Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Pemilihan tema wayang dan masalah anak dalang
yang justru membenci kebudayaan Jawa adalah keunggulan cerpen ini. Tokoh utama
pun dinamai Drupadi yang merupakan istri Yudistira dalam kisah pewayangan Jawa.
Kepiawaian Nadia dalam mengangkat kisah anak dalang ini menjadikan cerpenya
terpilih sebagai juara 2 Lomba Menulis Cerita Remaja untuk siswa SMP/MTS yang
diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikdas Republik
Indonesia. Saat menulis kisah ini, Nadia masih duduk di kelas IX SMP.
Penasaran dengan kisahnya? Silakan baca, semoga
memberikan inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik daripada cerpen Nadia
ini.
Rahasia
Wayang Kulit Kesayangan Ayah
Oleh:
Alexandra Nadia Pramestya
Siapa
tidak kenal keluarga Hadiwijaya? Pak Hadiwijaya, meskipun usianya sudah
menginjak angka lima puluh, beliau adalah seorang dalang jempolan. Istrinya,
seorang ibu rumah tangga yang pada masa mudanya bekerja sebagai guru bahasa
Jawa. Puteri sulung keluarga Hadiwijaya, Ratih, meskipun usianya masih lima
belas tahun, sangat ahli menarikan tarian tradisional. Lain halnya dengan
Drupadi, adiknya. Drupadi malah sangat membenci budaya Jawa. Ia juga sangat
nakal. Ada saja ulahnya. Pernah sekali waktu Drupadi mengambil wayang
“Nakula-Sadewa” milik ayahnya. Betapa terkejutnya Pak Hadiwijaya mendapati
wayang kembar miliknya telah dicoreng-moreng dengan warna merah yang tiada lain
adalah lipstik istrinya.
Entah
mengapa akhir-akhir ini, Pak Hadiwijaya tidak jenuh berusaha agar Drupadi dapat
menguasai kesenian Jawa. Mulai dari nembang sampai menulis aksara Jawa,
hasilnya nihil. Bahasa Jawa Krama yang diajarkan ayahnya hanya masuk telinga
kanan, keluar telinga kiri saja. Karena tidak kunjung menguasai, marahlah Pak
Hadiwijaya. Karena emosi, beliau mulai membandingkan Drupadi dengan kakaknya.
Mendengar nama Ratih disebut-sebut sebagai pembanding, marahlah Drupadi. Ia
lalu memikirkan cara untuk membalas perbuatan ayahnya.
Setelah
Semalaman memikirkan rencana balas dendam untuk ayahnya. Dru mendapat ide. Ia
tahu betul kalau Pak Hadiwijaya mempunyai banyak wayang. Namun, ada sebuah
wayang yang paling disayanginya. Di mata orang biasa itu hanyalah sebuah wayang
Anoman tua. Tapi bagi Pak Hadiwijaya, wayang tersebut mungkin mempunyai arti
penting. Hampir setiap sore, Pak Hadiwijaya duduk di pendhopo sambil
membersihkan wayang Anoman yang dipanggilnya‘Nom-nom’ itu. Wayang ini disimpan
di dalam sebuah kotak kayu berukuran sedang yang nampaknya sudah berumur. Pada
permukaan kotak itu terukir tulisan:
“Menawi panjenengan
migunaaken kanthi wicaksana, eng tembe bade nampi ganjaran Ingkang tanpo
kiniro”
Tidak
ada yang tahu apa maksudnya, tidak terkecuali Pak Hadiwijaya sendiri. Suatu hari, Ratih diundang untuk menari
Jawa di Balai Desa. Pak Hadiwijaya dan istrinya
pergi untuk menyaksikan penampilan Ratih. Drupadi sendiri tidak ikut.
“Perutku
sakit, kepalaku entah kenapa sedikit pusing. ” dusta Drupadi pada orangtuanya.
