Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Orang tua seringkali memperlakukan anak-anaknya secara berbeda. Hal itu dapat menimbulkan kecemburuan dan perselisihan antar saudara. Hal itulah yang diangkat Giza Arifkha Putri dalam cerpen Seuntai Puisi untuk Adikku.
Cerpen tersebut terinspirasi dari kisah nyata Giza sendiri yang mempunyai adik berkebutuhan khusus. Sejak lahir adiknya berada dalam kondisi cerebral palsy yang diterjemahkan menjadi lumpuh otak dalam bahasa Indonesia.
Perlakuan orang tua yang berbeda karena kondisi fisik yang tak sama itu sempat menimbulkan kecemburuan dan kekesalan di hati Giza. Sebagian besar cerita cerpen dan puisi benar-benar pernah dialami Giza.
Tema yang tepat, kisah yang menyentuh, dan pilihan kata
yang cukup puitis menjadikan cerpen karya pelajar kelas VI SD Negeri Bintoro 5
Demak itu meraih peringkat pertama pada Lomba Menulis Cerita Anak 2013 yang
diadakan oleh Kemendiknas.
Jika kamu sudah membaca cerpen ini, mungkin kamu
juga akan mengatakan bahwa Giza pantas menjadi juara pertama lomba menulis itu.
Seuntai Puisi untuk Adikku
Oleh: Giza Arifkha Putri
Rinai membasuh
bumi dengan riangnya. Bagai anak manja yang telah melewati masa hukuman setelah
beberapa lama terkurung, membuncah deras titik-titik air dari langit menyongsong
kebebasan. Namun sayang, hatiku tak seriang rinai yang menciptakan embun tebal
di jendela kamarku. Hatiku tak sebebas rinai yang melompat-lompat di atas paving
teras rumahku. Ada rasa kesal yang mengentak-hentak dinding kalbu. Pada dia,
adik lelakiku, yang menyita habis seluruh perhatian Mama, Papa, dan segenap
keluarga.
Faza, sebuah
nama yang sebenarnya aku turut andil dalam penciptaannya meskipun hanya dengan
ucapan “ya”, tanda setuju, ketika Papa melontarkan kata itu saat calon adikku
masih tertidur nyaman di dalam perut Mama. Kata Papa waktu itu, hasil USG menunjukkan
kalau calon adikku berjenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu, Papa sudah mempersiapkan
nama untuk bayi laki-laki bagi adikku nantinya, hingga tercetuslah nama “Faza”.
Ketika genap
kandungan Mama menginjak usia 6 bulan, adikku keluar tanpa diminta, seolah-olah
tak sabar melihat dunia yang begitu indah, atau mungkin tak sabar bertemu
denganku, saudara perempuannya. Akibat dari kelahiran yang belum waktunya itu –orang
dewasa sering menyebutnya prematur-- adikku terlahir tak sempurna. Cedera otak
atau istilah yang sering disebut oleh dokter ketika berbicara dengan Mama
adalah Cerebral Palsy, merupakan penyakit yang diderita adik
lelakiku, Faza. Karena penyakit itu, adikku tidak mampu beraktivitas secara
normal seperti anak-anak normal pada umumnya. Faza tidak bisa bicara, tidak
bisa melihat, tidak bisa duduk, apalagi berjalan. Mungkin hanya pendengaran dan
detak jantungnya saja yang masih normal bekerja. Semua harus dibantu orang-orang
di sekelilingnya. Dan itu, sungguh merepotkan bagiku. Penyakit itu pula yang
membuat kasih sayang Mama, Papa, dan segenap keluarga terenggut dariku. Tentu saja,
ketaksempurnaan tubuh Faza membuat semua orang begitu memperhatikannya.
Dulu, sebelum
dia lahir, perhatian Mama sepenuhnya untukku. Tapi kini, waktu Mama habis untuk
memperhatikan anak kesayangan Mama ini dengan segala kelemahan organ tubuhnya.
