Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Kasus Kekerasan Anak
Jumlah kasus kekerasan pada
anak-anak selama 4 tahun terakhir mengalami kenaikan. Komisi Nasional Anak
(Komnas Anak) melaporkan telah terjadi 21.689.797 kasus kekerasan
terhadap anak-anak Indonesia pada 2010-2014 di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota1. Bentuk kekerasan tersebut berupa
kejahatan seksual sekitar 42-58%. Lainnya berupa kekerasan fisik, penelantaran,
penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual
komersial serta kasus-kasus perebutan anak.
Pada awal Maret 2015 LSM Plan
International dan International Center for Research on
Women (ICRW) juga melaporkan hasil penelitian di lima negara Asia: Hanoi
(Vietnam), Siem Reap (Kamboja), Distrik Sunsari (Nepal), Distrik Umerkot
(Pakistan), Jakarta dan Kabupaten Serang (Indonesia). Salah satu hasil
penelitian dengan metode survei itu menyebutkan, sekitar 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Survei dilakukan pada Oktober 2013 hingga Maret
2014 dengan melibatkan 9.000 siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah,
orang tua, dan perwakilan LSM2.
Menurut survei itu, 33% pelaku kekerasan adalah guru atau staf nonguru serta
59% anak laki-laki. Hanya 30% saja jumlah rata-rata siswa saksi kekerasan yang
melaporkan aksi kekerasan atau berupaya menghentikannya.
Contoh kekerasan yang belum lama terjadi menimpa
Hasranda. Siswa kelas I di satu SD Kabupaten Rokan Hulu, Riau itu meninggal
dunia setelah dirawat oleh 3 rumah sakit setempat. Anak berusia 7,5 tahun itu
mengaku sakit setelah dikeroyok oleh 5 teman sekelasnya. Pengeroyokan itu
menyebabkan kerusakan syaraf di bagian belakang kepala dan menyebabkan bagian
kanan mengalami lumpuh3.
Fakta-fakta tersebut memberikan gambaran bahwa
sebagian anak di Indonesia melakukan kekerasan yang merupakan perilaku
antisosial di sekolah. Menurut Connor, perilaku antisosial merupakan perilaku
menentang kepada norma-norma yang sedang berlaku dalam masyarakat4. Rutter, Giller, dan Hagell (1998)
mengemukakan perilaku antisosial sebagai perbuatan-perbuatan yang melanggar
hukum yang merujuk pada perilaku orang-orang usia muda5. Beberapa dari perilaku antisosial ini
seringkali muncul selama masa remaja, yang menjadi pertanda kuat bagi diagnosa gangguan
kepribadian antisosial (antisocial
personality disorder) saat beranjak dewasa6.
Antisosial versus Prososial
Perilaku antisosial adalah kebalikan dari perilaku
prososial. Perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang dilakukan
demi menolong orang yang sedang kesulitan, membantu orang meraih tujuannya,
membuat nyaman orang dengan memberi pujian dan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap orang lain dan tidak mencari kesenangan pribadi7 Pada anak-anak dan remaja, perilaku
prososial berkaitan dengan perilaku berbagi, bekerja sama, membantu, merasa
empati dan peduli dengan sesama. Selain itu juga, perilaku altruistik dengan
pengorbanan diri dan perilaku normatif (misalnya, menjadi anak yang baik)
dikatakan sebagai perilaku prososial8.
Beberapa penelitian menunjukkan kemampuan empati
pada anak memiliki hubungan dengan munculnya perilaku prososial9,10 Semetara itu Karr-Morse dan Wiley
(1997) menyampaikan bahwa perilaku antisosial dan perusakan diri sendiri
cenderung didorong oleh kemampuan empati yang rendah11.
Menurut Borba12,
empati adalah kemampuan untuk memahami atau mengerti perasaan orang lain,
sensitif akan kebutuhan dan perasaan orang lain, mau membantu orang lain
yang tersakiti dan atau dalam masalah serta memperlakukan orang lain dengan
penuh kasih. Borba juga berpendapat, anak-anak yang memiliki empati akan lebih
peduli terhadap orang lain dan mampu mengendalikan amarahnya. Empati bisa
menghentikan atau mengurangi perilaku agresif dan mendorong anak memperlakukan
orang lain dengan baik. Hal tersebut dapat membantunya bergaul dengan orang
lain seiring dengan semakin luas pertemanannya.
