Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Kisah-kisah tentang bencana alam masih jarang diangkat oleh para
penulis cilik. Mungkin para penulis cilik jarang yang terkena bencana alam atau
bersentuhan langsung dengan bencana alam itu.
Syukurlah seorang anak dari berusia 11 tahun yang tinggal di Bogor
bernama Rubee Putri Risdiyanto menuliskannya. Rubee menggunakan sudut pandang
pakaian yang disumbangkan dalam menuturkan ceritanya.
Berdasarkan penuturan Rubee pada biodatanya di antologi 15 Naskah
Terbaik Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) Tahun 2014, sepertinya cerpen ini bukan
berdasarkan kisah nyata yang dialaminya. Meskipun begitu, ceritanya cukup bagus
dan menyentuh sehingga menjadi juara 3 Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) Tahun
2014. Selamat membaca, semoga terinspirasi.
Kisah
Perjalanan Sebuah Baju
Oleh: Rubee Putri Risdiyanto
Gempa bumi bisa terjadi setiap saat, dan selalu menimbulkan
kekhawatiran bagi para penghuni pantai. Bermacam kesibukan, serta suara-suara
mesin kapal, bisa langsung lenyap dalam sekejap. Bencana alam telah membuat segalanya
menjadi sunyi.
Sebuah
tas itu terlihat dari dalam lemari yang terbuka.
Inilah
saatnya! Aku harus siap berdesak-desakan dengan teman-temanku, dan tidur di
dalamnya.
“Bu,
apakah ini jadi dibawa?” ujar suara yang sering kudengar. Hari ini ia tidak
seperti biasanya. Ia memegangku dengan sangat-sangat kasar.
“Terserah
kamu aja, Ndok. Tapi cepetan ya!” ujar suara yang selama ini merawatku
dengan baik. Ia memasukkanku ke dalam tas begitu saja tanpa melipatku. Aku
berpikir ia akan melipatku. Ternyata tidak, resetling itu langsung ditutup
dalam hitungan detik.
Kulihat
teman-temanku dengan wajah yang cukup kusut dan itu mengartikan bahwa mereka
sedang bersedih. Mataku tertuju pada sebuah celana panjang yaitu, konco
cedekku. Aku menyapanya.
“Hai,
friends,” sapaku sambil bergaya. Kemarin aku mendengar kata-kata itu,
dari pemilikku yang tengah belajar bahasa Inggris.
“Kenapa?
Gaya banget si Jutek,” ujar Lana sambil mengejek namaku.
“Ugh,
aku gak suka nama itu tau. Lagian namaku Judek, bukan
Jutek,” kataku membela. Lana hanya diam saja, tidak seriang biasanya. Aku
sering melihat Lana sedih tapi aku tak pernah melihatnya sesedih ini.
”Kenapa
Na? Kan asyik kita mau merantau ke tempat yang lebih jauh,” hiburku. Tapi Lana
masih saja terlihat sedih.
”Ju,
kamu gak tau kita mau dibawa kemana?” tanyanya.
”Nggak
tau tuh, kayaknya kita mau dibawa ke puncak gunung deh. Soalnya
pemilik kita bawa bajunya banyak sih,” ucapku.
”Kita
mau dibawa ke pasar loak tahu!” ujarnya lagi sambil berusaha menahan tangisnya.
Kalimat itu cukup mengagetkanku. Aku terdiam membisu dan berusaha menenangkan
diri.
Tak
lama kemudian aku merasa diangkat oleh seseorang yang belum kukenal. Refleks
aku langsung membuka mataku dan mencari teman baikku, Lana. Tak terlihat kain
indah yang berwarna ungu muda dengan hiasan bunga dan pernak-pernik di
kantungnya. Tidak pula terlihat teman-temanku yang lain.
Setelah
beberapa lama mendengar percakapan pemilikku, Mela, dengan penjaga toko pakaian
bekas. Aku tahu bahwa teman-temanku tidak jadi dijual. Hanya aku saja yang
dijual. Walaupun aku sedih tapi aku menahan tangisanku. Pikirku, siapa yang mau
membeli atau memakai baju bekas yang usang? Selama hampir lima tahun ini aku
menemani Mela, dan akulah baju yang paling sering melekat pada tubuhnya karena
aku adalah baju favoritnya. Tapi sekarang Mela sudah besar dan aku sudah tidak
muat lagi ditubuhnya. Oleh sebab itu, sekarang disinilah aku berada, gudang
toko pakaian bekas. Ah, tadinya aku sempat berharap Mela mau mengirimkan aku ke
panti asuhan. Aku masih ingin dipakai oleh siapa saja. Tapi apa daya....
