Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Legenda Ciung Wanara di Karangkamulyan
Jelajah 4G bersama Smartfren
etape 4 menempuh perjalanan Bandung-Tasikmalaya-Ciamis-Pangandaran pada 28-29
Mei 2016. Salah Satu tujuan yang cukup menarik bagi saya adalah situs Ciung
Wanara di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat. Apakah ada jejak-jejak legenda Ciung Wanara di sana?
Situs Legenda Ciung Wanara di Hutan Bambu
Sudah lewat tengah hari saat
mobil-mobil Chevrolet yang kami tumpangi melewati gapura Objek Wisata Ciung
Wanara. Jam di tangan saya menunjukkan jam 14.20 WIB. Sabtu siang itu, sinar
matahari sudah tidak begitu menyengat lagi. Waktu yang tepat untuk
berjalan-jalan lagi setelah mengunjungi kantor harian umum Radar Tasikmalaya
dan Radar TV Tasikmalaya.
Pintu masuk menuju kompleks situs |
Sebagian peserta Jelajah 4G
bersama Smartfren langsung selfie di berbagai titik, begitu turun dari mobil. Mas
Bene, ketua rombongan mengingatkan agar kami segera masuk saja. Selfie dan
berfoto aneka pose ditunda dulu. Sebab selain berkeliling, kami juga akan makan
siang di dalam Objek Wisata Ciung Wanara.
Tiket masuk Objek Wisata
Ciung Wanara sangat murah. Hanya Rp 3.500 saja. Begitu masuk, suasana magis
terasa. Namun ada wahana permainan anak yang membuat suasana ceria. Beberapa
anak didampingi orang tua terlihat bermain ayunan dan wahana putar-putaran.
Seorang pemandu telah siap
menjelaskan kepada kami, apa saja situs-situs yang ada di Komplek Objek Wisata
Ciung Wanara serta latar belakang sejarahnya. Konon beberapa peninggalan dari
Kerajaan Galuh berada di Objek Wisata Ciung Wanara. Dan kami pun melangkah,
menapaki jalan kuno yang katanya menghubungkan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan
Majapahit.
Menyusuri jalan kuno dinaungi rimbun bambu |
Batu Pangcalikan
Situs inilah yang
pertama kali kami jumpai, beberapa meter dari pintu masuk. Bentuknya berupa
lahan berpagar besi, terdiri dari tiga halaman. Tiap halaman dibatasi susunan
batu dengan ketinggian sekitar 1 m dan lebar hampir 0,5 m. Berdasarkan
keterangan pemandu, pangcalikan merupakan situs singgasana Kerajaan Galuh. Saya
mencari-cari, yang mana singgasananya? Di benak saya, singgasana itu seperti
kursi. Saya hanya melihat tumpukan batu di sana.
Ternyata batu putih
tufaan berukuran hampir 1 meter x 1 meter dengan tinggi sekitar 0.5 meter
itulah yang disebut masyarakat sekitar sebagai pangcalikan. Pangcalikan dalam
bahasa Sunda berarti tempat duduk. Singgasana kerajaan Galuh dulu, ya begitu.
Sederhana sekali. Sayangnya, kami hanya bisa melihat pangcalikan dari luar
pagar. Ada sekumpulan orang yang entah sedang apa duduk bersila di dekat
pangcalikan. Kami meninggalkan pangcalikan, menuju situs lainnya.
Sanghyang Bedil dan Panyabungan Hayam
Kami berjalan
beriringan hingga menemukan simpang empat. Ada papan penunjuk yang
menginformasikan keberadaan situs Sanghyang Bedil dan Panyabungan Hayam si selatan. Berdasarkan namanya,
saya menebak Panyanbungan Hayam, pastilah tempat adu ayam. Sanghyang Bedil mungkin ada hubungannya dengan senjata bedil.
Kami berjalan lagi
dan sampai di situs Sanghyang Bedil. Situs ini berupa susunan batu berbentuk segi empat. Ada 2 batu
panjang yang patah. Satu batu posisinya tegak dan satu batu lainnya roboh. Nah,
batu roboh itulah yang disebut Sanghyang Bedil sebab bentuknya yang mirip bedil
atau senapan. Konon situs itu merupakan
tempat untuk menyimpan senjata. Seru juga kalau tahu latar belakang legendanya,
ya.
Beberapa meter dari Situs
Sanghyang Bedil terdapat lapangan kecil dengan pohon bungur menjulang di
tengahnya. Lapangan kecil inilah tempat Ciung Wanara mengadu ayamnya dengan
ayam milik sang raja. Saya membayangkan orang-orang zaman dahulu kala melingkar
dan melihat aduan ayam di lapangan itu. Pasti ramai sekali.
Lapangan Panyambungan Hayam |
Satu hal yang paling
menarik di Panyambungan Hayam adalah pohon bungur yang memiliki tonjolan di
salah satu sisinya. Kata si pemandu, jika seseorang dapat berjalan dari tepi
lapangan sambil memejamkan mata dan berhasil menyentuh tonjolan itu,
keinginannya akan tercapai. Jika belum tercapai, ia bisa melingkarkan tangannya
atau memeluk pohon. Semakin dekat jarak tangan kiri dan tangan kanan saat
memeluk, semakin dekatlah ia dengan tujuan itu. Raja dari Forum Film Bandung
dan Dede dari Banyolan Sunda yang mencoba ternyata belum berhasil menyentuh
tonjolan dengan tepat. Apa, ya keinginan yang mereka bayangkan saat berjalan ke
arah tonjolan pohon itu? Entahlah.