Empati Melalui Bacaan Fiksi
Djikic dan Keith menuturkan dalam jurnalnya, bahwa
salah satu cara untuk menanamkan empati dapat melalui bacaan fiksi. Membaca
cerita fiksi dapat membantu seseorang membayangkan bagaimana melihat sesuatu
dari sudut pandang orang lain. Semakin banyak seseorang membaca cerita fiksi,
semakin berkembang kemampuan empatinya untuk memahami orang lain13. Penelitian-penelitian yang
diungkapkan Djikic dan Keith dapat menjadi sandaran bahwa membaca cerita fiksi
memberikan pengaruh terhadap empati seseorang.
Fong, Mullin, and Mar (2013) mengemukakan cerita
fiksi genre roman memiliki hubungan erat dengan peningkatan empati. Kisah
keluarga dan petualangan juga menunjukkan hubungan yang positif namun cerita
fiksi ilmiah menunjukkan hubungan yang negatif14.
Buku-buku fiksi dengan tema roman, keluarga dan petualangan seperti itu, mudah
kita temukan di toko buku Indonesia, teruta di kota-kota besar.
Pengaruh buku cerita pada anak-anak telah diteliti
oleh Satya (2013)15. Pada
penelitian tentang Efektivitas Pembacaan
Buku Cerita Pada Program Peningkatan Kemampuan Empati Anak Usia 6-7 itu, terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor kemampuan empati anak usia 6-7 tahun,
sebelum dan sesudah mengikuti pembacaan buku cerita selama empat hari
berturut-turut. Partisipan adalah 27 anak PAUD Melati di Kelurahan Sunter Jaya,
Jakarta Utara. Metode pengukuran empati menggunakan Empathy Continuum Scoring Manual yang dikembangkan oleh Strayer
(1993). Setelah mendengarkan cerita, partisipan ditanya mengenai perasaan tokoh
dalam cerita dan alasannya serta bagaimana perasaan partisipan sendiri dan alasannya.
Skor diberikan berdasarkan ketepatan perasaan tokoh dalam cerita dan
partisipan, juga ketepatan alasan timbulnya perasaan partisipan dengan alasan
tokoh cerita.
Penulis Cilik Sebagai Agen Empati
Pasar buku Indonesia menawarkan buku-buku fiksi
yang ditulis oleh anak-anak namun dikemas baik layaknya buku fiksi anak karya
penulis dewasa. Dimulai oleh penerbit Mizan, Bandung, yang menerbitkan
buku-buku dengan nama serial Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) pada Desember 2003.
Buku pertama ditulis oleh Sri Izzati saat masih berusia 7 tahun berjudul Kado
untuk Ummi. Satu bulan kemudian buku kumpulan puisi berjudul Untuk Bunda
dan Dunia karya Abdurrachman Faiz ketika berusia 8 tahun.
Sampai Desember 2013, Mizan telah menerbitkan 300 lebih buku karya penulis
cilik16.
Menurut Ratna Sarumpet (dalam Pratiwi, 2009), karya
penulis cilik menonjol karena kesederhanaan, kepolosan, dan kejernihan mereka
dalam memotret berbagai persoalan di sekitar mereka. Kisah-kisahnya dekat
dengan kehidupan sehari-hari anak dan jauh dari kesan menggurui. Para penulis
cilik dapat menggambarkan permasalah anak-anak seusianya tanpa harus sok
dewasa. Selain itu harga buku anak yang ditulis anak lebih murah daripada
buku-buku anak yang ditulis oleh orang dewasa, berkisar pada Rp25.000-Rp40.000.
Umumnya tebal buku sekitar 100 halaman dengan ukuran hurup yang cukup besar
agar mundah dibaca anak-anak, sehingga ongkos produksi dapat ditekan dan
harga jual terjangkau uang saku anak.
Penulis-penulis cilik umumnya dibesarkan pada
lingkungan keluarga menengah. Orang tua rutin membelikan buku setiap bulan.
