Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Hari Kartini tahun 2016 ini
cukup istimewa karena hadirnya film Surat Cinta untuk Kartini. Sayangnya,
beberapa hari kemudian, Surat Cinta untuk Kartini sudah turun layar. Mungkin
kalah bersaing dengan film Ada Apa dengan
Cinta 2 dan Captain America: Civil War.
Padahal saya belum sempat nonton. Untunglah Indosat Ooredoo mengadakan nonton
bareng di Miko Mall, Bandung sehingga saya bisa menikmati film produksi MNC
Pictures ini.
Film Surat Cinta untuk
Kartini merupakan cara lain untuk menelaah kehidupan perempuan yang identik
dengan perjuangan emansipasi perempuan Indonesia itu. Ada 4 hal baru saya sadari setelah menyaksikan Film
Surat Cinta untuk Kartini. Berikut paparannya
1. Buku Kartini adalah Antologi Surat
Azhar Kinoi Lubis, sang sutradara film ini di
akhir nobar Indosat Ooredoo mengungkapkan, dialog-dialog dalam film diambil
dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku itu sebenarnya versi terjemahan dari judul asli berbahasa Belanda Door Duisternis tot Licht. Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda: J.H. Abendanon pada
tahun 1911 berinisiatif mengumpulkan surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada
para sahabatnya, kemudian membukukannya. Armin Pane menerjemahkan buku itu di
penerbit Balai Pustaka dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang. Bagi kita (saya) yang selama ini mengira Kartini
sengaja menulis buku dan menerbitkannya, tentu keliru.
Buku kumpulan surat Kartini dalam bahasa Belanda foto: rizkachika.wordpress.com |
2. Kartini Poligami
Beberapa tahun terakhir,
beredar Meme tentang Kartini yang dipoligami. Saya ingin tahu, bagaimana
kehidupan poligami Kartini? Film Surat Cinta untuk Kartini mungkin memberikan
gambarannya, begitu pikir saya. Namun film berdurasi 90 menit ini menceritakan
sebagian besar kehidupan Kartini saat masih lajang.
Kartini dan Suami foto: boombastiscom |
Pada film Surat Cinta untuk
Kartini, kehidupan rumah tangga Kartini tidak diperlihatkan sama sekali. Hanya
pinangan dari bupati Rembang, K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat saja yang disuguhkan sebagai klimaks film
Surat Cinta untuk Kartini. Pernikahan itu membuat Sarwadi patah hati dan
menjauhi Kartini. Keputusan Kartini untuk menerima lamaran dari lelaki yang
sudah beristri juga disimpan penulis skenario sampai akhir cerita. Hal ini cukup menarik karena terkesan
kontradiktif; Kartini memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, namun
bersedia menjadi istri keempat. Dan saya merasa maklum setelah mengetahui
alasan Kartini menerima dipoligami di akhir film.
3. Kartini Berumur Pendek
Kita tidak pernah melihat
foto Kartini di usia tua, kan? Saya baru menyadari hal ini saat menonton film
Surat Cinta untuk Kartini. Kartini tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia
beberapa hari setelah melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Usia
Kartini saat itu 25 tahun. Jadi perjuangannya tidak lama, namun pemikiran di
dalam surat-suratnya berhasil melintasi ruang dan waktu.
Sosok Soesalit Djojoadhiningrat kecil foto: merdeka.com |
Film Surat Cinta untuk
Kartini juga tidak menggambarkan kematian Kartini secara detil. Penonton akan
mengetahuinya dari tokoh Sarwadi dan Ningrum saja, saat keduanya ingin bersua
dengan Kartini. Meskipun telah tiada, Sarwadi dan Ningrum melihat dampak positif
perjuangan Kartini pada kehidupan beberapa anak perempuan. Bahkan pengaruh
Kartini sangat besar pada kehidupan anak cucu Sarwadi di masa depan. Penonton
akan mengetahui, siapa sebenarnya sang narator film Surat Cinta untuk Kartini
di akhir film.
4. Sekolah Kartini Berdiri Saat Ia Telah Tiada
Sekolah-sekolah Kartini mulai
berdiri saat ia telah tiada. Van Deventer, sang perensi buku kumpulan surat
Kartini yang banyak berperan dalam pendirian sekolah Kartini. Van Deventer mendirikan
Sekolah Wanita di bawah naungan Yayasan Kartini pada tahun 1912 di Semarang,
kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan beberapa daerah
lainnya.
Seorang teman pun mengatakan
bahwa ada Universitas Kartini di Surabaya. Saya heran, kenapa nama Universitas
Kartini jarang dipublikasikan. Saya cari informasi tentang Universitas Kartini
di internet. Namun tidak banyak informasi resmi yang bisa saya temukan. Apakah
Univesitas Kartini hanya sekadar nama tanpa ruh semangat perjuangan Kartini
pada civitas akademikanya? Entahlah.
Film Cinta yang Cukup Aman untuk Anak-anak
Film Surat Cinta untuk
Kartini dibuka dengan adegan ibu guru di satu SD yang ingin bercerita tentang
sosok Kartini. Namun murid-muridnya protes karena sudah bosan dengan kisah
kartini. Seorang bapak guru muda masuk dan menjanjikan kisah Kartini yang
berbeda. Yaitu kisah seorang pengantar surat bernama Sarwadi. Kisah Surat Cinta
untuk Kartini pun mengalir dengan alur yang agak membosankan jika tidak berminat pada film-film biografi.
Sarwadi memiliki putri
bernama Ningrum yang diceritakan masih berusia 7 tahun. Porsi adegan untuk
Ningrum cukup banyak, karena Sarwadi ingin Ningrum berguru kepada Kartini.
Sosok Ningrum pun akan terus hadir sampai akhir cerita. Kisah pembuka dan tokoh
Ningrum merupakan satu peluang untuk menarik minat penonton anak-anak
menyaksikan film ini. Padahal ada kata cinta pada judul film, kan?
Sosok Sarwadi yang Diperankan Chicco Jerikho |
Ya, kata cinta mungkin
sengaja dipakai untuk menarik minat masyarakat menyaksikan film ini. Cinta
menawarkan kisah drama. Meskipun begitu, kisah Surat Cinta untuk Kartini ini
cukup aman dinikmati anak-anak, terutama anak mulai usia 9-10 tahun. Namun
orang tua atau dewasa mungkin perlu bersiap-siap menjelaskan soal poligami, ibu
Kartini yang bukan istri utama, dan berbagai istilah yang mungkin sulit dicerna
oleh anak-anak.
Melalui film Kartini, anak
akan menjadi tahu hakikat perjuangan Kartini. Betapa sulitnya sekolah di masa
lalu dan pentingnya pendidikan untuk membuat perubahan. Jika hakikat perjuangan
Kartini ini sudah bisa diserap anak, mudah-mudahan mereka tidak memaknai 21
April hanya dengan pemakaian kebaya, serta tidak begitu terpengaruh dengan
hingar bingar diskon hari Kartini lagi.
Semoga kelak tanggal 21 April tidak hanya sekedar perlombaan kemasan (kebaya), tapi semua orang memahami mengapa poligami itu bisa memakan korban jiwa. Eh, salah yaaaa...
BalasHapusMaksudnya Kartini hakikatnya sebuah perjuangan
Semoga... ^_^
Hapus