Ketika
semua orang sudah pergi, Drupadi mengendap-endap masuk ke kamar orang tuanya. Drupadi membuka lemari
pakaian milik orangtuanya dan mencari wayang
tersebut. Setelah ia menemukan ‘nom-nom’, diambilnya wayang itu dari kotaknya. Sayang, Drupadi ceroboh. Ia
tidak melihat kalau kuku ‘nom-nom’ tersangkut di dalam kotak penyimpannya. Ditariknya wayang itu dengan kasar
dan sobeklah sedikit kuku ‘nom-nom’.
Diambilnya kuku ‘nom-nom’dan diletakkannya di balik bantal tidurnya. Dru lalu melempar ‘nom-nom’ keluar dari jendela
kamarnya. Kotak ‘nom-nom’ dibiarkannya di dasar lemari, supaya
tidak membuat ayahnya curiga.
Rencana
Drupadi berjalan lancar. Sore berikutnya ketika Pak Hadiwijaya hendak membersihkan ‘nom-nom’, betapa
terkejutnya dia mendapati kotak kayu itu kosong.
Wayang kesayangannya raib. Pak Hadiwijaya lalu menemui istrinya untuk menanyakan bilamana istrinya tahu
perihal wayang tersebut.
“Wah,
ibu ndaktau, pak. Mbok coba tanya Ratih. ” tutur istrinya.
Pak
Hadiwijaya segera menanyakan pada putri sulungnya itu dimana wayang kesayangannya berada. Tapi hasilnya
sama saja. Pak Hadiwijaya segera menghampiri
Drupadi untuk menanyakan dimana wayangnya berada.
“Drupadi,
ayah ingin bertanya,” kata Pak Hadiwijaya sambil masuk ke kamar Drupadi.
“Ih,
ayah, Dru lagi sibuk. Ganggu aja!” protes Drupadi sambil memanyunkan bibirnya.
“Dru
tahu dimana ‘nom-nom’?” tanyaPak Hadiwijaya seakan mengabaikan protes Dru.
“Tidak
tuh. ” jawab Drupadi asal.
“Ayah
percaya padamu. Jangan kecewakan ayah, Dru.” kata Pak Hadiwijaya sambil meninggalkan Drupadi sendiri di
kamarnya.
Semenjak
peristiwa hilangnya ‘nom-nom’, semuanya seperti berubah bagi keluarga Hadiwijaya, Semua orang merasa
kehilangan sosok Pak Hadiwijaya yang setiap
sore selalu membersihkan ‘nom-nom’ sambil bersiul-siul kecil. Hanya Drupadi yang tidak merasa kehilangan. Ia malah
merasa bahwa kebebasannya sudah semakin dekat.
Suatu
malam, Drupadi melihat Pak Hadiwijaya sedang duduk di pendopo sambil menikmati semangkuk wedhang ronde.
Terlintas dalam benaknya untuk menemani ayahnya.
Drupadi segera duduk di sebelah Pak Hadiwijaya. Drupadi mencoba untuk memulai percakapan.
“Ayah
sangat kehilangan ‘nom-nom’ ya?” tanya Drupadi.
“Ya,
tentu saja sangat kehilangan, Dru. ‘nom-nom’ adalah wayang pertama ayah dari hasil menabung selama dua puluh
tahun. ” jawab Pak Hadiwijaya.
“Dua
puluh tahun? Mahal sekali harga ‘nom-nom’!” seru Drupadi.
“Sebenarnya
tidak terlalu mahal, Dru. Tapi karena keluarga ayah dulu termasuk golongan tidak mampu, maka ayah harus menabung susah
payah untuk mendapatkannya. ” jelas
ayahnya.
Kembali
hening. Sesekali terdengar bunyi jangkrik ditengah aroma wedhang ronde yang harumnya menusuk hidung.
Drupadi kembali melontarkan pertanyaan kepada
ayahnya.