* * *
Sudah
tiga hari aku digantung di sudut ruangan. Di tempat ini, aku mendapatkan teman
bernama Tunglek, si gantungan baju yang sedang menggantungku. Juga Dunglek, si
kerudung coklat. Mereka sudah tiga tahun di toko ini. Aku bingung mengapa
Dungle, tidak tidak pernah dibeli orang, padahal menurutku kain berwarna coklat
dengan renda-renda berwarna putih itu cukup bagus. Mungkinkah karena ia terletak
di sudut ruangan? Ah sudahlah tidak usah dipikirkan aku menjadi semakin pusing.
“Dung,
kok namamu Dungle sih kan gak cocok untuk kamu?” tanyaku.
“Ah
ceritanya panjang.... Jadi waktu itu sang penjaga toko membeli gantungan baju
baru yang sangat banyak, salah satunya adalah Tunglek,” jelas Dungle memulai
sambil tersenyum ke arah Tunglek. “Sebetulnya waktu itu aku masih satu bulan
disini tapi aku merasa aku sudah sangat lama berada di tempat ini, jadi aku
mengejek teman-teman baru. Dari banyak yang kuejek hanya Tunglek yang membalas
ejekanku. Lalu dibalasnya aku dengan sebutan pengejek. Aku nggak terima
jadi ya dia kuejek dengan sebutan Tunglek atau gantungan jelek. Ternyata dia
juga nggak terima jadi ngejek aku dengan nama Dungle atau kerudung elek.
Nah, kan kita saling nggak terima jadi keterusan deh. Dan
sekarang itu adalah identitas kami,” jelas Dungle panjang lebar.
Aku
hanya tertawa sedangkan Tunglek hanya diam dengan wajah cemberut. Dilanjutkan
dengan pembicaraan seputar toko, Tunglek masih saja diam yang sepertinya masih
marah. Dari pembicaraan tadi aku mengerti bahwa Dungle masih ingin digunakan
lagi. Aku mengerti tiga tahun terpajang di sudut toko yang jarang dikunjungi
oleh orang, pasti itu sangat membosankan. Tiba-tiba lamunanku lenyap saat
Dungle selesai bicara dan banyak teriakan-teriakan manusia.
Tiba-tiba
tubuhku terasa bergoyang-goyang. Getaran hebat membuat diriku jatuh, begitu
juga dengan Tuglek yang menimpaku. Wajah Tunglek panik dan kebingungan. Dug.
Terdengar suara Dungle dan teman-temannya terjatuh menyusulku dan Tunglek.
”Tsunamiiiii!!!
Tsunamiiiiii!!!” bercampur suara keras menderu yang membuat telingaku menjadi
sakit.
”Judek...
apa yang terjadi???” teriaknya. Tak sempat sampai kujawab pertanyaan Dungle,
dalam hitungan detik air membasahiku dan menarikku serta seluruh isi bangunan
gudang ini entah kemana. Gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Beberapa saat
kemudian, kubuka mataku, ah... ternyata air ini membawaku ke lautan lepas. Apa
gerangan yang terjadi? Bagaimana aku bisa sampai ke laut? Di mana
teman-temanku? pikirku. Kejadian ini teramat cepat untuk kucerna. Kuputuskan
untuk berteriak minta tolong, tapi itu sama sekali tidak membuahkan hasil.
Akhirnya kututup saja lagi mataku dan mencoba menahan rasa dingin yang tidak
bisa dihindari. Aku hanya berharap, semoga diriku bertemu dengan daratan.
Tak
tahu aku menunggu apa. Tapi pikiranku tentang lautan yang luas ini selalu
menghantuiku. Sampai kapan aku mengambang di sini? Sampai kapan aku harus
terpanggang dibawah teriknya matahari? Aku tidak ingin membayangkan kalau aku
akan tersangkut di karang apalagi bertemu dengan ikan bertubuh licin yang memakan
rumput laut? Oh..., jangan sampai ada ikan yang tertarik untuk mengoyakku,
doaku.
Tiba-tiba
dari kejauhan seperti terdengar suara-suara yang sekian lama tak asing bagiku,
itu suara-suara kesibukan manusia! Ternyata sebuah kapal sudah berada tak jauh dari
tempatku mengambang. Kapal itu mengeluarkan jaring dan menangkapku bersama
ikan-ikan kecil yang lainnya. Sampailah aku di geladak kapal bersama ikan-ikan
yang mengelepar-gelepar.
