Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Buku
Ini Tidak Dijual. Mungkin kalimat itulah yang diucapkan oleh seorang pecinta
buku. Ia mengoleksi buku-bukunya bertahun-tahun. Apa jadinya jika perilaku
mengoleksi itu berubah menjadi penimbunan (hoarding)?
Apa yang terjadi jika buku-buku itu dijual tanpa sepengetahuan sang penimbun
buku?
Dua Pria Pengumpul Buku
Brian Clenshaw seorang pria Inggris, mantan salesman. Di usianya yang sudah lewat setengah abad, ia senang mengumpulkan buku, koran, majalah, cakram DVD, koin, dan prangko. Benda-benda itu berdesakan, sampai menggunung di ruang apartemen tempat tinggalnya. Benda-benda yang dikumpulkan Brian itu berbahan kertas yang mudah terbakar sehingga membahayakan lingkungan apartemennya. Akibatnya, Brian diusir dan digugat secara hukum oleh pemilik apartemen.
Brian Clenshaw di antara timbunan buku, koran, dan majalahnya |
Mirip dengan Brian, Padi juga memiliki banyak koleksi buku. Ia rajin membeli buku dan menyimpannya, bahkan buku-buku pelajaran sekolah juga masih ada. Kebiasaan itu tidak dimiliki oleh kakek, ayah Padi, dan Gading anak lelakinya yang tengah berkuliah. Buku-buku milik Padi tersimpan di dalam rumah pada satu desa di pelosok Jawa Timur yang ditinggali kakek. Padi tinggal dan bekerja di ibu kota, sesekali saja pulang ke kampung halamannya. Gading pun merantau untuk menempuh pendidikan tinggi. Suatu hari, saat mudik, Padi mendapati kakek dan Gading menjual buku-bukunya. Padi menangis, ia menuntut buku-buku dibawa kembali padanya.
Brian dan Padi memiliki perilaku yang mirip namun berbeda. Pemberitaan tentang perilaku mengoleksi Brian marak di media massa pada 2012 lalu. Kebiasaannya tidak bisa dikategorikan sebagai mengoleksi lagi, tetapi sudah menimbun (hoarding). Perilaku mengumpulkan buku, koran, majalah dan lainnya dimulai Brian setelah ia mengalami kecelakaan ditabrak truk seberat sepuluh ton sehingga menyisakan trauma yang hebat. Setelah pulih, Brian mulai mengumpulkan buku, koran, dan majalah untuk menghilangkan rasa traumanya. Ia tidak bisa menahan dan mengendalikan diri untuk mengumpulkan dan menimbun benda-benda itu, terutama saat ia merasa tertekan. Brian akhirnya mendapat diagnosa Obsessive Hoarding Syndrome.
Berbeda dengan Brian, Padi adalah tokoh fiktif dalam novel Buku Ini Tidak Dijual karya Henny Alifah. Pada novel pemenang I Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva 2014 itu, Padi tidak mengalami nasib seburuk Brian yang terusir dari tempat tinggalnya. Hanya saja pria yang menduda sejak kematian istrinya itu sedih luar biasa saat buku-bukunya dima-diam dijual. Gading, seumur hidup hanya pernah melihat Padi menangis dua kali: saat kematian istri atau ibu Gading dan saat buku-buku milik Padi dijual.
Kisah Novel Buku Ini Tidak Dijual
Keunikan
tema dan cerita. Mungkin itulah satu dari sekian alasan sehingga dewan juri Lomba
Menulis Novel Inspiratif Indiva 2014 memilih karya alumnus Sastra Arab, FIB, Universitas
Gadjah Mada itu sebagai pemenang pertama. Kisah novel ini sebenarnya sederhana.
Cerita dibuka dengan kepulangan Padi dan aksi kakek, serta Gading yang menjual
buku-buku miliknya. Marah, kecewa, dan terluka campur baur ketika Padi tahu
perbuatan kakek. Padi meminta Gading mengejar pembeli buku-bukunya dan membawa kembali
berbagai buku miliknya itu.
Ilustrasi di halaman dalam |
Cerita
mengalir sampai akhir dengan fokus kepada Gading dan sepupunya, Kingkin dalam menelusuri
jejak kepergian buku milik Padi. Mulai
dari rumah Pak Mersudi yang mengelola jasa beli-jual barang bekas, dua sekolah
sederhana, sampai peristiwa pembegalan yang cukup mendebarkan. Semua kisah yang
disajikan dalam novel Buku Ini Tidak Dijual tersaji dalam kurun waktu singkat,
sekitar 24 jam lebih. Pembaca dapat menyelesaikan novel yang tebalnya kurang dari
200 halaman ini sekali duduk saja karena kesederhanaan alur ceritanya.