Lambang Peribadatan dan Cikahuripan
Menyentuh dan melingkari pohon untuk menandakan keinginan yang segera tercapai |
Lambang Peribadatan dan Cikahuripan
Menyusuri jalan lainnya,
kami bertemu dengan batu Lambang Peribadatan. Mungkin ada hubungan dengan
ibadah zaman kerajan hindu, ya? Batu Lambang Peribadatan merupakan batu
berbentuk bujur sangkar. Ada pahatan bulat di atas bujur sangkar itu. Mirip
puncak candi! Pantas disebut lambang peribadatan. Batu itu diduga bagian dari
puncak candi agama Hindu.
Lambang peribadatan yang mirip puncak candi Hindu |
Setelah berjalan
beberapa meter, kami menuruni tangga dan menemukan semacam bangunan seperti tempat
pemandian umum. Ternyata kami sampai di Cikahuripan, yaitu pertemuan dua sungai
kecil: Citanduy dan Cimuntur. Ada sumur yang konon tidak pernah kering
sepanjang tahun. Beberapa orang di antara kami mencicipi kesegaran air sumur
yang sudah tersedia di bak. Rasanya, tentu saja tidak jauh berbeda dengan air
pada umumnya.
Batu Panyandaan, Pamangkonan dan Makam Adipati Panaekan
Kami kemudian
berjalan ke arah timur dari Cikahuripan. Ada susunan batu berbentuk segi empat
yang memagari beberapa batu besar di tengahnya. Batu di tengah itu mirip tempat
duduk yang bersandar. Kami masuk dari celah pagar batu. Situs itu ternyata
bernama Panyandaan.
Menurut pemandu, di
tempat inilah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum, kemudian dibuang
ke sungai Citanduy. Dewi Naganingrum konon bersandar di sana selama 40 hari
untuk memulihkan tenaga. Maka dari itulah tempat itu dinamakan Panyandaan yang
artinya tempat bersandar.
Tidak jauh dari situs
Panyandaan, terdapat situs Situs Pamangkonan. Terdapat batu yang disebut Sanghyang
Indit-inditan. Batu itu ditemukan di Sungai Citanduy. Konon batu Sanghyang
Indit-inditan itu dapat berpindah tempat sendiri, maka dari itulah Indit-inditan
disematkan pada namanya. Selain itu, batu tersebut juga memiliki kekuatan gaib
sehingga dipergunakan untuk seleksi prajurit. Hanya orang terpilih saja yang
bisa mengangkat batu itu. Beberapa orang dari kami penasaran, sehingga
mengangkat batu itu. Bisa diangkat, kok!
Batu Pamangkonan atau Sanghyang Indit-inditan |
Makan Siang di Patimuan
Tujuan akhir kami
adalah Patimuan, yaitu pertemuan Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur.
Patimuan berupa tanah lapang di tepi sungai. Di sinilah, Aki Balangantrang menemukan Ciung Wanara yang
masih bayi. Penemuan itu sesuai dengan keinginan Dewi Naganingrum. Ia ingin
Ciung Wanara selamat dari ancaman Raja Bondan yang bermaksud menghabisi Ciung
Wana guna mengamankan kekuasaannya.
Ada pondok-pondok,
tempat orang berjualan di sana. Panitia Jelajah 4G bersama Smartfren sudah
memesan sajian makan siang dari pondok makan di dekat pintu gerbang. Menu nasi
timbel segera diserbu oleh peserta. Penutupnya adalah kelapa muda yang dibelah
dadakan dan disajikan langsung dengan buah kelapanya.
Tanah Sunda Kaya Sejarah
Kunjungan ke situs
Ciung Wanara ini bagaikan mengajak saya untuk kembali mempelajari sejarah,
khususnya kerajaan di tanah Sunda. Sayangnya saat sekolah dulu kenangan
pelajaran sejarah saya cenderung berisi tangan dan nama sehingga kurang
menyenangkan untuk diingat. Situs Ciung Wanara menawarkan pelajaran sejarah engan cara yang lebih mudah dibayangkan bagi
orang yang belajar dengan modalitas visual seperti saya.
Hanya saja, lokasi kemasan
wisata di Ciung Wanara perlu ditingkatkan lagi. Di benak saya muncul bayangan.
Andai saja ada aplikasi Android yang dapat menjelaskan legenda situs-situs
Ciung Wanara. Penjelasan dengan info grafis yang bagus atau sekalian
menggunakan komik dan film! Semoga generasi 4G bisa mewujudkan angan-angan saya
itu.
Jelang Asar, kami
kembali ke tempat parkir. Tujuan jelajah 4 G bersama Smartfren terakhir sudah
menunggu: Pantai Pangandaran! Hujan deras mengiringi kepergian kami. Syukurlah
kami sudah berada di mobil. Mobil terus melaju sementara saya mencari-cari
informasi dengan Andromax E2 yang diperkuat jaringan 4G Smartfren. Sepertinya,
banyak kegiatan menarik yang bsia kami lakukan di Pangandaran nanti.
Wah, indah ya pemandangannya ya. Bagus ya masih asri.
BalasHapusKalau pindahan kemarin lewat, Ciamis, bisa mampir tuh.... ^_^
HapusMantab pisan ... belum sempet euy
BalasHapusTempat yang bagus untuk wisata alam ya mas :)
BalasHapus