Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Apa menariknya kisah berjudul Lampu Hias Berbentuk Bulan ini? Memang
kisahnya tidak membuat kita meneteskan air mata. Namun satu kata kalimat yang
saya renungkan dari cerpen ini adalah “Lebih baik berpisah dan memberi manfaat,
ataukah tetap bersatu tapi dipecahkan”
Jika kita renungkan lebih jauh,
kata-kata itu sangat bermakna dan disampaikan oleh anak kelas V SD. Mungkin
itulah salah satu alasan kenapa cerpen ini terpilih sebagai Juara 2 LMCA 2013
atau Lomba Menulis Cerita Anak tahun
2013 yang dilenggarakan Kemendiknas. Silakan membaca dan renungi makna
ceritanya.
Lampu Hias Berbentuk Bulan
Oleh: Najma Alya Jasmine
Kisah ini,
berawal dari sebuah toko lampu hias besar yang ada di sebuah kota. Toko itu
sangat terkenal dengan beragam bentuk lampu hias yang dijual di sana. Salah
satu diantaranya Bulan. Bulan adalah sebuah lampu berbentuk sama seperti
namanya, bentuk bulan. Keluarga Bulan sudah tak ada. Mereka sudah dibeli oleh pembeli
lampu hias itu. Termasuk orangtuanya.
Dulu saat
lampu hias berbentuk bulan datang dengan jumlah yang banyak, dan menempati rak
toko, para petugas toko langsung mengelompokkan lampu hias berbentuk bulan itu
menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok berjumlah 4 buah. Nah, dari situlah
Bulan memiliki orangtua.
Tapi sekarang
Bulan merasa kesepian. Seluruh teman, keluarga, tetangga, dan orangtuanya yang
berbentuk bulan, sudah dibeli. Mereka semua telah pergi.
Mungkin
lain hari mereka akan suka padaku, pikir Bulan dulu, saat saudara dan teman-temannya yang
berbentuk bulan, satu persatu dibeli. Tapi hingga sekarang, ia belum juga
dibeli. Sampai akhirnya Bulan tinggal satu-satunya lampu hias, dan dianggap
usang dengan warna yang makin memudar. Padahal. Meskipun warnanya makin
memudar, ia memiliki bentuk yang utuh dan masih pantas untuk dijual.
Kini ia telah
disisihkan. Tinggal di rak lampu hias bersama lampu-lampu lain yang bentuknya
berbeda. Rak itu memang isinya hanyalah khusus untuk lampu hias yang tersisa, yang
sudah dianggap tidak laku. Letaknya jauh di belakang. Di rak itulah, Bulan
mengenal teman yang sama-sama bernasib sama. Satu teman bernama Tart si lampu
hias berbentuk kue tart, dan teman satunya lagi Hello si lampu hias berbentuk telepon
genggam. Sampai saat ini hanya mereka yang menempati rak itu.
“Tart, Bulan,
aku kangen dengan orangtuaku. Bagaimana ya keadaan mereka sekarang? Aku harap mereka
baik di sana,” terdengar suara Hello, yang berkata pada Bulan dan Tart.
“Betul Hello,
aku juga merasakan hal yang sama. Aku kangen pada
orangtuaku. Kadang-kadang sangat sedih
kalau mengenang masa-masa
indah saat masih bersama mereka,” balas
Bulan sambil memandang ke arah Hello.
“Aku juga
kangen pada orangtuaku,” komentar Tart.
“A… Ibu, Ayah,
aku takut!” tiba-tiba terdengar suara jeritan dari jauh. Ternyata itu jeritan
Vola, sebuah lampu hias berbentuk komputer kecil, yang dibawa oleh seorang
pembeli.
“Vola, Vola,
Vola, hiks…hiks…hiks…,” tangis Ibu Vola, meratapi kepergian anaknya. Semua
lampu hias hanya bisa memandang. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Termasuk juga
Hello, Tart, dan Bulan.
“Tart, Hello,
kasihan ya Ibu dan Ayah Vola?” kata Bulan.
“Iya,” jawab
Tart dan Hello berbarengan.
“Dulu, aku
pernah berpikir bahwa teman, saudara, juga orangtuaku tidak suka padaku.
Makanya mereka memilih menjauhiku. Ternyata, mereka dibeli oleh para pembeli di
toko ini,” kata Bulan lagi.
“Sudahlah,
jangan larut dalam kesedihan teman-teman! Bagaimana kalau kita bernyanyi saja?”
hibur Tart.
“Ayo. Aku
senang kalau kita bernyanyi saja. Oh iya Tart, Hello, aku pernah mendengar ada
seorang pembeli yang menyanyikan lagu yang liriknya begini:
Ambilkan
bulan Bu, Ambilkan bulan Bu!