Henny
Alifah yang juga tercatat sebagai anggota FLP Yogyakarta, menaburkan sindiran-sindiran terhadap fenomena sosial masyarakat kita di
alur ceritanya, sehingga novel ini memiliki muatan moral tersendiri. Misalnya
kalimat pada halaman 102
“Kalau saja kelak mereka masuk neraka gara-gara tidak shalat, jangan protes saat mereka menyeretmu juga ke neraka. Karena kamu yang menyebabkan mereka tidak mau masuk masjid!...”
Kalimat
ini secara tidak langsung menyindir orang-orang yang sering ke masjid tetapi perilaku
dan sosoknya justru membuat sebagian
orang malas pergi ke masjid. Kalimat satir serupa bertebaran, seperti sudah
dirancang sedemikian rupa oleh Henny Alifah.
Hoarding Disorder Menurut Ilmu Psikologi
Hoarder artinya penimbun. Hoarder bukan seperti penimbun sembako yang sengaja menumpuk kebutuhan pokok guna meraup untung saat harganya melambung. Hoarder justru menimbun barang-barang yang bisa dikatakan sampah, seperti yang dilakukan Brian Clenshaw. Perilaku menimbun barang yang cenderung tidak berguna itu disebut hoarding disorder atau gangguan menimbun.
Orang yang mengidap hoarding disorder umumnya berusia lanjut usia, di atas 50 tahun ke atas daripada usia 30 dan 40 tahun atau dewasa muda. Gejala menimbun dapat tampak pada usia 11-15 tahun, namun mulai mengganggu kehidupan pada usia pertengahan 20-an tahun dan menyebabkan gangguan fungsi hidup pada usia petengahan 30 tahun. Anak-anak dan remaja yang mengalami hoarding disorder cenderung lebih mudah ditangani daripada orang dewasa, karena hidup mereka masih tergantung kepada orang tua, sehingga bisa segera ditangani. Orang dewasa yang sudah hidup sendiri memiliki kebebasan mengatur hidupnya sehingga lebih sulit mendapat penanganan cepat.
Penyebab hoarding disorder merupakan bawaan, juga akibar lingkungan. Sebanyak 50% dari responden penelitian hoarding disorder melaporkan bahwa mereka memiliki kerabat seorang hoarder pula. Hasil penelitian serupa juga mengindikasikan bahwa hoarding disorder dapat berasal dari keturunan (genetik). Peristiwa yang menimbulkan stres berat dan trauma juga bisa menimbulkan hoarding disorder.
Orang yang mengidap hoarding disorder umumnya berusia lanjut usia, di atas 50 tahun ke atas daripada usia 30 dan 40 tahun atau dewasa muda. Gejala menimbun dapat tampak pada usia 11-15 tahun, namun mulai mengganggu kehidupan pada usia pertengahan 20-an tahun dan menyebabkan gangguan fungsi hidup pada usia petengahan 30 tahun. Anak-anak dan remaja yang mengalami hoarding disorder cenderung lebih mudah ditangani daripada orang dewasa, karena hidup mereka masih tergantung kepada orang tua, sehingga bisa segera ditangani. Orang dewasa yang sudah hidup sendiri memiliki kebebasan mengatur hidupnya sehingga lebih sulit mendapat penanganan cepat.
Penyebab hoarding disorder merupakan bawaan, juga akibar lingkungan. Sebanyak 50% dari responden penelitian hoarding disorder melaporkan bahwa mereka memiliki kerabat seorang hoarder pula. Hasil penelitian serupa juga mengindikasikan bahwa hoarding disorder dapat berasal dari keturunan (genetik). Peristiwa yang menimbulkan stres berat dan trauma juga bisa menimbulkan hoarding disorder.
Seorang Hoarder menimbun barang karena khawatir suatu saat akan membutuhkan benda-benda itu. Mereka juga menilai terlalu tinggi benda-benda yang sebenarnya sampah. Barang akan terus ditimbun, meskipun tempat tinggalnya tidak mampu menampung benda-benda itu lagi. Karena barang yang dikumpulkan cenderung tidak berguna, bahaya mengintai. Misalnya bahaya kebakaran. Tumpukan barang juga bisa menjadi kediaman serangga dan aneka binatang hama. Hal ini berbeda dengan seorang kolektor yang mengumpulkan barang bernilai jual tinggi dan sesekali menjual koleksinya jika harganya bagus atau guna melapangkan ruang penyimpanan koleksinya.