Papa juga sama, selalu menghabiskan waktu untuk adikku begitu pulang kerja dan tak
pernah lagi menawariku jalan-jalan sore, menghabiskan waktu di alun-alun kotaku
sambil makan jagung bakar manis dan sate kerang kesukaanku. Adik lelaki yang dulu
sangat kukasihi ketika masih tidur nyenyak di perut Mama, kini menjadi orang
yang paling kubenci sejak dia lahir ke dunia.
Siang itu
sepulang sekolah, Wali Kelasku memintaku menghadap karena ada sesuatu hal yang
ingin ia bicarakan. Aku pun segera menuju ke ruang guru untuk menemui Bu Jatun,
Wali Kelasku.
“Sasa, tiga
hari lagi kamu mewakili sekolah dalam Lomba Macapat Islami tingkat Provinsi di Semarang.
Apakah kamu sudah memberitahu kedua orangtuamu untuk mendampingimu dalam lomba
tersebut?” tanya Bu Jatun, yang langsung kujawab dengan satu kata, “sudah”.
Padahal jawaban itu kukarang dengan spontan, karena sebenarnya aku tak pernah
menyampaikan hal tersebut kepada kedua orangtuaku. Bagaimana mungkin aku menyampaikan
hal itu pada Mama dan Papa, jika waktu mereka habis untuk Faza. Jadwal terapi
dan berobat Faza seolah harga mati yang tidak mungkin terusik oleh acara
sepenting apa pun, termasuk lomba yang akan kuikuti ini. Percuma, pikirku, toh
mereka pasti akan menjawab tidak bisa hadir. Jadi, kuputuskan untuk diam hingga
mendekati hari pelaksanaan lomba.
Suatu hari
sepulang sekolah, Mama tiba-tiba bertanya, “Sa, tadi Mama bertemu Bu Jatun.
Katanya, besok kamu akan mengikuti Lomba Macapat Islami tingkat Provinsi di Semarang.
Bu Jatun menanyai Mama tentang siapa dari Mama dan Papa yang akan mendampingi
kamu di acara itu. Terus terang Mama gelagapan ketika ditanya Bu Jatun. Mama akhirnya
mengatakan kalau Papa yang akan mendampingimu. Kamu kok nggak pernah mengatakan kepada Mama tentang hal ini, Sa?”
Seolah
meluapkan kekesalan, aku pun menjawab dengan ketus, “Apakah jika Sasa bicara,
Mama dan Papa mau hadir dalam acara itu? Lagi pula, apa Mama dan Papa mau
mendengar jika Sasa bicara?”
“Lho, Sasa kok
bicara gitu sih. Ya pasti dong, Sayang, Mama dan Papa mau mendengarkan setiap kali Sasa
ingin menyampaikan sesuatu,” jawab Mama dengan sabar dalam memberi reaksi pada
keketusanku.
“Bohong. Selama
ini yang ada di pikiran Mama, Papa, dan semua orang hanyalah Faza dan Faza.
Tidak ada yang peduli lagi dengan Sasa. Setiap Sasa menginginkan sesuatu, Mama
dan Papa selalu menolak dengan alasan Faza. Semua orang tidak ada lagi yang
sayang samaSasa,” teriakku sambil menangis.
Menghadapiku,
Mama dengan kesabarannya mendekatiku. “Sasa anakku, jika Mama dan Papa bisa memilih,
maka kami akan memilih anak seperti Sasa. Anak yang pintar, cantik, dan
berprestasi. Tapi rupanya Allah menganugerahkan Mama dan Papa, juga Sasa
tentunya, anak dan adik yang seperti Faza. Membandingkan antara kondisi Faza
dan Sasa, tentunya Sasa sebagai kakak harus punya pengertian yang sangat besar jika
Mama dan Papa sedikit lebih memperhatikan Faza. Ketika Faza tidak bisa melihat
dan Sasa bisa melihat, maka tentunya Mama dan Papa akan memapah Faza dengan
tanpa mengabaikan Sasa. Ketika Faza tidak bisa berjalan dan Sasa bisa berjalan
dengan normal, maka Mama dan Papa akan menggendong Faza dengan tanpa
mengabaikan Sasa. Dalam hal ini, Mama dan Papa minta maaf jika mungkin selama
ini terkesan lebih memerhatikan adikmu. Tapi sungguh, harapan kami, kasih
sayang kami tidak berat sebelah antara satu anak dengan anak yang lainnya. Sasa
bisa mengerti maksud Mama?”