Menghadiri pameran dan bazar buku adalah kegiatan keluarga yang biasa
dilakukan. Anak-anak tersebut dapat memilih sendiri buku yang ingin mereka
baca. Orang tua menganggap membaca adalah kebiasaan positif yang perlu
didukung. Orang tua penulis cilik sebagian besar merupakan lulusan perguruan
tinggi dan suka membaca. Orang tua mereka memberikan contoh kebiasaan membaca
dan atau mendongeng sejak anak usia dini. Beberapa anak yang pada tahun 2000-an
dikenal sebagai penulis cilik seperti Adam, Caca, Faiz, dan Sri Izzati
mempunyai orang tua yang berprofesi sebagai penulis atau terbiasa menulis juga.
Lingkungan menstimulasi mereka untuk membaca sejak dini sehingga pada akhirnya
mereka menulis bahan bacaan untuk mereka sendiri atau anak-anak seusia mereka17
Anak-anak usia 6-11 tahun perilakunya sangat
dipengaruhi oleh teman sebaya18.
Jika penulis cilik bisa dikondisikan sehingga memiliki empati dalam tingkah
laku dan tulisannya, mereka dapat menjadi agen untuk memengaruhi anak-anak
sebaya mereka secara langsung atau melalui media sosial internet. Misalnya
saja anak-anak yang sudah terbiasa menulis ini diberi pengalaman mengunjungi,
berinteraksi, bahkan tinggal selama beberapa hari di lingkungan kediaman
anak-anak yang kehidupannya tidak seberuntung mereka; contohnya Desa SOS.
Penulis cilik diajak menyelami kehidupan pribadi anak-anak yang kurang
beruntung itu. Selanjutnya, penulis cilik distimulasi agar menuliskan
pengalamannya menjadi buku cerita sehingga bisa mengajak anak-anak lingkungan
sekolah dan rumahnya untuk berempati terhadap kehidupan anak-anak yang kurang
beruntung.
Emphatic Writing Camp
Saya pernah beberapa kali mengadakan program pelatihan
singkat menulis untuk anak-anak pada liburan sekolah semester ganjil dan genap.
Program itu diselenggarakan di bawah payung organisasi Forum Lingkar Pena. Pesertanya
tidak banyak, kurang dari 10 atau belasan orang saja agar pelatihan fokus dan
tertangani oleh SDM yang terbatas. Tujuannya untuk mengasah kemampuan menulis anak
serta mempertemukan anak-anak yang sama-sama memilki hobi membaca dan menulis.
Beberapa di antaranya terus menjalin pertemanan di dunia maya dan bersaing
sehat dalam menulis buku.
Program pelatihan menulis saat liburan itu dapat dirancang
ulang dengan menyasar penulis. Program pelatihan ini bisa kita sebut emphatic writing camp. Mereka dikirim ke
tempat tinggal anak-anak dhuafa, berkebutuhan khusus, tuna ganda atau anak-anak
yang menurut sebagian besar masyarakat kurang beruntung. Selama tinggal bersama
anak-anak yang kurang beruntung itu mereka dapat melihat, dan merasakan
kehidupan anak-anak itu. Tidak ada perlakukan khusus atau berbeda, mereka harus
menjalani keseharian anak-anak yang kurang beruntung itu, kemudian membuat
kerangka cerita untuk diselesaikan saat kembali ke rumah masing-masing. Ide
cerita haruslah berdasarkan kehidupan anak-anak yang dilihat dan dirasakan para
penulis cilik.
Beberapa penerbit buku senang menerima naskah dari
anak-anak yang sudah terbiasa menulis. Terlebih penulis cilik yang juga aktif
di media sosial. Tanpa sadar penulis cilik itu melakukan soft selling dan membangun serta mengelola pasar pembacanya. Jika kerja
sama dengan penerbit terjalin, buku dari program emphatic writing camp dapat terbit sehingga anak-anak Indonesia
mendapat bacaan dengan konten empati yang sudah dirancang sedemikian rupa. Penulis
cilik itu pun biasanya mau diajak mempromosikan buku secara offine berupa kunjungan atau
bincang-bincang proses kreatif di sekolah-sekolah. Apabila program ini
berlangsung tiap liburan semester sekolah, kampanye untuk berempati terhadap
kehidupan anak-anak yang kurang beruntung serta pasokan buku bermuatan empati
akan selalu tersedia setiap enam bulan, bahkan sepanjang tahun. Empati yang
terus tumbuh dan berkembang di dalam diri anak-anak itu mudah-mudahan
melahirkan kepekaan dan ide-ide cerdas untuk membuat Indonesia lebih baik di
masa depan.