DSM-5. Rujukan diagnosis gangguan kejiwaan menurut APA. Digunakan oleh psikolog dan psikiater di Amerika dan seluruh dunia |
American Psychiatric Association's (APA) memasukkan hoarding disorder dalam diagnosis tersendiri dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5) pada 2013 lalu. Sebelumnya, hoarding disorder salah satu dari jenis gangguan kepribadian Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) yaitu Obsessive Hoarding Syndrome. Karena hoarding disorder semakin nyata perbedaannya dengan gangguan OCD atau gangguan kepribadian lainnya, serta membutuhkan penanganan khusus, hoarding disorder menjadi satu varian gangguan tersendiri.
Tempat tinggal seorang Hoarder yang mengganggu lingkungannya karena mirip tempat pembuangan sampah |
Padi dalam Buku Ini Tidak Dijual Seorang Hoarder?
Penuturan kisah Buku Ini Tidak Dijual menggunakan sudut pandang orang ketiga maha tahu. Namun, Henny Alifah tidak memberikan porsi yang banyak untuk pikiran dan tindakan Padi. Gading dan Kingkin mendapat porsi penceritaan lebih banyak dibandingkan Padi. Padahal masalah utama berada di Padi yang tidak rela kehilangan bukunya.Beberapa perilaku dan pikiran Padi yang tersurat dan tersirat dalam teks seolah memenuhi kriteria diagnosa hoarding disorder seperti sukar dan sangat emosional saat berpisah dengan buku-bukunya, serta ada hukum wajib untuk menyimpan buku-buku. Kehadiran buku juga mengganggu kenyamanan hidup kakek, meskipun tak dituturkan bagaimana penataan buku-buku itu di dalam rumah. Apakah tersimpan rapi di rak atau menumpuk begitu saja. Padi juga tidak dikisahkan pernah mengalamai kerusakan otak dan gangguan kepribadian lainnya. Minimnya cerita tentang masa lalu Padi membuat penokohannya sulit digolongkan sebagai hoarder.
Jika perilaku Padi dirancang lebih rapi dengan referensi gangguan psikologi tertentu, mungkin novel ini akan menjadi lebih menarik lagi. Kenangan saja tanpa penceritaan yang detil menjadikan alasan Padi meminta bukunya kembali terasa agak lemah. Penggarapan psikologi tokoh lain, terutama Gading dan Kingkin yang belum maksimal membuat emosi saya sebagai pembaca tidak sampai teraduk-aduk saat membaca novel Buku Ini Tidak Dijual.
Meskipun penggarapan pribadi tokoh-tokoh novel Buku Ini Tidak Dijual terasa tanggung, akhir kisah yang dibuat Henny Alifah cukup menggugah. Gading menjadi maklum kenapa sang ayah begitu mencintai buku-bukunya setelah tahu ada sesuatu yang tersimpan di dalam buku. Akhir kisah ini juga yang membuat Padi semakin sulit digolongkan sebagai hoarder. Saya hanya bisa menetapkan, Padi mungkin belum melepaskan semua emosi negatif dalam dirinya, bahkan mengunci emosi negatif itu di buku-buku koleksinya.
Jika suatu hari, novel Buku Ini Tidak Dijual dialihrupakan menjadi film, saya berharap emosi-emosi tokoh-tokoh diperlihatkan lebih nyata baik melalui dialog-dialog cerdas, ataupun perilakunya. Hal itu dapat membuat kita ikut hanyut dalam kisah Padi, Gading, serta Kingkin yang mengejar buku-buku, lalu mengatakan, “Buku-buku itu memang pantas tidak dijual.”
Jika suatu hari, novel Buku Ini Tidak Dijual dialihrupakan menjadi film, saya berharap emosi-emosi tokoh-tokoh diperlihatkan lebih nyata baik melalui dialog-dialog cerdas, ataupun perilakunya. Hal itu dapat membuat kita ikut hanyut dalam kisah Padi, Gading, serta Kingkin yang mengejar buku-buku, lalu mengatakan, “Buku-buku itu memang pantas tidak dijual.”