“Terimakasih
Tuhan engkau telah menolongku,” ujarku dalam hati. Tak lama kemudian manusia
yang menebarkan jaring itu memegangku dan berkata “Iki kelambi sik iso
dienggo, wis tak jupuk ae.” Ia memasukkanku ke dalam kantong plastik yang
terpisah dengan ikan. Aku senang sekali ternyata aku masih berada di tanah
Jawa. Orang itu membawaku ke sebuah rumah. Aku dicucinya dan dijemur dibawah
terik matahari. Ah…, aku merasa wangi dan segar kembali. Tak sabar aku
menunggu, siapa gerangan yang akan memakai aku. Setelah kutunggu lama ternyata
belum ada satupun anak yang mengenakanku. Aku masih teronggok di lemari terbuka
bersama lipatan baju-baju lainnya.
Beberapa
kali sempat kudengar pembicaraan nelayan-nelayan muda itu. Kuketahui akhirnya
bahwa mereka adalah nelayan yang berasal dari Jawa dan menetap di pantai
Sumatra Utara. Ah, jadi kesimpulannya, sekarang ini aku berada di daratan
Sumatera. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah melewati lautan yang sangat luas
itu.
“Mesake
sing jadi korban Gunung Sinabung,” ujar nelayan pertama, dengan bahasa Jawa
yang kukenal. “Kasihan yang menjadi korban letusan Gunung Sinabung,” begitulah
kira-kira kalau diterjemahkan. Aku menjadi tahu, ternyata tsunami yang
menyeretku jauh ke laut itu akibat letusan Gunung Sinabung.
“Iyo,
lek ono duwit akeh yo aku gelem nyumbang. Lha wong golek iwak musime koyok
ngene angel tenan…” nelayan lain di depannya menjawab. Aku kembali
menerjemahkan kalimat yang diucapkan nelayan itu dalam hati, yang artinya,
“Iya, kalau punya uang banyak aku ingin memberi sumbangan. Tapi ikan sedang
tidak musim, sangat sulit mendapatkan ikan...”
“Lha…
lek niat nyumbang, gak mesti duwit tho…iku lho ono kelambi akeh nggak kanggo.
Wes kirimen ae kelambi-kelambi kui,” sambung nelayan pertama sambil
menunjuk ke arah lemari tempat kuberada. (Lha.... kalau berniat menyumbang, kan
tidak mesti harus uang. Baju yang tidak terpakai juga boleh. Ya sudah, kirimkan
saja baju-baju itu.)
“Oke
bos, tak ringkesi yo, sesok tak deleh neng mesjid tempate ngumpulno sumbangan”
(Baik, aku bungkus saja baju-baju itu. Besok pagi kita letakkan baju-baju itu
di mesjid tempat orang-orang mengumpulkan sumbangan), kata nelayan itu sambil
memasukkanku dan beberapa lipat baju lainnya ke kantung plastik. Keesokan
harinya dia menyerahkan kepada petugas yang mengurus sumbangan untuk para
korban.
Tak
lama setelah menempuh perjalanan panjang aku melihat tenda besar yang dipenuhi
oleh ribuan orang. Kulihat banyak sekali orang di dalam tenda ini, ada yang
sedang menangis, sedang wawancara, mengantri makanan dan berebutan mengambil
kiriman bantuan.
“Bapak
dan ibu ini ada kiriman bantuan. Silahkan diambil bagi yang memerlukan!!!”
teriak bapak petugas yang membagikan kiriman bantuan.
Tiba-tiba
seorang anak mencengkramku dengan kuat. Aku kaget sekali. “Mak aku dapat baju!”
ujar anak yang mencengkramku tadi.
“Ya
bagus, Nak. Pegang erat-erat, nanti direbut orang. Baju itu bisa kau pakai
untuk mengganti bajumu yang sudah satu minggu tak kau ganti, Nak,” kata Ibunya.
Aku terkejut karena ia hanya mempunyai satu baju yang layak pakai.
Aku
bersorak, akhirnya aku dipakai orang lagi. Betapa senang rasanya bisa dipakai
kembali apa lagi oleh orang yang sangat membutuhkanku. Aku juga baru tahu
ternyata beginilah kehidupan di pengungsian. Baju hanya satu dipakai
berhari-hari, kekurangan makanan dan lain-lain. Tapi mereka hebat tidak
mengeluh dan menjalani semunya dengan ikhlas. Aku menyesal karena terkadang aku
masih saja mengeluh.
Terimakasih
Tuhan, tidak ada yang lebih berarti bagiku selain bisa bermanfaat untuk orang
yang membutuhkan. Semoga aku tetap bisa bermanfaat sampai kainku menjadi lapuk
oleh tanah..., amin. Begitulah doaku. [*]
Seru dan asyik mas jalan ceritanya, dibuat lagi dong :D
BalasHapusNanti saya coba muat lagi karya peserta lainnya
Hapuscerpen nya keren
BalasHapusSemoga menginspirasi
Hapus