Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Cerpen Pelangi untuk Jingga ini, karya Sherina Salsabila. Ia berhasil meraih juara pertama pada Lomba Menulis Cerita Anak tingkat SD/MI tahun 2012. Saat menulis cerpen bertema Kasih Sayang ini, Sher masih tercatat sebagai siswa kelas VI SDN Jatirahayu VIII Bekasi. Cerpen ini dimuat ulang dari buku elektronik 13 Naskah Terbaik Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) 2012 yang juga berjudul Pelangi untuk Jingga.
Selamat membaca, semoga menginspirasi
Pelangi untuk Jingga
Pulang sekolah siang itu, aku turun dari becak.
Membayar ongkos, dan segera membuka pintu pagar. Tiba-tiba pita rambutku
ditarik oleh seseorang dari belakang. Tapi aku sudah tidak kaget lagi, karena
pastilah itu si Jingga. Aku menoleh padanya sambil tersenyum. Jingga pun
tertawa dengan girang, sembari berlari menuju rumahnya.
Usia Jingga sebaya denganku. Seandainya dia normal,
barangkali saat ini Jingga juga telah duduk di kelas 6 sepertiku. Wajahnya
cantik, dengan mata sedikit sipit. Muka cantik itu selalu terlihat polos,
apalagi kalau ia sedang diam. Tak seorang pun akan menyangka kalau Jingga adalah
anak yang berkebutuhan khusus.
Jingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Ia
hanya bisa mengucapkan beberapa kata, dan kata yang sama selalu diucapkan berulang-ulang.
Aku dan Jingga berkawan baik. Kami bertetangga, dan sama-sama tinggal di
komplek perumahan yang padat penduduk.
Jingga jarang keluar dari rumah. Kedua orangtuanya
melarang Jingga untuk sering bermain di luar. Karena selalu saja ia menjadi
bahan olok-olok, diejek, bahkan dijauhi. Tidak hanya anak-anak saja, bahkan para
orangtua mereka pun, seringkali tak mau anaknya bermain dengan Jingga.
Tapi tidak demikian halnya denganku. Aku selalu tetap
berusaha untuk menerima Jingga apa adanya. Bahkan Mama dan Papa sangat senang
ketika aku bisa bermain dan tertawa bersama Jingga. Kata Mama, alangkah baiknya
jika kita bisa menemani Jingga. Mengajari ia untuk mengenal hal-hal unik diluar
sana, yang mungkin belum Jingga ketahui.
Kedekatan aku dan Jingga bermula dari sebuah lukisan.
Sebuah kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan. Ketika itu aku sedang menyelesaikan
sebuah lukisan yang akan aku ikutkan dalam sebuah perlombaan tingkat kotamadya.
Lukisan itu temanya tentang Hijaunya Alamku. Aku mengerjakannya berhari-hari
dengan penuh kesungguhan. Begitu cermat dan teliti, dari siang sepulang
sekolah, hingga tiba suara adzan Maghrib menyapa. Dari sinilah awal kisah itu
dimulai. Yakni pada sebuah Maghrib yang hampir gelap. Saat aku berhenti sejenak
dari lukisanku, untuk mandi dan berwudhu lantaran harus menunaikan sholat.
Ketika kembali ke ruang belajar itulah, aku melihat
Jingga sedang tertawa gembira. Tak ada yang aneh dengan kebiasaan Jingga yang seperti
itu. Tapi..., seketika kakiku terasa lemas. Kepalaku langsung pusing seketika.
Lukisanku! Ya Allah, lukisan itu. Aku melihat Jingga tengah mencorat-coret
lukisanku, menyembur-nyemburkan cat air dengan kuas, sambil tertawa gembira!
Lukisan yang telah susah payah aku kerjakan beberapa hari ini, hancur dalam
sekejap. Rusak akibat goresan cat air yang ditorehkan Jingga di atasnya....
Dalam pelukan Mama, aku menangis sejadi-jadinya. Aku
mengadu sambil memperlihatkan lukisan yang telah dirusak Jingga.
Mama menghiburku dan mengajakku untuk memperbaiki lukisan
itu. Tapi mana mungkin? Aku tak akan mungkin sanggup mengulangnya lagi dari
awal. Karena lukisan itu harus diserahkan besok pagi kepada Panitia Lomba. Ah,
percuma saja aku menghabiskan tenaga, mengeluarkan semua emosiku berhari-hari.
Kini yang tinggal hanyalah balasan tawa geli dari Jingga. Bahkan sepertinya ia
mengejek, dan ikut memberi saran mustahil, dengan mengacung-acungkan tangannya
keatas. Huhhh..., aku benar-benar sangat kesal pada kamu, Jingga!!
Sepertinya Mama memahami perasaanku pada Jingga.
Dengan lembut Mama membujuk Jingga agar menjauh dariku. “Pulanglah Jingga, besok
pagi boleh bermain lagi.”
Setelah Jingga pulang, aku memandang lukisan yang
hampir sempurna itu dengan perasaan hancur. Betapa tidak, di balik gunung yang
berwarna hijau bersih itu, seharusnya adalah langit biru cemerlang. Tapi kini
telah diubah oleh Jingga, menjadi warna-warni yang tak beraturan. Sedih, marah,
dan sangat kecewa.
Tak berapa lama kemudian Papa yang baru pulang dari
kantor menghampiriku. Rupanya Mama telah menceritakan semuanya pada Papa. Dengan
lembut Papa memberi semangat padaku, agar mau memaafkan Jingga, dan menghiburku
agar bisa memperbaiki lukisan itu tanpa membuatnya dari awal lagi. Papa
meyakinkanku bahwa aku pasti bisa mengolah lukisan itu menjadi lebih indah
lagi, karena kata Papa aku memiliki jiwa seni yang bagus. Setelah mengecup
keningku, Papa meninggalkan aku diruang belajar itu sendirian.
