Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Saya jarang membeli novel yang baru terbit. Apalagi ikutan purcahe order atau PO. Terlebih harga
novel zaman now rata-rata hampir
seratus ribu. Saya harus punya alasan kuat untuk membeli novel baru atau ikut
PO.
Novel Ayah, Aku Rindu
merupakan satu novel yang saya niatkan punya sejak kabar kemenangannnya di Kompetisi Menulis Indiva 2019. Juara 1 di kategori fiksi remaja. Pastilah novel
karya Daeng Gegge itu istimewa. Selain itu, saya kenal baik dengan penulisnya.
Harganya pun cukup ekonomis. Selembar uang lima puluh ribu masih kembali lima
ribu untuk harga di Pulau Jawa 😍
Pada awal April 2020, novel Ayah, Aku Rindu kiriman dari Toko Afifah Afra tiba di rumah saya. Pada masa Work from Home. Saya buka kemasan pembungkusnya. Eh, ada print out ajakan donasi Covid 19 yang
memuat foto Kang Irfan, tetangga rumah di blok sebelah.
Saya mengusap sampul novel Ayah, Aku Rindu. Terasa halus tanpa cetak timbul emboss yang memberikan hasil bagian menonjol di permukaan kertas sampul. Hanya
laminasi doff saja. Nggak ada rasa manis-manisnya, juga 😁
Ada logo Gen Z yang menjadi lini baru di Penerbit Indiva.
Sosok remaja dengan baju bertudung memejamkan mata di bawah siluet pepohonan.
Ada amplop melayang-layang di sekitarnya. Amplop surat atau amplop duit tuh? 😝 Nuansa
ilustrasi ala komik remaja sangat terlihat. Sesuai dengan segmen pasar yang
dituju. Apakah isinya juga?
Saya mulai membaca. Selesai baca prolog, kok bingung. Keesokan
hari baru lanjut lagi. Saya mengikuti alur cerita. Ketagihan baca, terus membuka lembaran kertas jenis book paper.
Daeng Gegge menebarkan sejumlah petunjuk di beberapa bab yang jawabannya ada di
halaman-halaman terakhir novel.
Sebelum pukul 21.00 WIB, tamat sudah novel setebal 192 halaman itu. Mulai baca lepas Asar.
Meskipun tebakan akhir cerita saya benar, tetap dapat surprise-nya. Namun ada keanehan dalam novel keempat Daeng Gegge
yang terbit di Indiva tersebut. Berikut keanehan-keanehan yang saya maksud.
1. Kisah yang Tidak Senada dengan Kesan
Sampul
Kesan saya terhadap sampul, kisahnya bakal mistis fantastis.
Kekinianlah. Nyatanya, novel Novel Ayah,
Aku Rindu merupakan kisah yang sendu. Mengisahkan remaja kelas XII bernama Rudi. Ibunya meninggal
dunia. Ayahnya terguncang. Apalagi peternakan ayam sang ayah pun bangkrut. Sang
Ayah lupa ingatan. Mengaku sebagai La Pagala atau Nenek Mallomo, cendikiawan
abad 17 di Sidenreng Rappang. Gawatnya lagi, sang ayah lepas kendali. Ingin
sekali membunuh Rudi, seperti Nenek Malommo yag pernah mengorbankan anaknya.
Ada cincin sisik naga juga yang menarik perhatian Rudi.
Cincin itu milik Pak Sadli, guru sekolah Rudi. Pak Sadli ini memainkan peran
yang cukup penting di novel Ayah, Aku
Rindu. Bahkan Pak Sadli inilah yang memberi kejutan di akhir cerita.
Cukup mistis ceritanya tanpa unsur fantasi di luar kewajaran. Terlebih pada bagian ayah Rudi dijadikan dukun dadakan oleh warga kampung. Racauannya dianggap mantra berkhasiat obat. Ilustrasi cover sosok Rudi yang diliputi sinar keemasan, memejamkan
mata, berada di bawah pepohonan dengan helaian amplop. Seolah kurang bersambung
dengan kisah novel Ayah, Aku Rindu.