Daftar Pustaka
1. Aprionis. (2015). 21 Juta
Kasus Kekerasan Menimpa Anak Indonesia. 23 Oktober 2014. Diunduh dari
http://www.antaranews.com/berita/460296/21-juta-kasus-kekerasan-menimpa-anak-indonesia
pada 12 Maret 2015
2. Arief, Tian. (2015). 84 Anak Indonesia Alami Tindak Kekerasan di
Sekolah. 4 Maret 2015. Diunduh
http://www.gatra.com/nusantara-1/nasional-1/136751-survei-menunjukkan,-84-anak-indonesia-alami-tindak-kekerasan-di-sekolah.html
pada 12 Maret 2015
3. Sani, Abdullah. (2015). Lumpuh 2 Bulan Siswa SD yang Dikeroyok Teman
Meninggal Dunia. 30 April 2015. Diunduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/lumpuh-2-bulan-siswa-sd-yang-dikeroyok-teman-meninggal-dunia.html
pada 5 Mei 2015
4. Connor, F. D.( 2002). Aggresion and Antisocial Behavior in Children and Adolescence. New
York: The Guilford Press.
5. Rutter, M., Giller, H., & Hagell, A. (1998).
Antisocial Behavior by Young People.
Cambridge: Cambridge University Press.
6. Eddy, J. M., & Reid, J. B. (2001). The Antisocial Behavior of the Adolescent
Children of Incarcerated Parents: A Developmental Perspective. Diunduh
dari http://aspe.hhs.gov/hsp/ pada
25 April , 2015
7. Eisenberg, N., & Mussen, P.
M. (2001). The Roots of Prosocial
Behavior in Children. New York: Cambridge University Press.
8. Radke-Yarrow M, Zahn-Waxler C, Chapman M.
(1983) Children’s Prosocial Dispositions
and Behavior. Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization,
personality, and social development. (7th ed.). New York: John Wiley.
9. Eisenberg, N., & Miller, P. A., (1987). The Relation of Emphaty to Prosocial and Related
Behaviour. Psychological Bulletin, 101 (1), 91-119.
10. Eisenberg, N., & Strayers, J. (1987). Emphaty and Its Development. New York: Cambridge
University Press.
11. Karr-Morse, R., & Wiley, M. S. (1997). Ghostfron The Nursery – Tracing The Root of
Violence. New York: The Atlantic Monthly Press.
12. Borba, M. (2001). Building Moral Intelligence: The Seven Essential
Virtues that Teach Kids to Do The Right Thing. San Fransisco: Jossey-Bass A
Wiley.
13. Djikic, Maja., & Oatley, Keith. (2014). The Art in Fiction: From Indirect
Communication to Changes of the Self . Psychology of Aesthetics,
Creativity, and the Arts 2014, Vol 8 No 4, 498-505.
14. Fong, K., Mullin, J. B., & Mar,
R. A. (2013). What You Read Matters:
The Role of Fiction Genres in Predicting Interpersonal Sensitivity. Psychology
of Aesthetics, Creativity, and the Arts, 7, 370-376.
15. Satya, Widiana, F., (2013). Tesis: Efektivitas
Pembacaan Buku Cerita pada Program Peningkatan Kemampuan Empati Anak Usia 6-7,
Depok: Universitas Indonesia.
16. Rhamdani, Benny. (2013). 10 Tahun KKPK
Gelar Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2013, diakses 20 April 2014
(http://media.kompasiana.com/buku/2013/09/23/10-tahun-kkpk-gelar-konferensi-penulis-cilik-indonesia-2013-592401.html)
17. Pratiwi, Mega. (2002). Gambaran Proses
Anak Menjadi Penulis Cilik. Depok, Universitas Indonesia
18. Papalia, D.E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development Tenth Edition. New
York: Mc Graw Hill
Sumber ilustrasi Pidas81.org
Wah, daftar pustakanya keren2 juga. Idenya menarik, na kalo kita org dewasa menuliskan seperti yg dilakukan penulis cilik, bagaimana .
BalasHapusOrang dewasa seringkali sudah banyak urusan, jadi nggak sebagian belum bisa fokus menulis saja ^_^
HapusMantab pisan. Semoga menang.
BalasHapusAmin....
HapusKomplit! Good luck, Mas. :)
BalasHapusTerima kasih sudah membacanya, MBak Wiek
Hapus