Panjang lebar
Mama menasihatiku, tapi rupanya rasa kesalku terhadap Faza lebih bertahta dari
rasa sayangku terhadap Mama. Maafkan aku, Ma. Aku belum sanggup menerimanya.
Di antara rasa
kesal yang masih menggelora, keesokan harinya aku pun mengikuti Lomba Macapat
Islami dengan didampingi Papa. Ternyata, rasa kesal mempengaruhi hasil suaraku
sehingga aku harus berpuas diri meraih juara harapan ke-3. Papa membesarkan
hatiku, demikian juga dengan Mama, melalui pesawat telepon di seberang sana.
“Selamat ya,
Sayang,” sambut Mama begitu aku sampai di rumah. Aku tidak begitu bersemangat
menanggapi pelukan Mama yang tangan kanannya repot memangku Faza --dengan mulut
yang belepotan air liur dan makanan seperti biasanya.
Huh,
menyebalkan!
Aku pun meletakkan
begitu saja piagam penghargaanku, lalu buru-buru berlari ke kamar mengadukan
kekesalan hati pada bantal dan guling. Mungkin karena kelelahan, aku pun
tertidur untuk beberapa saat. Namun, ocehan dan teriakan Faza mengusik mimpiku
dan memaksaku bangun untuk menghampirinya dengan bersungut. “Dasar anak nggak normal! Bisanya cuma mengganggu ketenangan orang,” gerutuku
dengan menurunkan volume suara tentunya, karena jika Mama mendengar aku
menyebut Faza sebagai “anak nggak
normal”, pasti aku akan kena marah nantinya.
“Ya Allah,
Faza. Apa yang kamu lakukan pada piagam Kakak?” Aku berteriak ketika melihat
piagam penghargaan yang kuperjuangkan tadi siang, dilumat habis olehnya. Memang,
semua benda yang tersentuh tangan Faza, selalu habis ia makan pada akhirnya.
Dan memang, sebenarnya kesalahanku juga telah meletakkan piagam itu di atas
kasur Faza sehingga sampailah benda berharga itu di mulutnya. Kukeluarkan dengan
paksa remahan piagamku dari mulut Faza. Kupunguti piagam yang sudah tak berupa
itu dengan isakan tangis dan rasa kesal pada adikku. Kucubit pipinya yang gempal
dan putih hingga memerah dan membuatnya menangis keras. Kutinggalkan ia dengan
tangisnya, sampai Mama yang baru mandi keluar terbirit-birit menghampiri dan
kemudian menenangkan Faza.
Jam
menunjukkan pukul 04.30. Kudengar suara gaduh dari luar kamar. Aku pun keluar
menghampiri asal suara yang mengusik tidur nyenyakku. Kulihat Mama dengan muka
cemas menggendong Faza yang sudah memakai jaket dan selimut tebal seperti
hendak bepergian. Sementara Papa membawa tas yang biasanya berisi pakaian Faza.
“Papa dan Mama
mau membawa Faza ke mana?,” tanyaku mengusik kecemasan mereka.
“Oh, kamu
sudah bangun, Sayang. Ini, adikmu semalam panas tinggi dan kejang. Mama
khawatir karena sampai sekarang panasnya belum turun. Jadi mau Mama bawa Faza
ke rumah sakit. Kamu shalat subuh dulu sana, doakan Adik supaya tidak ada
apa-apa ya!” kata Mama menggoreskan luka di hatiku.