2. Penggunaan Kata Ganti Orang Pertama
Tunggal Saya
Pada umumnya penulis menggunakan kata ganti orang pertama
aku. Kata aku terasa lebih intim saat menceritakan diri sendiri. Tidak berjarakdengan pembaca. Orang Indonesia menggunakan kata ganti aku antara sebaya yang sudah sangat dekat. Sahabat atau pasangan. Lihat
saja, orang jatuh cinta biasanya menyatakan cinta dengan kata aku cinta kamu, aku suka kamu, kan?
Novel Ayah, Aku Rindu
menggunakan kata saya sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Saya adalah
Rudi. Remaja 18 tahun itu sang penutur cerita. Terkesan agak janggal. Apalagi kata saya hanya digunakan pada subjek. Sebagai objek, tetap digunakan kata aku.
Ayah menatapku. Begitu juga apabila
dirangkai dengan kata kerja seperti kulihat. Apakah editor yang mengubahnya?
Entahlah.
Anehnya lagi, judul novel Ayah, Aku Rindu. Bukan Ayah,Saya
Rindu. Padahal di hikayat sembilan atau bab sembilan, judul bab: Ayah, Saya Rindu. Apabila konsisten
dengan isi, seharusnya judul novel Ayah, Saya
Rindu, kan?
Kemudian saya ingat, judul Ayah, Aku Rindu merupakan pilihan Penerbit Indiva. Judul aslinya
bukan itu. Mungkin diganti, karena judul asli spoiler banget. Sudah ketahuan ending-nya
dari judulnya.
3. Nama
Tokoh yang Tidak Berbau Lokal
Tokoh utama novel Ayah,
Aku Rindu bernama Rudi. Jangan bilang seumur hidupmu belum kenal dengan
orang yang bernama Rudi, ya? Di lingkungan rumah saya saja, ada sekitar 3 orang
yang punya nama Rudi. Entah itu nama depan, tengah, atau akhir. Teman sekolah,
rekan kantor, dan lainnya juga bernama Rudi. Nama Rudi sangat umum. Kenapa
Daeng Gegge memilih nama Rudi untuk tokohnya? Masih jadi misteri yang belum
terpecahkan.
Saya berharap nama tokoh lebih berbau bugis. Sabir Misalnya.
Tokoh lain juga menggunakan nama umum yang ada di seluruh nusantara. Ramli,
Sadli, Gilang. Apakah ini nama yang umum ini guna menunjukkan akulturasi budaya
Islam? Mungkin saja tanpa Daeng Gegge sadari.
Nama teman Rudi yang bernama Nabil pun sempat mengecoh saya.
Nabil ternyata laki-laki. Awalnya saya pikir Nabil itu perempuan. Bukankah kita
mengenal Nabilah Ratna Ayu mantan personil JKT48 dan Nabila Syakieb? Beda kali, ya 😂 Nabil cenderung
unisex. Bisa dipakai laki-laki maupun
perempuan.
Nama asli Bugis akan menguatkan lokalitas novel. Namun fakta terkini mungkin orang Bugis namanya cenderung islami. Berasal dari bahasa Arab,
bukan bahasa Bugis lagi. Karena itulah Daeng Gegge menggunakan nama-nama yang
merupakan serapan dari bahasa Arab.
4. Logat bahasa Jawa
Saya menemukan beberapa kata ndak dengan format teks italic pada beberapa percakapan. Misalnya
pada halaman 75.
“... Saya ndak
bisa berbuat banyak karena memang ndak
ada yang bis amenjamin ayah ndak mengulangi
kembali perbuatannya itu.”
Pak Sadli yang mengucapkan kalimat itu. Apakah Pak Sadli
berasal dari suku Jawa seperti Ilham Sadli yang blogger itu? Apabila benar, mungkin saya melewatkan informasi
tentang asal muasal guru sekolah Rudi itu.
Memang bahasa Bugis kurang terasa dalam novel Ayah, Aku Rindu. Pertimbangannya untuk
pangsa pasar pembaca yang luas mungkin. Barangkali hal itu bisa saya dapatkan
apabila novel Ayah, Aku Rindu
difilmkan. Bahasa Bugis menjadi bahasa percakapan antar tokoh.
