarnya kasih sayang Bu Ilma padanya sampai beliau hampir mengorbankan
nyawanya. Fira lalu menghapus airmatanya.
“Iya, betul. Aku tidak boleh mengecewakan Bu Ilma.
Aku harus bisa tampil dengan baik,” gumamnya dalam hati. ”Bu Ilma,” bisik Fira.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan semua pengorbanan Ibu.
Lihatlah, aku pasti bisa!” lanjutnya penuh tekad.
Beberapa saat kemudian namanya dipanggil. Dan Fira
melangkah dengan mantap ke atas panggung. Sisa-sisa airmata masih menghiasi wajahnya
yang pucat. Tapi matanya penuh tekad dan semangat.
***
Aroma obat-obatan menusuk hidung Fira. Dari tempat ia
duduk, Fira mencium pialanya berulang-ulang. Ada sinar haru di matanya. Ia sangat
bahagia karena bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Bu Ilma.
“Bu Ilma,” Fira menyodorkan pialanya sebagai juara
pertama lomba pidato pada gurunya yang masih terbaring dengan wajah pucat itu.
“Terima kasih. Berkat bimbingan, kasih sayang juga
pengorbanan Ibu, akhirnya saya bisa menjadi juara.”
“Selamat ya, nak. Ibu bangga sekali padamu,” jawab Bu
Ilma sambil tersenyum lembut.
Fira menggenggam erat tangan Bu Ilma. Ia tak ingin
melepasnya. Fira menatap guru yang sangat disayanginya itu dengan mata berkaca-kaca. Guru yang membimbingnya dengan tekun. Guru
yang berjuang keras bahkan rela berkorban untuknya. Seumur hidup ia tidak akan pernah
melupakan jasa Bu Ilma.
“Saya juga bangga pada Ibu,” balas Fira. “Dan saya
tidak akan melupakan semua kebaikan Ibu. Cepat sembuh, Bu Ilma. Agar Ibu bisa mengajar
lagi.”
Bu Ilma mengangguk sambil tersenyum bahagia. Dan Fira
akan terus mengenang hari ini selamanya. [*]
Komentar
Posting Komentar