Penulis : Henny Alifah
ISBN : 978-602-1614-48-8
Penerbit : Indiva
Tebal : 198 halaman
Ukuran : 20 cm
Cetakan : Pertama, Jumadil Awal 1436 H./Maret
2015
Harga : Rp 46.000,00
Rujukan
DSM-5 (2013) Understanding Hoarding Disorder. Diunduh dari http://www.hoardingandsqualorsa.com.au/resources/DSM%205%20-%20Hoarding%20disorder%20definition.pdf pada 31 Desember 2015
Mandal, Ananya. (2012) Diagnostic Hoarding. 28 Juni 2012. Diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Diagnosis-of-hoarding-(Indonesian).aspx pada 31 Desember 2015
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2005) Psikologi Abnormal, Edisi kelima, Erlangga: Jakarta
Robson, Steve. (2012). Hoarder who has filled his flat with thousands of newspapers, magazines and books faces eviction because he is a 'fire hazard' 5 Desember 2012. Diunduh dari http://www.dailymail.co.uk/news/article-2243516/Compulsive-hoarder-Brian-Clenshaw-filled-flat-newspapers-magazines-DVDs-faces-eviction-disorder-got-control.html pada 29 Desember 2015
Wow detail ulasannya. Jadi tambah ilmu mengenai penimbun buku. Belum punya buku ini. sukses ya Ko. Jadi penasaran setelah baca ini.
BalasHapusSilakan baca ^_^
HapusKeren resensinya. Ada ulasan dari ref luar juga. Nggak sekadar ulasan inside bukunya
BalasHapusBiar beda dengan bahasan resensi Mbak Riawani Elyta ^_^
Hapuskeren mas koko ulasannya, jadi penasaran dengan Padi deh...aku ngga termasuk penimbun, setelah baca, bukunya langsung dijual wkwkwk
BalasHapus"Buku Ini akan Dijual" Bagus buat judul sequelnya ^_^
HapusParagraf ke lima baris ke empat ada typo : dima-diam. Kemudian typo di paragraf 12 baris pertama yaitu akibar.
BalasHapusKeseluruhan isi resensi ini begitu lengkap. Ulasan secara detail ditambah pengetahuan dari sisi psikologi yang disajikan cukup menarik dan menambah pengetahuan baru.
Paket lengkap yang super keren Mas Koko,good job banget. Saya membaca sampai berkali-kali, mengalir dan bergizi tulisannya.
Terima kasih Mas Koko Nata.
Alhamdulillah Erna menemukan typo. Berarti teliti banget bacanya
HapusWoah. Menarik. Baru tau banget ada yang namanya penimbun buku adalah termasuk kedalam salah satu ciri hoarding disorder, curiga saya termasuk bagian mereka. Haha. Pengen baca secara utuh, semoga aja kebagian rizki dapet bukunya hehe.
BalasHapusKalau masih suka berbagi (bukunya) mudah-mudahan bukan ^_^
HapusSubhanallah. Tulisan kak Koko luar biasa memukau. Nutrisi tulisan ini semakin berbobot dengan adanya riset dari berbagai sumber.
BalasHapusSaya kira Buku Ini Tidak Dijual adalah buku nonfiksi. Karena saya menganggap covernya serupa dengan buku Wreck This Journal.
Saya pernah menonton acara Oprah, tentang seorang perempuan yang bisa dikatakan sebagai hoarder. Di rumahnya terlalu banyak barang timbunan. Kebanyakan adalah sampah, karena plastik bekas pembungkus juga ia anggap berharga dan memiliki kenangan tersendiri, jadi ia tidak tega membuangnya. Oleh Oprah, si perempuan itu diberi penjelasan dan akhirnya ia mengerti meskipun berat hati.
Sementara di novel ini rupanya memiliki tema yang unik. Jarang sekali penulis Indonesia mengangkat tema ini. Iya kan, kak Koko? Bahkan ini adalah yang pertama kali! Keunikan lainnya adalah ternyata buku ini dilengkapi ilustrasi. Saya penasaran dengan pembuat ilustrasinya. Apakah itu garapannya sendiri atau kolaborasi dengan orang lain. Meskipun ilustrasinya nampak sederhana, tapi karyanya bersih dan rapi.