“Ayah
sayang Drupadi dan mbak Ratih ndak? Kalo Mbak Ratih tentu ayah pasti sayang. Kalo Dru? Drupadi ‘kan anaknya
nakal, ngeyel, tidak berbakat, lagi.” kata
Drupadi sambil menundukkan kepalanya.
“Hus!
ndak baik merendahkan dirimu sendiri, Nduk. Gusti Allah menciptakan manusia itu punya bakatnya
masing-masing. ” terang Pak Hadiwijaya.
“Ayah,
kalau misalnya ada orang yang menangkap Drupadi, lalu ia meminta ‘nom-nom’ sebagai gantinya, ayah akan
memberikan ‘nom-nom’ tidak?” pancing Drupadi.
“Tentu
saja ayah akan memberikan ‘nom-nom’. Drupadi kan anak ayah sendiri, darah daging ayah. ” jelas Pak
Hadiwijaya.
Drupadi
terdiam. Entah kenapa ia merasa sangat jahat karena sudah menyembunyikan ‘nom-nom’ milik ayahnya. Tiba-tiba, Ratih datang ke
pendopo sambil membawa sepiring
singkong rebus buatan ibunya.
“Lho,
Drupadi? Kamu ndak tau sekarang jam berapa?” kata Ratih sambil meletakkan singkong rebus itu di dekat
ayahnya.
“Jam
sepuluh, tuh, mbak.” jawab Drupadi asal.
“Ngawuraja!
Ini sudah jam sebelas, tau!” omel Ratih sambil berkacak pinggang.
“Biar
saja tho, mbak. Aku kepingin menemani ayah.” kata Drupadi sambil mengambil sepotong singkong yang
dibawakan oleh Ratih.
“Ntar
besok tidak bisa bangun lho. ” goda Ratih.
“Nanti
saja mbak. Belom ngantuk kok dipaksa tidur.” kata Drupadi sambil melahap singkong rebus yang kedua.
“Ibu!
Drupadi ndak mau tidur!” teriak Ratih.
“Ih,
mbak Ratih! Iya deh, Dru tidur sekarang!” kata Drupadi sambil mengambil potongan terakhir singkong rebus dari
piring dan segera pergi ke kamar tidurnya.
Keesokan
harinya, Drupadi memutuskan ia akan mengembalikan ‘nom-nom’ pada ayahnya sekaligus minta maaf karena telah menyembunyikan
wayang itu. Dru berencana akan
mengembalikan ‘nom-nom’ setelah ia pulang sekolah. Namun, tanpa sepengetahuannya, Mbok Tum, pembantu di
rumah keluarga Hadiwijaya menyapu dedaunan
yang berada di bawah jendela kamar Dru, tempat dimana ia menyimpan ‘nom-nom’. Sayang, Karena sudah tua,
matanya kabur sehingga tidak bisa melihat
dengan baik. Tanpa ia sadari, ‘nom-nom’ juga ikut tersapu dan tercampur
bersama dengan daun kering dan
ranting pohon. Sampah kering tersebut oleh Mbok Tum dimasukkan ke dalam sebuah kantong plastik hitam. Saat tengah
memasukkan daun-daun itu dengan
tangannya, Mbok Tum merasa bahwa ia memegang benda semacam kulit yang agak kasar.
‘Ah,
paling mung bangkai burung’. pikirnya. Dilemparkannya kantong itu ke dalam keranjang sampah, menunggu
diambil oleh tukang sampah sekitar.
Sepulang
dari sekolah, Drupadi segera menuju ke tempat dimana ia menyembunyikan ‘nom-nom’ untuk mengambil ‘nom-nom’. Betapa
terkejutnya Drupadi saat mendapati
tempat ia menyembunyikan ‘nom-nom’ sudah bersih dari daun dan ranting. Yang mengejutkan lagi, ‘nom-nom’ tidak ada di
sana.
‘Jangan-jangan
ada yang menyapunya.’ pikir Drupadi.
