Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Gara-gara Jam Weker yang dirusakkanya,
Nami masuk ke sebuah negeri yang sangat disiplin terhadap waktu. Namanya Negeri
Seribu Jam. Di negeri itu semua orang tepat waktu sehingga semua kegiatan
berjalan terartur.
Tapi bosan juga, kan kalau semuanya
serba tepat waktu!
Kebosanan yang dirasakan Nami membuat
ia pergi ke negeri terserah. Disana semua orang berbuat semau gue, sehingga
segala hal menjadi berantakan!
Inilah cerpen karya Jasmine Dejand Fathmarena yang meraih juara
3 pada Lomba Menulis Cerita Anak 2013 atau LMCA 2013 oleh Kemendiknas. Ia masih berusia 11 tahun dan duduk di kelas VI saat menulis cerpen ini. Kisahnya
mengingatkan kita akan pentingnya mengatur dan tepat waktu. Baik dan buruknya
pemanfaatan waktu tergambar dalam cerpen ini. Silakan membaca.
Gara-Gara Jam Weker
Oleh: Jasmine Dejand Fathmarena
Kring...
kring…. Jam weker di meja Nami mulai berdering. Ia menggeliat dan berusaha
mematikan benda yang mengganggu mimpi indahnya tersebut.
“Ah, masih jam
setengah tujuh pagi, lagi pula kan ini
hari Minggu. Jam ini benar benar menyebalkan!” kataku sambil berkacak pinggang di
depan jam weker tersebut. Tiba- tiba, jam itu tak sengaja tersenggol oleh
tanganku, dan... prang..., jam terjatuh tepat di depan meja.
“Nami!!! Suara
apa itu?” tanya Papa dari luar kamar.
“Aduh..
bagaimana ini. Jam ini kan, hadiah dari Papa. Kalau Papa tahu pasti marah
besar,” kataku setengah berbisik. Untunglah Papa tidak menghampiri. Tak lama
kemudian, terdengar deru mobil dari garasi.
“Itu berarti,
sebentar lagi Papa akan pergi. Aku kabur, ah!” gumamku dalam hati. Setelah deru
mobil terdengar menjauh, aku mengendap-endap keluar dan berlari menuju halaman
belakang rumah.
“Akhirnya aman
juga,” batinku sambil melihat sekeliling.
Pandanganku
terhenti pada sebuah batu yang berdiri tegak tepat dua meter di sampingku. Batu
itu terlihat besar sekali. Rasanya aneh, meski sudah lama tinggal di rumah ini,
batu itu baru terlihat sekali, yaitu hari ini. Karena tidak yakin dengan apa yang
sedang kulihat, aku mencoba untuk mencubit pipi. Jangan-jangan ini hanya mimpi.
Tapi pipiku terasa sakit.
“Aww... sakit,
ternyata aku tidak bermimpi. Akan tetapi sejak kapan ya, batu itu berada di
sana?” tanyaku pada diri sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba sepertinya aku
mendengar jawaban dari pertanyaan yang tak sengaja kuucapkan.
“Batu itu
sudah berada di tempat itu sebelum kamu pindah ke
rumah ini , Teman,” jawab sosok
tersebut.
“Hei, kamu
siapa? Di mana keberadaanmu?” ujarku memberanikan diri.
“Aku teman
barumu! Menghadaplah ke arah batu besar, dan kau akan melihatku sedang berdiri
di sana,” kata sosok tersebut. Setelah mendengar itu, aku menghadap ke tempat
yang dimaksud. Tapi sosok yang kucari tidak terlihat. Saking penasarannya, aku
mendekati dan menyentuh permukaan batu tersebut. Ajaib. Beriringan dengan keluarnya
cahaya menyilaukan dari batu tersebut, terdengar suara.
“Selamat
datang di Negeri Seribu Jam!” tampak perempuan kecil yang berdiri tegak
menyambutku. Mungkin, dialah sosok yang menjawab pertanyaanku tadi. Saat itu,
terlihat pemandangan yang tidak akan pernah tampak di duniaku sendiri. Jam-jam
tiang kecil tergantung di sepanjang jalan. Bangunan-bangunan unik dan penduduk
dengan arloji di tangan kanan-kirinya. Selain itu, berbeda dengan negeriku yang
memanfaatkan lampu berwarna-warni sebagai penghias kota, negeri ini menggunakan
ribuan jam besar maupun kecil, yang dipercantik oleh lilin berwarna sebagai
penghiasnya.