Agaknya buku ini menjadi buku wajib baca bagi para penggemar buku. Bisa jadi selama ini ia tidak sadar bahwa ia seorang hoarder. Daripada ditimbun, akan lebih bermanfaat jika buku yang sudah dibaca disumbangkan kepada taman baca atau tetangga yang kekurangan bahan bacaan :)
Iya, tema yang jarang diangkat menjadi salah satu alasan novel ini meraih juara pertama. Kalau baca di halaman prelim, islutrator orang lain. Bukan penulisnya
HapusKalau untuk levelnya sendiri gimana ya, Mas? Jadi kepikiran apakah diriku termasuk ke dalam salah satu levelnya ini? *sambil menatap galau ke buku-buku yang belum mendapat tempatnya di rumahku* Hikks ....
BalasHapusKayaknya perlu ke psikolog, Mbak jika ingin diagnosa lebih akurat. Tapi kalau 6 diagnostic criteria yang saya tampilkan belum terpenuhi semua, kayaknya belum jadi hoarder, deh
HapusSetelah baca resensi ini, aku jadi takut menemukan diriku seorang hoarder. Tapi aku jadi merasa tertarik sekali untuk segera membaca bukunya :)
BalasHapusSering-sering sumbangin aja bukunya, Hara
HapusUlasan yang menarik dan informatif, saya jadi penasaran pengen baca novelnya. Selain itu saya juga jadi tau yang namanya hoarder alias penimbun merupakan sejenis penyakit. Hiii.. jadi serem soalnya kadang saya juga merasa sayang sama buku atau benda lain meskipun gak separah orang yang ada dalam resensi ini.
BalasHapusKeren mas, tulisannya berbobot..
Terima kasih sudah mampir dan baca
HapusMantap. Saya suka gaya resensi spt ini. Pokoknya 3M deh: Mendeskripsikan, Mengalir, Mencerahkan. Saya pun jadi khawatir termasuk hoarder pemula nih, hehe.. Mau cek lagi dah barang simpanan ada yang sebenarnya sampah atau bukan. Terima kasih inspirasi berbentuk resensinya. Salam kenal. Afilin-FLP Jakarta (089673632751)
BalasHapusSalam kenal juga Afilin. Jangan-jangan kita sudah pernah bertemu :-P
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKetika membaca ulasan (resensi) mengenai "Buku Ini Tidak Dijual" dan membaca berbagai komentar di postingan ini, saya merasa yang ikut Giveaway punya Mas Koko akan sedikit geli, kok tulisan ini seperti menyinggung saya? (masing-masing peserta GA), karena saya yakin yang meninggalkan komentar di GA ini kebanyakan adalah para penikmat buku dan mungkin penimbun buku. hehe..., Lalu akan bertanya dalam lubuk hatinya "Apakah saya termasuk hoarder buku?"
BalasHapusBagi saya menarik sekali membaca resensi novel fiksi ini, karena penyajian yang mengalir dan dikemas dengan sajian ilmiah yang tercantum dari berbagai informasi mengenai apa itu "hoarder" dan kajian dari ilmu psikologi mengenai hal ini. Tulisan resensi yang mengalir dan hadiah yang berkaitan dengan para kutu buku memang menjadikan daya tarik untuk ikut dan berharap menjadi pemenang di Giveaway ini. :)
Sedikit berpendapat pula mengenai fenomena penimbun buku. Menimbun buku memang hal yang tak dapat dihindarkan bagi para penikmat buku, apalagi yang sering menggunakan buku-buku miliknya sebagai referensi untuk menulis. Yang sedikit keliru menurut saya adalah jika kita menimbun buku, tapi tak ada niat untuk membacanya atau orang yang menimbun buku hanya sekadar untuk dipamerkan di rak buku berkaca yang tertutup untuk dipamerkan dan menunjukkan bahwa dia seorang intelektual (padahal bukunya tidak dibaca).
Terakhir, semoga saya diizinkan dapat membaca buku aslinya secara utuh. Sehingga dapat melihat sisi-sisi unik lain yang mungkin belum diulas di postingan mas Koko ini. 😁
Nggak perlu izin khusus, bisa ditemukan di toko buku novelnya ^_^
HapusMakasih mas ya, setelah baca resensinya saya jadi tahu lebih banyak soal hoarding disorder. Apalagi disertai dengan referensi-referensi yang jelas. Top banget.
BalasHapusSetelah membaca resensi novel "Buku Ini Tidak Dijual", kupikir aku bakal kaya Padi deh seandainya buku-buku koleksiku dijual, apalagi tanpa pemberitahuan. Ga rela pastinya. ya walaupun aku bukan tipe-tipe hoarder sih tapi teman-teman sering bilang "gila makin numpuk aja tuh buku". Sampai sekarang pun rasanya aku ga rela kalo buku-bukuku dipinjam orang lain. Aku terlalu sayang sama buku-buku itu.