Segera
Drupadi ingat, bahwa Mbok Tum sering sekali menyapu di pekarangan, mungkin saja Mbok Tum melihat
‘nom-nom’!
Drupadi
segera mencari Mbok Tum. Ternyata Mbok Tum sedang memotong cabai di dapur untuk makan malam.
“Mbok
menyapu sampah yang ada di sini kemarin?” tanya Drupadi tidak sabar.
“Iyo,
nduk. Lha, wong disitu kotor banget, banyak sampahnya. ”tutur Mbok Tum dengan logat Jawa yang masih cukup
kental.
“Saat
menyapu Mbok melihat ada sesuatu yang aneh, ndak?” tanya Drupadi lagi.
“Aneh
kepiye, nduk?”Mbok Tum malah balik bertanya pada Drupadi.
“Misalnya
ada sesuatu yang aneh ikut tersapu.” pancing Drupadi.
“Eh,
ana, nduk. Waktu Mbok mberesi daun itu, mbok rasanya megang‘kulit’ yang agak kasar, karena tak kira burung
mati, ya tak buang. ” jelas Mbok Tum panjang
lebar.
“Sekarang
sampahnya ngendi, Mbok?” tanya Dru panik. Mungkin itu ‘nomnom’!
“Lha,
ya sudah tak buang di tempat sampah, nduk. ” jawab Mbok Tum.
Dru
segera berlari ke tempat sampah, Namun terlambat. Tempat sampah itu sudah kosong. Dilihatnya mobil sampah
sudah cukup jauh dari rumahnya. Drupadi hanya
bisa tertunduk lemas. Tidak mungkin mobil itu bisa terkejar.
Selesai
makan malam, Drupadi menghampiri Pak Hadiwijaya yang tengah membereskan koleksi wayang kesayangannya.
“Maafkan
Drupadi, Ayah. Dru sudah berbohong,” kata Dru dengan mata berkaca-kaca.
“Lho,
kamu berbohong, nduk? Berbohong tentang apa?” tanya Pak Hadiwijaya kaget.
Sambil
menangis tersedu-sedu, Drupadi menceritakan semua kebohongannya kepada Pak Hadiwijaya. Beliau
tercengang sekaligus kecewa karena Dru telah
membohonginya.
“Mengapa
Drupadi bohong pada ayah?” tanyaPak Hadiwijaya lagi.
“Karena
ayah sudah memaksa Dru untuk belajar budaya Jawa! Selain itu ayah juga membandingkan Dru dengan mbak
Ratih. Dru sangat tidak suka, ayah!” kata
Drupadi.
“Maaf
Dru, waktu itu ayah emosi. Tapi penting bagimu untuk belajar budaya nenek moyang kita. Saat ini banyak
budaya asing yang masuk ke negara kita yang
menyebabkan budaya kita sendiri sedikit peminatnya. Beruntunglah di luar
sana banyak yang menyukai budaya
tanah air kita ini. Namun, beberapa diantaranya sudah diklaim negara lain sebagai milik mereka. Tugas keluarga
kita adalah menghidupkannya kembali
dan mencegahnya diambil negara lain.” Jelas Pak Hadiwijaya panjang lebar.
Lama
setelah peristiwa hilangnya ‘nom-nom’, ada berita yang mengejutkan bagi Pak Hadiwijaya dan keluarganya. Pak
Hadiwijaya dikeluarkan dari jajaran pengisi
acara untuk Festival Seni Anak Bangsa yang telah dipersiapkannya selama
sebulan. Berita ini tentunya
mengejutkan keluarga Hadiwijaya dan masyarakat sekitar. Ternyata alasan digesernya Pak Hadiwijaya karena munculnya seorang
dalang baru yang sedang naik
pamornya. Ki Doloh namanya. Karena sedang naik daun, ia dianggap lebih dapat mengundang penonton.