“Hei, Kenapa
engkau melamun dari tadi?” ujar perempuan tersebut membuyarkan lamunanku.
“Eh... oh...,
iya. Aku hanya terlalu kagum pada kecantikan negeri ini,” kataku, masih
tergagap dan heran. Tempat apakah ini sebenarnya? Belum sempat aku bertanya
lebih lanjut, sosok itu kembali berkata. Perkataan yang membuatku langsung
percaya.
“Terimakasih
kau telah memuji negeriku. Perkenalkan, aku Mimi dari Negeri Seribu Jam,” ujar
Mimi sambil tersenyum ramah.
“Kalau aku,
Nami. Atau lebih tepatnya Hanami Iyura. Senang berjumpa denganmu, Mimi!” jawabku
tanpa banyak lagi bertanya.
Kami berjalan
menyusuri kota dengan riang. Bagiku berjalan-jalan di negeri ini, bagai sedang
bermimpi. Setelah berjalan cukup jauh, Mimi berhenti di sebuah rumah sederhana.
Ternyata rumah tersebut adalah rumah milik keluarganya.
“Ibu!! Aku
kedatangan teman baru, Bu!” teriak Mimi pada ibunya.
“Hei, Mimi.
Kau tidak boleh berteriak pada ibumu. Bukankah dia orang yang melahirkanmu?”
kataku setengah berbisik.
“Biar saja,
Nak. Mimi memang sudah biasa berteriak,” jawab Ibu Mimi tiba-tiba, sambil
membukakan pintu untuk kami.
“Apa? Jadi ibu
Mimi mendengar kalimat yang aku bisikkan pada Mimi?” gumamku dalam hati. Kemudian,
Ibu Mimi mempersilahkan kami untuk masuk, dan duduk di kursi ruang tamu.
Saat Ibu Mimi
sedang pergi menuju dapur, aku mendengar suara yang sepertinya berasal dari
mulut seorang anak laki-laki. Aku pun bertanya.
“Mimi, suara
anak kecil dari arah dapur, itu siapa?” tanyaku penasaran.
“Oh, itu
adalah suara adik lelakiku, namanya Raro,” jawab Mimi.
Setelah ikut
makan siang bersama keluarga Mimi, ibunya menyuruhku untuk berkeliling rumah
bersama Mimi dan Raro. Saat berkeliling rumah, Raro terus mengeluarkan lelucon
lucu yang membuat kami tertawa. Raro adalah adik yang menyenangkan. Tidak
seperti adikku di rumah yang cuek dan
malas.
Rasa lelah
mulai menyergap. Mimi menyuruhku untuk beristirahat di kamar. Akan tetapi, sebelum
masuk kamar, Mimi memberitahukan bahwa mulai besok, aku akan bersekolah di
sekolah yang sama dengannya. Saking senangnya, aku pun terlelap.
Hari ini telah
tiba. Setelah mandi, Mimi memberiku sepasang seragam untuk dikenakan saat
sekolah. Sesudah sarapan, kami segera pamit dan berangkat sekolah dengan
berboncengan naik sepeda. Pemandangan Negeri Seribu Jam di pagi hari sangat
sibuk. Menurut cerita Mimi, anak- anak dan orang dewasa tidak pernah terlambat
masuk sekolah ataupun masuk kerja. Itu karena mereka selalu hidup disiplin. Beribu
jam di sekitar, membuat mereka tidak pernah membuang waktu. Sedangkan di
negeriku sendiri, orang orang selalu dengan sengaja mengulur waktu untuk
melakukan hal yang belum tentu berguna.
Karena
melamun, aku tidak sadar bahwa kami sudah berada di depan gerbang sekolah. Aku
dan Mimi pun turun dari sepeda dan segera berlari menuju kelas. Ibu guru sudah
berada di depan kelas, dan segera menyuruhku untuk memperkenalkan diri pada
teman teman.
“Perkenalkan
semua, namaku Hanami Iyura, dan kalian bisa memanggilku Nami. Aku murid pindahan
dari Negeri Jally. Senang berteman dengan kalian,” kataku sambil tersenyum.
Setelah selesai aku duduk di bangku kosong. Pelajaran telah dimulai, aku
mendengarkan penjelasan guru di depan kelas dengan seksama.
Teng...
teng.... Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring. Semua anak berhamburan
keluar kelas, termasuk aku dan Mimi. Sambil berjalan, kami menceritakan hal hal
yang kami alami di sekolah hari ini.