Mungkin di masa lalu, Nur Annisa sulit mendapatkan buku padahal suka sekali baca. Maka sekarang, ketika mampu memiliki buku secara mandiri, jadi sayang banget sama buku.
HapusAlhamdulillah setelah membaca resensi ini saya bisa mengerti dan memahami arti sebuah buku, buku boleh ada harganya tapi amalan ilmu dari buku tak akan ada harganya.
BalasHapusAyo menulis buku ^_^
Hapuswah! postingan Mas Koko kali ini sangat jauh berbeda loh dari resensi buku yang pada umumnya saya baca. Disini Mas Koko benar-benar memasukkan informasi tambahan mengenai apa yang Mas Koko curigai terjadi pada diri tokoh utama buku "Buku ini Tidak Dijual".
BalasHapusJujur saja informasi tambahan yang Mas Koko berikan disini benar-benar membuka pikiran saya dan menambahkan wawasan saya mengenai Hoarding Disorder. Dan dengan sedikit malu tercengang dan malu saya harus mengakui bahwa saya pun sepertinya sedikit mirip dengan Padi, memiliki obsesi tersendiri pada koleksi komik, anime dan bahkan artikel-artikel dari koran dan majalah terkait dengan komik dan anime!
Dulu saya malah sempat marah sekali pada Papa saat beliau hendak menjual komik-komik saya di pasar loak! Memang sih komik-komik itu sudah menumpuk begitu banyak hingga memenuhi kamar saya, namun saya masih saja menambahkan jumlahnya setiap saat. Ketika akhirnya saya berumah tangga dan komik-komik tersebut dirasa mengganggu, saya tetap bersikukuh menyimpannya dan meletakkannya di dalam gudang, sampai akhirnya rayap menggerogoti dan memakan buntelan berharga saya itu satu per satu. Saya sampai menangis tersedu-sedu saat harus memiisahkan komik-komik itu dan akhirnya menyaksikannya dibakar karena rayap yang menggila. T__T
Wah, kisah Kitty bisa jadi kisah fiksi yang bagus juga, nih
Hapuswah...bagus banget mas koko ulasannya, pengetahuan saya jadi bertmbah lagi nih. saya jadi tahu kalau ternyata ada penyakit yang namannya hoarding disorder.jadi pensaran sama akhir ceritanya. semoga aku bisa dikasih kesempatan untk membaca buku ini suatu saat nanti...
BalasHapusSilakan baca, bukunya sudah tersedia di toko buku
HapusWowwww bener ini Mas
BalasHapusAlhamdulillah, Mas Ali mampir juga
Hapuskisah unik dalam novel yg disandingkan dgn kisah nyata. apakah mungkin ide dr penulis datang dr kisah nyata tsb..
BalasHapushanya novelisnya yh tahu.. :)
terkait resensi yg dibuat maskoko sepertinya bukan sekedar resensi biasa namun lebih kepada sebuah resensi yg unik yangbisa dijadikan sbg sebuah esai tersendiri sepertinya nih.. :)
selamat atas resensi ygberbobot..
Terima kasih sudah sempat mampir dan baca Mas Saepullah
HapusCukup menantang, "berbahaya" dan menabrak pakem, saat juri LMNI menetapkan buku ini sebagai juara 1, di saat tulisan2 lain yang jadi pemenang ke-2, ke-3 dan seterusnya secara alur mungkin lebih "menghibur". Tetapi, keunikan tema ibarat sebuah medali emas yang bisa mengalahkan puluhan medali perak atau perungu. Bobotnya sangat tinggi. Sebab, buku yang baik, menurut kami--baik fiksi atau non fiksi--adalah yang meninggalkan jejak perenungan ketimbang sekadar puas terhibur.
BalasHapusEh, resensi ini juga cakep, karena membuat saya merenung. Ada ribuan judul buku di rumah saya... sebagian sudah tak saya baca. Apakah saya harus terus menimbunnya, atau mendermakan ke taman baca atau yang lebih membutuhkan?
Pilih taman baca yang telaten dan hati-hati banget menjaga buku dan janji buku bisa kita ambil/pinjam juga waktu-waktu.
HapusAda nggak ya taman baca kayak gitu ^_^