Suatu
pagi, Dru iseng membaca koran. Ia dikejutkan oleh berita tentang Ki Doloh. Foto pada berita itu adalah
seorang pria yang sedang mengacungkan sebuah
wayang yang tidak asing baginya. Wayang itu mirip sekali dengan‘nom-nom’!
Jangan-jangan...
Dru
segera berlari mencari ayahnya. Ayahnya yang sedang duduk-duduk di pendhopo sampai terlonjak kaget karena
kedatangan Drupadi yang begitu tibatiba.
“Masih
pagi kok sudah ribut. ” tanyaPak Hadiwijaya sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Lihat
ini! Wayang ini sangat mirip dengan ‘nom-nom’, yah!” kata Drupadi lagi.
“Memang
sangat mirip. Tapi apa benar ini ‘nom-nom’?” ujar ayahnya lagi.
“Ah,
ayah. Apa ‘nom-nom’ mempunyai ciri-ciri yang membuatnya bisa dikenali.” tanya Drupadi.
“Tidak,
Tidak ada.” Jawab Pak Hadiwijaya. “Kalau
begitu, kita harus sesegera mungkin pergi ke tempat Ki Doloh! Kita harus memastikan apakah wayang
kepunyaan Ki Doloh sebenarnya‘nom-nom’ milik
ayah!” seru Dru.
“Baiklah,
begini saja, nanti sore, kita coba ke rumah Ki Doloh.” kata Pak Hadiwijaya.
Memang
benar, sore harinya Pak Hadiwijaya dan Drupadi pergi ke rumah Ki Doloh. Dengan berbekalkan arahan dari
warga sekitar, tibalah mereka di sebuah rumah
kecil tanpa pagar yang dindingnya berwarna putih tulang. Setibanya mereka di sana, Pak Hadiwijaya segera mengetuk
pintu rumah itu.
“Permisi,
kula nuwun. Kami mencari Ki Doloh.” kata Pak Hadiwijaya sambil mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak lama kemudian, keluarlah seorang
pria kurus dengan tongkat kayu di tangan.
“Ada
perlu apa panjenengan mencari saya?” kata pria itu yang ternyata adalah Ki Doloh.
Pak
Hadiwijaya segera menjelaskan maksud kedatangannya yang ingin mengetahui perihal wayang Anoman
tersebut. Cukup lama mereka berbincang-bincang.
Tidak
terasa hari sudah mulai malam. Pak Hadiwijaya dan Drupadi berpamitan kepada Ki Doloh. Kunjungan itu menyisakan tanda tanya
besar dalam diri Drupadi.
“Dru
rasa itu benar-benar ‘nom-nom’. ”kata Dru saat perjalanan pulang.
“Sudah
kau lihat dengan teliti, Dru?” tanya Pak Hadiwijaya tidak yakin.
“Iya.
Dru yakin banget itu ‘nom-nom’. Sangat mirip. ”Kata Dru yakin.
Keesokan
harinya, Drupadi dan Pak Hadiwijaya mengunjungi Ki Doloh. Pak Hadiwijaya menjelaskan kepada Ki Doloh
mengenai kejadian yang menimpa wayangnya
karena ulah Dru, dan meminta kembali wayang itu. Diluar dugaan, Ki Doloh ternyata menolak permintaan Pak
Hadiwijaya. Ki Doloh bersikukuh bahwa mereka
tidak punya bukti. Akhirnya Pak Hadiwijaya, Ratih, dan Drupadi pulang dengan tangan kosong.
Sore
harinya, Drupadi memutuskan untuk menemui Ki Doloh. Dengan mengendarai sepeda, Drupadi tiba di rumah Ki Doloh. Ternyata yang
membukakan pintu untuknya adalah
wanita tua.
“Lho,
nduk. Mencari siapa?” tanya wanita itu.
“Saya
mencari Ki Doloh.” jawab Drupadi jujur.
“Wah,
bapak sedang keluar, nduk. Masuk saja dulu sambil menunggu bapak tiba.” kata wanita itu sambil
mempersilahkan Drupadi masuk.