Papa saja yakin aku bisa membuatnya jadi lebih bagus,
mengapa aku tidak? Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Lalu aku meletakkan lukisan itu diatas meja gambar, mengeluarkan peralatan
dengan lengkap, dan mulai berimajinasi dengan lukisanku. Aku melihat coret-coretan
Jingga, mematut gradasi warna-warni itu..., aha...!! Aku tahu bahwa semburat
pelangi di balik bukit itu akan membuat langit biru menjadi sangat indah.
Yup.., pelangi yang indah seperti namaku, Pelangi.
Aku mengerjakan lukisanku sambil membayangkan wajah Jingga
yang sedang tersenyum manis. Huffffttttt, akhirnya selesai juga. Sekarang
lukisan itu menjadi jauh lebih hidup. Aku tersenyum puas. Kemudian
memperlihatkan lukisan itu kepada Mama dan Papa yang berada di ruang tamu. Mama
memuji karyaku, Pelangi.
“Ini benar-benar jauh lebih indah dari yang tadi,
Sayang...,” Mama memelukku. Papa menyambung pujian Mama, “Betul sekali. Itu
semua karena ada sebuah pelangi yang cantik menghiasi langitnya.” Aku pun
mencium pipi Mama dan Papa seraya berterimakasih telah memuji karyaku ini.
Aku segera masuk kamar dan tidur. Rencananya besok
pagi setelah mengirim lukisan itu ke Kantor Pos, aku akan membelikan es krim
buat Jingga. Sebagai tanda permintaan maafku padanya. Sungguh aku menyesal telah
memarahi Jingga.
***
Waktu
berlalu tanpa terasa. Ketika itu aku tengah bermain bersama Jingga. Seseorang
datang, membunyikan bel dan menunggu di teras rumah. Aku meninggalkan Jingga dan
berlari menghampiri. Ternyata seorang lelaki pengantar surat dari Kantor Pos.
Ia menyodorkan sebuah amplop surat, yang jelas tertera di sudut kanannya adalah
namaku. Dengan tak sabar aku membukanya. Dengan perasaan gemetar aku membaca
isi surat, yang ternyata adalah sebuah pemberitahuan. Ya Tuhan! Dalam surat itu
tertulis bahwa aku, menjadi pemenang Lomba Melukis Tingkat Kotamadya!! Dan hebatnya
lagi, aku menjadi juara satu.
Betapa
senangnya hatiku. Aku langsung berlari menemui Mama. Mama sangat senang sekali,
dan berkata bahwa kemenanganku ini adalah berkat andil Jingga. Aku pun memeluk
sahabatku itu dengan bahagia, dan bertekad dalam hati akan mengajari Jingga
melukis.
Sejak
saat itu, setiap Jingga bermain ke rumahku, aku selalu menyediakan kertas serta
krayon. Sambil menggoreskan krayon di atas kertas, aku mengajari Jingga
nama-nama warna. Juga tak lupa mengeja warna-warna itu dalam bentuk kata. Hari
demi hari berlalu bersama Jingga, kami gembira kala menggambar dan belajar
mengucapkan nama benda yang kami warnai. Ternyata Jingga anak yang luar biasa berbakat.
Lihatlah sekarang, dia sudah tahu nama semua warna. Bahkan Jingga juga sudah
mampu mengucapkan banyak kata.
Suatu
sore, hujan baru saja berhenti Jingga berlari menuju rumahku sambil membawa
peralatan gambarnya. Tapi dia tidak segera masuk seperti biasanya, hanya
berdiri di pinggir pagar rumahku. Dari sana dia berteriak dan meloncat-loncat
gembira seraya memanggilku dengan gerakan tangannya. Aku pun keluar
menemuinya.... Tahukah kamu teman, apa yang diperlihatkan Jingga padaku?
Dia
menunjuk ke arah langit dan memperlihatkan gambar yang telah dibuatnya. Karena
ia begitu heboh, beberapa teman lain di komplek itu juga ikut mendekati kami. Lalu
dengan sangat jelas Jingga berkata, “P E L A N G I..”
Tidak
itu saja, Jingga juga memamerkan suaranya dengan menyanyikan lagu Pelangi.
Diam-diam, kesungguhan Jingga menyihir yang lain untuk ikut serta. Teman-teman,
dan juga aku, secara spontan mengikuti irama Jingga bernyanyi. Sungguh suasana
menjadi gembira. Dari kejauhan aku melihat Mama dan ibunya Jingga berpelukan.
Mereka terharu melihat Jingga, dan terutama sikap teman-teman yang biasanya menjauhi
Jingga.
Semakin
hari Jingga semakin ceria. Sekarang Jingga sudah tidak lagi seperti Jingga yang
dulu, Jingga yang dijauhi dan dibenci oleh semua orang, perlahan-lahan sirna.
Kini Jingga sudah memiliki banyak teman, dan sudah bisa bergaul dengan siapa
saja.
Kegembiraan
kami di sore itu meyakinkan aku akan satu hal. Bahwa kasih dan sayang yang
tulus, akan menghantarkan banyak kebahagiaan dalam hidup kita.
Aku
melihat langit. Sebuah pelangi muncul di antara deretan awan. Indah sekali,
seperti mewakili persahabatan kami. Aku dan Jingga. [*]
sumber: Buku Elektronik Antologi Cerpen LMC-SD/MI 2012
sumber: Buku Elektronik Antologi Cerpen LMC-SD/MI 2012
Cerita yang hebat
BalasHapusAlhamdulillah. Senang dikunjungi Mas Ali
Hapus