5. Kasus Tidak Jujur yang Selintas Lalu
Rudi memenangkan lomba foto Kementerian Komunikasi dan
Informasi. Cerita itu ada pada bab sembilan. Sayangnya foto yang dikirim Rudi
bukan hasil jepretannya. Rudi menduga foto itu jepretan ayahnya. Namun dia
tetap mengirimkannya. Rudi memenangkan lomba foto. Juara satu. Hadiahnya uang sepuluh juta rupiah. Rudi akhirnya mengaku kepada Pak Sadli. Foto yang
menang itu bukan karyanya.
Kasus ketidakjujuran itu hanya selesai begitu Rudi mengaku.
Tidak ada dampak lain. Malah foto Rudi dimuat oleh koran lokal. Entah berita positif atau negatif. Foto di koran
dilihat sang ayah. Kemarahannya bangkit lagi. Fungsi foto terkesan untuk dilihat ayah saja selain penekanan pada pentingnya sikap jujur. Persoalan tidak jujur bagaiangin lalu saja menuju akhir kisah. Tiada dampak lain bagi Rudi.
Secara Umum Novel Ayah, Aku Rindu
Novel Ayah, Aku Rindu
tipikal novel yang disukai penerbit Indiva. Kisahnya idealis namun tidak
mendayu-dayu apalagi lebay. Isu sosial, lingkungan dan sejarah berpadu. Pemukiman
warga kampung sekaligus peternakan ayam, gunung batu yang kian terkikis karena
eksploitasi berlebihan dan kisah nenek mallomo berpadu menjadi kearifan lokal
Sidenreng Rappang.
Latar novel tidak menyebutkan nama desa. Hanya letaknya saja di kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Tanah kelahiran sang penulis. Saya coba mencari-cari beberapa nama tempat yang disebutkan dalam novel. Wikipedia menyebutkan bahwa kecamatan Baranti merupakan penghasil beras dan telur ayam terbesar di Indonesia Bagian Timur. Barangkali di sanalah letak rumah Rudi. Rumah sakit Nene Mallomo pun benar ada. Gunung Allakuang yang terkikis juga menjadi masalah lingkungan saat ini. Saya jadi termotivasi untuk menuliskan cerita berlatar tanah kelahiran saja juga.
Latar novel tidak menyebutkan nama desa. Hanya letaknya saja di kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Tanah kelahiran sang penulis. Saya coba mencari-cari beberapa nama tempat yang disebutkan dalam novel. Wikipedia menyebutkan bahwa kecamatan Baranti merupakan penghasil beras dan telur ayam terbesar di Indonesia Bagian Timur. Barangkali di sanalah letak rumah Rudi. Rumah sakit Nene Mallomo pun benar ada. Gunung Allakuang yang terkikis juga menjadi masalah lingkungan saat ini. Saya jadi termotivasi untuk menuliskan cerita berlatar tanah kelahiran saja juga.
Gunung Allakuang terletak di Kecamatan Maritengngae. Batunya ditambang untuk bahan ukiran batu, alat rumah tangga dan lainnya (Foto Akbarpost.com) |
Daeng Gegge bertutur teratur. Dia menebarkan berbagai clue, petunjuk, mulai dari prolog sampai
jelang akhir cerita. Sebagian pembaca mungkin sudah bisa menebak akhir cerita
apalagi jika tahu judul aslinya. Sepertinya, Daeng Gegge membuat kerangka novel
dahulu, baru kemudian menuntaskah kisah lengkapnya.
Novel ini bisa menjadi acuan bagi para penulis yang ingin
menang di Kompetisi Menulis Indiva 2020, atau sekadar ingin lolos seleksi
naskah Penerbit Indiva. Tidak harus cerita sedih seperti karya-karya Daeng Gegge,
sih. Kisah humoris atau yang memotivasi juga perlu.
Bagi kamu yang tidak setuju dengan keanehan yang saya
ungkapan, tidak apa. Berbeda pendapat itu wajar. Apalagi jika kamu belum baca
novelnya. Definisi aneh di sini memang tidak mebgacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia 😀
Apabila ada keanehan lain yang kamu rasakan setelah membaca Novel
Ayah, Aku Rindu, boleh tuliskan di
kolom komentar, ya. Terima kasih sudah membaca bahasan novel Ayah, Aku Rindu yang receh ini.
Komentar
Posting Komentar