Kudekati Faza,
kupegang dahinya, dan kurasakan panas menjalar di sekujur tubuhku. Tiba-tiba
saja ada rasa penyesalan yang melanda atas perlakuanku kepadanya tadi sore. Kutengok
pipi putih yang merona merah sisa kekejamanku. Ya Allah, aku takut jika
sakitnya Faza karena ulahku. Ya Allah, sembuhkan adikku dari sakit yang
dideritanya saat ini. Aku meminta dengan ketulusan hati dalam shalat subuhku.
Pagi, di
sekolah, aku tak berkonsentrasi dengan pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Pikiranku melayang-layang pada kondisi Faza. Ingin sekali mempercepat waktu agar
bel pulang segera berbunyi sehingga aku dapat segera ke rumah sakit bertemu
Mama, Papa, dan Faza. Kata Mama sebelum ke rumah sakit subuh tadi, Kakek akan menjemputku
sepulang sekolah dan langsung membawaku ke rumah sakit jika aku berkeinginan
menjenguk Faza.
“Sasa, jangan
melamun! Kamu paham tugas yang Ibu minta tadi?” ucapan Bu Jatun membuyarkan
lamunanku.
“Eh, maaf Bu.
Mohon diulangi, saya kurang paham,” kataku berbohong.
“Baiklah, Ibu
akan ulangi lagi perintah Ibu tadi. Sasa dan juga yang lainnya, dengarkan baik-baik
tugas yang akan kalian kerjakan hari ini! Buatlah sebuah puisi tentang ungkapan
kasih sayang kita kepada seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan kita!
Seseorang itu bisa berarti orang tua, saudara, kerabat, ataupun sahabat. Sudah
paham anak-anak?” jelas Bu Jatun yang diikuti ucapan “paham Buuu” secara koor
oleh aku dan teman-teman.
Tugas
mengarang puisi yang diberikan Bu Jatun mengangankanku akan sosok adikku
tersayang, meskipun selama ini menurutku belum benar-benar kusayang karena
kecemburuanku yang buta. Sebuah puisi untuk adikku, Faza, akan kubuat untuk
memenuhi tugas Bu Jatun sekaligus sebagai tanda kasih dan maafku padanya.
“Seuntai Puisi
untuk Adikku” adalah judul puisiku, mengalir dalam goresan tinta dan air mata penyesalanku.
Andai sanggup
kuuntai air mata
kan
kurajut menjadi selimut hangat
dengan balutan kasih yang kan menutupi tubuh mungilmu
Andai
kumampu
memberi
warna pada harimu yang tak bermimpi
hingga
luka satu-satu pergi
dan aku
bebas memelukmu
dengan
hujan tangis yang memburu
Adikku,
bersabarlah karena Tuhan punya rencana
di
balik ketaksempurnaan tubuhmu
yakinlah
aku akan menerimamu tanpa ragu
Akhirnya, bel
tanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Bergegas
aku berlari keluar kelas setelah sebelumnya bersalaman dan mengucapkan salam pada guru yang mengajar di jam pelajaran
terakhir. Kubawa kertas hasil karangan puisiku
yang tadi sempat kubacakan di depan kelas. Ada nilai 90 bertinta
merah tertuliskan dari pena Bu Jatun sebagai penghargaan atas hasil karyaku
itu. Aku berlari kencang menghampiri Kakek yang telah menungguku
di depan gerbang sekolah. Kami pun segera meluncur ke rumah sakit
tempat Faza dirawat.
“Mamaaa…,” aku
berteriak sambil membuka paksa pintu sebuah ruangan
rumah sakit, yang ber-AC, berbau obat, dan serba putih.
“Eh, Kakak datang,” sambut Papa sambil meraihku dan mengangkat
tubuhku untuk kemudian mendudukkanku di sisi
sebuah ranjang tempat Faza
berbaring. Kulihat Faza dengan muka
lemah masih sempat tersenyum sebagaimana yang selalu ia lakukan setiap kali mendengar
suaraku, tersenyum tanpa makna. Tangan kanannya tampak terbebani oleh selang
panjang yang berjarum --kata Mama disebut infus. Pasti sakit tentunya.
“Mama,
bagaimana keadaan Faza?” tanyaku pada Mama yang ada
di sebelah Faza.