Dorr…. Wah,
ada yang mengagetkan kami. Saat aku melihat ke belakang, ternyata dia adalah
Sulli, teman sebangkuku saat di kelas tadi.
“Mimi, Nami!
Apa kalian mau ikut bersepeda nanti sore bersama teman–teman sekelas kita?”
ujar Sulli tiba-tiba.
“Boleh saja,
pukul berapa?” Tanya Mimi balik.
“Mungkin,
sekitar pukul 4 sore. Kata teman- teman, ini untuk merayakan kedatangan anak
baru di kelas kita, tepatnya Nami,” jawab Sulli tersenyum padaku.
“Aku mau!.
Mimi kita ikut, yuk!” ujarku menambahi. Karena setuju,
sore harinya kami semua bersepeda
sambil bersenang- senang. Setelah
berpamitan, kami pun pulang ke rumah.
Tak terasa,
sudah setengah bulan aku hidup di Negeri Seribu Jam. Dan selama itu pula aku
belajar untuk tidak hidup malas. Akan tetapi, aku bosan dengan kebiasaan
penduduk sini yang terlalu disiplin. Karena itu, aku pun berusaha untuk jujur
pada Mimi.
“Mimi, aku
ingin berbicara denganmu,” kataku sambil tertunduk.
“Apa yang
ingin kau bicarakan, silahkan katakan padaku, sekarang,” jawab Mimi sambil
masih tersenyum. Sepertinya, dia tidak mengerti isi hatiku.
“Aku sudah
bosan dan tidak ingin hidup dengan kebiasaan disiplin tinggi di negeri ini. Aku
ingin hidup di negeri yang lebih sesuai dengan kehidupanku. Maafkan aku, Mimi,”
kataku panjang lebar tanpa menatap
matanya.
“Baiklah, jika
itu maumu. Aku tahu jika kehidupan di sini sangat berbeda dengan kehidupanmu sebelumnya.
Aku akan mengantarmu ke negeri yang lebih sesuai, segeralah bersiap,” jawab
Mimi.
Aku tahu ia kecewa.
Akan tetapi, apa boleh buat, aku tidak boleh menyembunyikan kejujuran. Mimi
berkata, bahwa ialah yang akan menyampaikan kepergianku kepada teman-teman.
Kami pun pergi menuju tempat yang dimaksud Mimi. Di sana, ia berkata padaku.
“Nami, inilah
Negeri Terserah, dan kau bisa bebas melakukan apa saja semaumu. Kuharap, kau
bisa hidup lebih bahagia di sini. Selamat tinggal, Nami...,” ujarnya lirih. Aku
mulai berjalan meninggalkannya, dan saat aku menoleh ke belakang, ia telah
berbalik pergi.
Dengan langkah
lunglai, aku mulai memasuki pintu gerbang Negeri Terserah.
Negeri ini
terlihat kumuh sekali. Saat pertama kali masuk saja, aku sudah melihat banyak
sekali sampah yang berserakan di tengah jalan. Mungkin, itu karena penduduknya
suka sekali membuang sampah sembarangan. Tidak seperti di Negeri Mimi. Penduduk
yang membuang sampah sembarangan akan dikenai hukuman.
Tak sengaja,
aku menginjak sebuah kertas brosur yang berisi bahwa ada sebuah sekolah besar
yang membebaskan biaya untuk muridnya, atau bisa dibilang gratis. Aku pun
berjalan dan berusaha menemukan alamat sekolah gratis tersebut. Karena lelah
berjalan jauh, aku beristirahat di bawah pohon rindang. Akan tetapi, aku pun
mulai memejamkan mataku.
Mataku
terbelalak, bukannya tadi aku masih berada dibawah pohon? Akan tetapi, sekarang
aku telah terbaring di ranjang yang berada di sebuah ruangan. Aku baru ingat bahwa
saking lelahnya aku sampai tertidur. Berarti ada orang yang sengaja membawaku
ke ruangan kecil ini. Aku segera berdiri dan keluar dari ruangan tersebut, dan
mataku melihat berbagai benda mewah. Mungkin ini adalah rumah orang kaya.
Seorang wanita
yang terlihat berumur 40 tahunan sedang duduk di kursi. Sepertinya, dialah
nyonya rumah dari rumah ini.
“Kau sudah
bangun? Karena aku telah menolongmu, kerjakanlah pekerjaan di rumah ini
sekarang juga! Cuci piring, seterika pakaian, sapu lantai, juga lap kaca
jendela sampai bersih. Atau, kau akan kuusir dari rumah ini!” bentak wanita itu
padaku.