Yang
slalu bersinar di langit biru.
Di langit,
bulan benderang.
Cahyanya
sampai ke bintang…
Ambilkan
bulan Bu, untuk menerangi...
tidurku
yang lelap, di malam gelap….
Nah, bagaimana
kalau kita nyanyikan lagu itu saja? Ya, walaupun aku tidak tahu judulnya,” usul
Bulan.
“Suaramu
bagus, Bulan. Aku juga hafal lagu itu. Baiklah, kita bernyanyi. Aku hitung ya!
Satu, dua, tiga…,” sambut Hello.
Lalu mereka bernyanyi
dengan riang. Semua lampu memandang ke arah mereka. Nyanyian itu membuat mereka
semua bergembira. Mereka semua lupa akan kesedihan masing-masing.
Hari pun terus
berganti. Hingga suatu malam, Bulan membangunkan Hello sambil menangis.
“Hello, hiks…
hiks… hiks…,” tangis Bulan membangunkan Hello yang tertidur.
“Ada apa
Bulan? Kenapa engkau menangis?” tanya Hello.
“Tart, Tart,
hiks…hiks…,” tangis Bulan terdengar lirih.
“Ada apa
dengan Tart? Kenapa? Apakah ia pergi?” tanya Hello seperti sudah menduga.
Berkali-kali kejadian seperti ini memang terulang. Tapi bukan pada mereka. Maka
ketika Bulan menangis dan menyebut Tart,
Hello sangat
kaget.
“Tart sudah
dibeli… hu…hu…hu...,” tangis Bulan kini makin menjadi.
“Jangan
bercanda Bulan. Kalau kau bercanda, itu tidak lucu!” Hello tak percaya.
“Aku tak
bercanda, Hello. Dua jam yang lalu, Tart dibeli seorang wanita cantik,
hu…hu…hu…,” Bulan mengusap air matanya, berusaha meyakinkan bahwa kabar itu
benar.
“Jadi benar,
Bulan? Bahwa Tart sudah pergi? Hu… hu... hu…,” tangis Hello pun akhirnya pecah.
Ia tak sanggup menahan kesedihan. Mereka berdua serentak memandang pada tempat
Tart yang kini kosong.
“Iya Hello.
Padahal tadi pagi kita bermain bersama, dan bernyanyi, hiks….”
“Tart, Tart,
Tart… kamu dimana? Pasti kamu tidak pergi!” Hello masih berusaha untuk tidak
percaya. Ia memanggil-manggil nama Tart sahabatnya. Siapa tahu tempatnya saja
yang dipindah. Tapi berkali-kali Hello memanggil, tak ada juga jawaban dari
Tart. Tampaknya memang benar bahwa Tart sudah pergi.
“Kamu memang
benar, Bulan, Tart sudah dibeli. Hiks… hiks… hiks…,” Hello baru benar-benar
percaya kalau Tart sudah dibeli. Tiba-tiba mereka melihat seorang petugas meletakkan
secarik kertas di rak yang ditempati Hello dan Bulan. Kemudian petugas itu
pergi.
“Apa itu
Hello?” tanya Bulan.
“Tidak tahu.
Ayo kita baca!” jawab Hello. Kertas yang diletakkan petugas itu memang ada di
samping Bulan dan Hello. Maka dari itu, mereka dapat membaca tulisan di kertas
itu.
“Satu lampu
hias bentuk kue tart telah terjual,” Bulan membaca.
“Huh, lebih
baik kita tinggal di gudang saja daripada terpisah. Siapa tahu kita pun akan
dibeli,” gerutu Hello.
Belum sempat
Bulan merespon gerutuan Hello. Tiba-tiba…. “Dua lampu hias ini disimpan di gudang
saja! Nanti kalau ada yang beli, baru dikeluarkan!” itu suara pemilik toko.
Pemilik toko lampu hias itu menyuruh seorang petugas agar Bulan dan Hello
dimasukkan ke gudang. Suatu hal yang justru diinginkan Hello.
“Hello,
kata-katamu tadi adalah doa yang terkabul!” bisik Bulan.
“Iya Bulan.
Sebab kalau kita tinggal di gudang, akan lebih tenang. Kita tidak akan terlihat
oleh para pembeli. Karena itu, kita tidak akan terpisahkan. Kita akan selalu
bersama,” tanggap Hello. Mereka berdua sangat gembira.
“Tapi tadi
pemilik toko mengatakan, bahwa kalau ada yang mau membeli, kita akan dijual
juga,” sergah Bulan masih tetap hawatir.
“Mudah-mudahan
tidak!” Hello berusaha menghibur. Petugas toko akhirnya membawa Bulan dan Hello
ke gudang. Ia menurunkan Bulan dan Hello, lalu menutup pintu dan pergi.