“Saya
istri Ki Doloh, nduk. Kenalkan, nama saya Bu Wening.” katanya sambil tersenyum ramah.
“Kenalkan
bu, saya Drupadi. Saya putrinya Pak Hadiwijaya yang kemarin kemari.” Kata Drupadi.
“Jadi,
Drupadi kemari mencari bapak, ada perlu apa?” tanya bu Wening sambil duduk di hadapan Drupadi.
“Begini,
bu. Kemarin, wayang Anoman Ki Doloh itu sebenarnya milk ayah saya,” jelas Drupadi sambil tertunduk malu.
“Benarkah?
Kalau iya, ibu mohon, biarlah keluarga kami yang menyimpannya.” kata bu Wening sambil menghela nafas
berat.
“Mengapa
bu?” tanya Drupadi kecewa.
“Karena
setelah menemukan wayang itu, keluarga kami jadi lebih beruntung, Sejak bapak membawa wayang itu dari
pembuangan, bapak bisa mendapat pekerjaan
yang lebih baik sehingga keluarga kami bisa hidup lebih layak meski bapak selama ini hanya bekerja sebagai
pemulung.” jelas bu Wening.
Tiba-tiba
terdengar suara yang cukup berat dari luar. Rupanya Ki Doloh sudah kembali. Beliau cukup terkejut melihat
Drupadi datang sendiri, karena hari sudah
mulai petang.
“Ana apa nduk? Kok datang kemari malam-malam?”
tanya Ki Doloh.
“Kemarin
Ki Doloh tidak percaya kalau wayang itu milik ayah saya, Kalau saya menemukan bukti yang meyakinkan,
bisakah wayang itu kembali menjadi milik ayah?”
tawar Drupadi.
“Baiklah,
nduk. Kalau memang bukti itu benar, wayang itu boleh kau ambil dengan satu syarat. ” Kata Ki Doloh.
“Apa
Ki?” Tanya Dru.
“Kamu
sudah tahu, ayahmu ndak mengisi acara untuk Festival seni karena saya gantikan. Biarlah acara itu tetep saya
yang mengisi. Itu syaratnya. Bagaimana?” Kata Ki Doloh.
“Saya
terima Ki.” kata Dru. Drupadi pun
segera pamit karena hari sudah mulai malam. Sambil mengayuh pelan sepedanya, Dru mulai memikirkan, apa bukti yang bisa ia
berikan kepada Ki Doloh.
Setibanya
dirumah, Drupadi menceritakan semua itu kepada Ratih yang sedang mengecat kukunya. Tiba-tiba, terlintas ide jahil di kepala
Drupadi saat melihat kakaknya sedang
mengecat kuku. Drupadi secara tiba-tiba mengagetkan kakaknya.
“DOR!”
teriaknya sambil menepuk pundak kakaknya.
“AAAH!”
jerit Ratih terkejut. Dru sambil tertawa keras melihat kakaknya.
“Drupadi!
Anak nakal! Kukuku jadi berantakan kan!” teriak Ratih marah.
Tiba-tiba
Drupadi diam. Rasanya ada hal penting yang terlupa olehnya. Dru ingat. Saat mengambil ‘nom-nom’ia
sempat membuat wayang itu rusak. Kuku ‘nomnom’ sobek karena Dru menariknya terlalu keras dan juga karena
‘nom-nom’ sudah tua dan kulitnya
sudah rentan.
Drupadi
segera membongkar tempat tidurnya. Ia tersenyum puas ketika menemukan benda yang ia cari. Sobekan kuku ‘nom-nom’. Ia segera
berlari ke atas kasur dan tidur.
Tidak sabar untuk esok hari.
Hari
yang ditunggu Drupadi tiba. Ia segera pergi ke rumah Ki Doloh. Sesampainya di sana ia disambut oleh Ki Doloh
“Ki
Doloh kemarin sudah janji kalau saya punya bukti, Ki Doloh akan mengembalikan wayang itu pada saya.”
kata Drupadi.