“Alhamdulillah,
berkat doa Kakak, Adik Faza sudah baikan sekarang.
Ini tinggal pemulihan saja,” kata Mama memberi penjelasan.
Dengan penuh
kasih sayang dan rasa penyesalan, kubelai kepala Faza yang hangat. “Za, maafin
Kakak ya. Kakak jahat sama kamu selama ini. Habisnya semua orang jadi tidak peduli sama Kakak gara-gara Kamu. Maafin juga
kemarin Kakak marah-marah dan nyubit pipi
kamu sampai merah. Salah sendiri kamu nakal ngrusakin piagam
Kakak.”
“Oooaa,”
seolah mengerti apa yang kuucapkan, Faza menimpali ucapanku dengan ocehannya.
Mama, Papa, dan Kakek pun tertawa mendengarnya.
“O iya, Kakak buatin kamu sebuah puisi lho.
Dapat nilai 90 nih. Kakak bacain
ya,” kataku bersemangat sembari turun
dari atas ranjang.
Semua pun
menyambutku dengan tepuk tangan. Dengan gaya bak seorang penyair, aku pun mempersiapkan
ekspresi terbaik untuk membacakan hasil karya terbaikku untuk adikku tersayang.
“Sebuah puisi karya Sasa Putri Delvaira untuk Adik tercinta, Faza Putra
Delvaira,” ucapku mengawali pembacaan puisiku dengan hati riang.
Sumber: Buku Elektronik Antologi Cerpen LMC-SD/MI 2013
Sumber: Buku Elektronik Antologi Cerpen LMC-SD/MI 2013
Untuk ukuran anak SD, tulisannya Giza ini sangat dewasa. Giza juga pintar merangkai kata, alurnya juga rapi dan kosa katanya luas. Keren. Saya ga akan percaya kalau dia masih SD lho kalau ga dikasih tau.
BalasHapusIya, Teh Efi. Sempat nggak percaya juga, Tapi dewan juri yang diketuai Pak Taufik Ismail sudah melakukan wawancara dan tes menulis untuk semua finalis, sehingga nggak bisa disangkal bahwa itu tulisan si anak
Hapushuhuhu...aku kok nangis bacanya yak.. :'(
BalasHapuskeren, apalagi yg nulisnya anak SD :)
Iya, jadi mellow hati ini
Hapushuhuhu...aku kok nangis bacanya yak.. :'(
BalasHapuskeren, apalagi yg nulisnya anak SD :)
Bagus!
BalasHapusWah, keren. Aku udah mau SMA tapi kukira ini tulisan anak kelas 2 smp gitu :''3 kereeen. Penulisannya rapi, diksi dll kereeen. jadi malu sama diri sendiri T_T
BalasHapusAyo terus nuli, biar kita nggak kalah :)
HapusAnak pinter. Sudah bisa menulis dan keren sekaliii , top bgt lah.
BalasHapuswah, mas pintar ya membuat cerpen, kalau saya bingung mas mau mulai dari mana heehee
BalasHapusIni bagus bangettt... Pengetahuan katanya luas dan penyusunannya juga rapi, mungkin sehari2nya memang bacaannya berat2 ya sampai bisa membuat yg seperti ini.... Kelas 5 donk...
BalasHapusHampir nggak percaya kalau tulisan ini dibuat oleh anak kelas 5 SD. Keren. Seperti yang Mbak Evi sampaikan, tulisan
BalasHapustulisan ini terkesan dewasa sekali. Tetapi memang kalau cerita yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, hasilnya
BalasHapusterkadang di luar nalar pemikiran orang lain.
BalasHapusSalut buat Giza. Pantas jadi pemenang. ^_^
nangis bacanya๐๐๐
BalasHapusnangis bacanya๐๐๐
BalasHapusooh lombanya ada tes wawancara ya? hebat nih
BalasHapusIya, para finalis diundang untuk membuktikan orisinalitas ceritanya. Sudah 2 kali penyelenggaraan ada finalis yang pulang karena ketahuan, cerpen bukan asli buatannya
Hapus