“Akhirnya
sampai juga…,” gumam Bulan.
“Hai, nama
kalian siapa?” terdengar suara sapaan. Ternyata sapaan itu berasal dari sebuah
lampu hias berbentuk piano.
“Namaku Bulan,
dan ini temanku Hello. Namamu siapa? Kami pikir di sini tidak ada lampu hias
yang tinggal. Kau berani di tempat gelap seperti ini sendiri?” tanya Bulan.
“Namaku
Pinnis. Sebenarnya aku tidak berani ditempat gelap seperti ini. Aku paksakan
diri untuk berani dan ya, sedikit berhasil. Karena semua keluarga dan temanku
yang sebentuk denganku sudah dibeli semua. Sekarang aku tinggal sendiri dan aku
dimasukkan ke gudang ini oleh petugas toko,” jawab Pinnis.
“Kau senasib
dengan kami Pinnis. Sebenarnya kami punya satu sahabat lagi, namanya Tart.
Tapi, delapan jam yang lalu ia dibeli oleh seorang wanita cantik. Em, tapi
kenapa kita masih tetap laku, padahal kita sudah lama dan usang ya?” komentar
Bulan.
“Apakah kita
akan tetap dijual, meskipun sudah di di gudang? Bukankah kita hanya tinggal menunggu
waktu untuk dipecahkan?” tanya Pinnis.
“Iya Pinnis,
kita masih akan dijual. Tapi apakah mungkin mereka akan memecahkan kita?
Alangkah sedihnya kalau itu benar,” jawab Hello.
“Em, betul.
Dulu pemilik toko ini pernah mengatakan, kalau lampu hias yang ada di gudang
ini akan dipecahkan. Nah, maka dari itu, aku sebetulnya ingin sekali dibeli,
agar tidak dipecahkan.Tapi sampai saat ini, belum juga ada yang membeliku,”
Pinnis berkata dengan sedih.
“Tapi, aku dan
Hello sudah bersahabat sejak lama dan kami tidak ingin terpisah. Ya walaupun
kami juga tidak ingin dipecahkan,” kata Bulan.
“Terus, kalian
mau pilih yang mana? Lebih baik berpisah dan memberi manfaat, ataukah tetap
bersatu tapi dipecahkan?” tanya Pinnis.
“Kami pilih
LEBIH BAIK BERPISAH DARI PADA PECAH!!!” teriak Bulan dan Hello bersamaan.
“Bukankah
lebih baik berpisah, tapi masih saling mengingat? Daripada bersatu, tapi tidak
berguna, dan akhirnya dipecahkan!” jelas Pinnis.
Hello dan
Bulan saling memandang. Mereka belum begitu memahami perkataan Pinnis.
“Terimakasih
Pinnis, atas nasihatmu. Em, sudah malam sepertinya. Lebih baik kita tidur
saja,” ajak Bulan. Mereka lalu tidur dengan nyenyak.
Esoknya, Bulan
dan Hello sudah terbangun. Tetapi….
“Ha! Pinnis,
Pinnis, Pinnis, kamu kemana?” teriak Bulan dan Hello.
Tidak lama
kemudian, seorang petugas membuka pintu gudang dan menaruh secarik kertas di
dekat Bulan. Setelah menaruh kertas, petugas itu menutup pintu dan pergi.
“Satu lampu
hias bentuk piano, telah terjual,” Bulan membaca tulisan yang ada di kertas
itu.
“Pinnis… hiks…
hiks… hiks…,” tangis Bulan dan Hello.
“Kemarin Tart,
sekarang Pinnis. Jadi kita hanya berdua lagi. Pinnis, terimakasih atas
kata-kata bijakmu…,” kata Bulan.
Sekarang baru
ia memahami nasihat Pinnis. Mereka semua berdoa, agar Pinnis baik-baik saja.
Mereka juga berdoa, agar ada yang tertarik untuk membeli. Mereka ingin memberi
manfaat, seperti nasihat Pinnis. Keduanya pun berjanji akan selalu mengingat
Pinnis di dalam hati.
“Lebih baik
kita bernyanyi lagu yang kemarin kita nyanyikan, Tart,” ajak Hello.
“Benar, Bulan.
Kita bernyanyi saja, untuk sahabat kita Pinnis. Semoga ia mendengarnya juga, di
dalam hati.”
Mereka
bernyanyi, melupakan semua kesedihan. Hingga sore mereka masih terus bernyanyi.
Suaranya Bulan dan Tart terdengar hingga ke luar. Mereka tampaknya mulai
senang. Mereka melupakan semua kesedihan, dan mengubahnya menjadi kegembiraan.
Komentar
Posting Komentar