“Ya,
memang kemarin sudah janji. Sudah menemukan bukti?” tanya Ki Doloh.
“Sudah,
Ki!” seru Drupadi senang.
Ki
Doloh segera berdiri dan pergi dan tak lama kemudian, ia keluar dengan sebuah wayang di tangan. Disodorkannya
wayang itu pada Drupadi. Dru melihat tangan
wayang itu, tidak ada kukunya kelihatan disobek secara paksa.
“Ini
buktinya, Ki.” kata Drupadi sambil menyodorkan kuku ‘nom-nom’.
“Opo
iki?” tanya Ki Doloh sambil menyentuh kuku itu.
“Kuku yang sobek dari wayang itu. Coba
dipasangkan? Cocok?” kata Dru. Ki
Doloh yang tidak percaya penjelasan Dru segera mencoba memasangkan kuku itu. Hasilnya sangat cocok! Ya,
wayang itu memang benar-benar ‘nom-nom’!
“Iya.
Kok bisa?” kata Ki Doloh setengah tidak percaya.
Drupadi
segera mengisahkan semua kejadian yang dialami oleh ‘nom-nom’ tua ini. Cerita tentang kukunya yang
tersobek, dan sampai Dru ingat kuku itu disimpannya
di bawah bantal tidurnya.
“Saya
percaya wayang itu milikmu. Wayang itu bisa tok bawa pulang, nduk. ” jawab Ki Doloh sambil tersenyum.
“Terima
kasih, Ki” kata Dru sambil menghembuskan nafas lega. Drupadi segera berpamitan karena ternyata hari sudah sore. Ia
sudah tidak sabar untuk
memberitahukan hal ini kepada ayahnya. Setibanya di rumah, Drupadi segera berlari menemui ayahnya dengan
sebuah wayang ditangan.
“Ayah!
Lihat ini!” kata Drupadi sambil menyodorkan wayang itu kepada ayahnya.
“‘Nom-nom’?”
tanya Pak Hadiwijaya kaget.
“Ya!
Dru berhasil menemukannya kembali!” seru Dru. Drupadi pun menceritakan semuanya kepada Pak Hadiwijaya. Ia
sekaligus minta maaf karena telah
merusak ‘nom-nom’. Pak Hadiwijaya sangat gembira dan berterima kasih kepada Drupadi yang telah berusaha keras untuknya.
Seminggu
kemudian, Festival Seni Anak Bangsa digelar. Keluarga Hadiwijaya ikut serta. Mereka juga menonton
berbagai pagelaran. Tak terkecuali penampilan Ki Doloh. Pak Hadiwijaya dan Drupadi pergi ke belakang panggung
untuk menemui Ki Doloh.
“Panjenengan
sudah pandai sekali nanggap wayang ngono, kok.” komentar Pak Hadiwijaya.
“Ah,
belum sehebat panjenengan.”Ki Doloh merendah.
“Tuh
kan, Ki. Tanpa ‘nom-nom’ pun, Ki Doloh bisa menanggap dengan baik, kan?” kata Drupadi sambil tersenyum.
Drupadi
yang dulunya membenci budaya Jawa mulai terbuka matanya. Ia mulai tertarik dan ingin belajar setelah
melihat festival itu. Dru mulai menyadari daya tarik warisan nenek moyangnya tersebut. Ternyata tanpa wayang
keberuntungan itu pun kita dapat
membuat keberuntungan sendiri. Dengan usaha dan kerja keras, sebenarnya semuanya bisa kita lakukan.
[*]
Drupadi dalam Pewayangan Jawa |
sumber foto: www.wayang.wordpress.com
ijin save ya Mas... buat belajar muridku...
BalasHapuskeren nih Nadia
Silakan, semoga bermanfaat, Zi
Hapus