Karena terlalu
takut, aku pun tidak melawannya, dan segera mengerjakan pekerjaan rumah yang ia
sebutkan dengan kesal.
Setelah semua
selesai, aku mengendap-endap keluar dari rumah itu sekedar untuk menghirup
udara segar. Tampak pria-pria bertato mengebut di tengah jalan, padahal
sekarang sudah larut malam. Benarbenar tidak tahu waktu. Bukannya udara segar
yang aku dapatkan, tapi malah kepulan gas pembuangan kendaraan bermotor, yang
membuatku sesak. Tak ada bedanya dengan negeriku sendiri. Aku baru menyadari bahwa
di depan rumah tersebut terdapat sebuah sekolah yang cukup besar dan terdapat
spanduk bertuliskan, ”SEKOLAH GRATIS”.
“Sekolah
gratis! Wah, besok aku harus mendaftar ke sekolah itu,” janjiku dalam hati.
Tanpa sadar, aku tersenyum untuk pertama kalinya di hari ini. Aku pun kembali
menuju ruangan tempat aku terbaring di ranjang sebelumnya.
Matahari telah
terlihat. Aku berusaha mengendap-endap keluar rumah seperti halnya kemarin. Akan
tetapi ternyata, sang Nyonya Rumah telah melihatku terlebih dahulu. Alhasil,
sepertinya aku harus menunda rencanaku terlebih dahulu, dan siap menerima
bentakan yang dilayangkan oleh sang Nyonya Gendut.
Fiuhh.
Akhirnya
selesai. Aku segera berlari keluar, dan memasuki gerbang sekolah gratis.
Ceceran sampah dan dinding penuh coretan langsung terlihat saat aku menjejakkan
kaki di halaman sekolah. Selesai mendaftar, aku pulang ke rumah Nyonya Gendut.
Semoga besok tidak terjadi hal yang menyedihkan lagi.
Hari ini aku
memakai seragam sekolah gratis dengan bangga. Sampai di depan gerbang sekolah,
aku meminta seorang guru untuk menunjukkan kelas mana yang akan aku tempati. Saat
aku maju untuk memperkenalkan diri, semua murid mengobrol, dan bermain
seenaknya. Kelas ini juga terlihat kotor. Akan tetapi yang paling mengejutkan
adalah saat seorang anak perempuan melemparkan sebuah buku besar dan tepat
mengenai kepalaku hingga aku terjatuh, dan ia malah menertawakanku.
Saat istirahat
tiba, mereka saling bertengkar, dan bermain tanpa memedulikan bel tanda
habisnya waktu istirahat yang sudah berbunyi berkali-kali. Melihat itu semua,
aku berlari menuju tempat tersembunyi dan menangis sekeras-kerasnya.
“Aku takut dan
ingin pulang. Aku berjanji tidak akan membuang waktu,” tangisku pada diri
sendiri. Baru 2 hari aku tinggal di Negeri Terserah, tapi rasanya sudah seperti
dua tahun. Seketika terlihat cahaya menyilaukan dari batu di sebelahku. Dan....
Aku berada di
halaman belakang rumahku. Batu misterius yang berdiri di depanku dan membuat
aku sampai di Negeri Seribu jam telah hilang. Secepat kilat, aku berlari menuju
dapur , dan memeluk Mama.
“Nami, kenapa
baru bangun tidur kamu sudah memeluk Mama?”
tanya Mama heran.
“Apa? Baru
bangun tidur, Ma?” tanyaku lebih bingung
“Iya. Kan dari tadi, kamu masih belum bangun, Nami!” jawab Mama.
Aku pun segera
melihat jam dan memainkan jari.
”Masih pukul
setengah delapan pagi? Jadi 1 jam di sini, sama dengan 17 hari di Negeri Seribu
Jam dan Negeri Terserah, Ma!” kataku
spontan dan membuatku Mamaku ikut
terkejut.
“Apa maksudmu
Nami?” tanya Mama setelah mendengar perkataanku yang aneh.
“Mama tidak
perlu tahu tentang ini. Nanti, saat Papa datang, aku akan meminta maaf atas jam
weker yang kupecahkan. Selamat tinggal Negeri Seribu Jam, Negeri Terserah!”
ujarku dalam hati sambil menampakkan senyum bangga.
Jadi inget dulu pernah punya jam weker dibeliin ayah..
BalasHapusSama. Ingat jam-jam weker yang nggak awet di kamarku ^_^
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswah, cerpenku di post di sini ^^
BalasHapus