Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Cerpen Betapa Hebatnya Dia karya Intan Nurhaliza ini terpilih sebagai pemenang pertama Lomba Menulis Cerita Anak tahun 2013 (LMCA 2013) oleh Kemendikbud. Seperti dua tahun sebelumnya, kali ini pemenang utama pun mengisahkan tentang anak berkebutuhan khusus dalam keluarganya. Namun tidak ada keterangan di biodata penulis yang menyebutkan kisah ini diangkat dari pengalaman penulis sendiri.
Terlepas dari kesamaan tema dan pola cerita dengan pemenang utama 2 tahun sebelumnya, cerpen ini memang berkualitas. Tak percaya? Silakan baca dan bandingkan sendiri.
Betapa Hebatnya Dia
Oleh: Intan Nurhaliza
Sungguh aku tidak
membenci Jihan, adikku satu-satunya. Dari hatiku yang terdalam, sesungguhnya
aku sangat mengasihinya. Namun, entah mengapa hingga saat ini aku belum bisa
menerima Jihan yang terlahir sebagai adik kandungku.
Jihan
terlahir sedikit berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Dengan kata lain, ia
mempunyai ‘dunianya sendiri’. Nada bicaranya sedikit lambat. Cara kerja otaknya
dalam berpikir pun berbeda dengan teman-teman seusianya. Dilihat dari fisiknya,
posisi kepala Jihan sedikit miring ke kanan, tidak tegak. Terkadang air liur
sesekali jatuh dari mulutnya. Hal inilah yang membuatku belum bisa menerima
kehadirannya sejak ia lahir dari rahim Mama.
“Jihan
anak yang hebat. Mama bangga padanya,” begitu kata Mama, ketika aku
membandingkan Jihan dengan adik Nisa, Riri. Jujur, sampai saat ini aku masih
suka membanding-bandingkan Jihan dengan anak normal lainnya, termasuk Riri.
Bagaimana tidak, Riri, teman akrab Jihan itu, jauh lebih aktif daripada Jihan.
Riri juga mempunyai kegemaran yang sama denganku. Ia senang melukis. Lukisannya
bagus untuk anak seusianya.
“Bangga?
Apa yang bisa Mama banggakan dari Jihan, Ma? Dia itu berbeda dengan Riri. Dia
berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Dia itu enggak…” Mama memotong
pembicaraanku. Ditadahkannya jari telunjuknya di bibirku. “Ssst.... Jangan
keras-keras bicaranya, tidak enak kalau Jihan mendengarnya.”
Sampai
saat ini, aku belum bisa melupakan kata-kataku itu. Setelah kupikir-pikir, aku
bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. Bagaimana tidak, ucapan dari mulutku itu
telah menyakiti hati Jihan. Baru kutahu akhir-akhir ini, ternyata Jihan
mendengar pembicaraan kami saat itu. Setelah kejadian itu, Jihan lebih sering
mengharapkan perhatianku. Menurutku, Jihan ingin menunjukkan kepadaku betapa
hebatnya dia. Namun, tetap saja, ia adalah anak yang berbeda.
Tak
jarang aku mencacinya di belakang Mama. Hampir setiap hari aku selalu marah
pada Jihan. Betapa menjengkelkannya dia. Pernah aku mengurungnya di kamar
ketika Mama pergi. Hari itu, perilaku Jihan sangat menyebalkan. Ia mengganggu
minggu pagiku yang cerah dengan semua kelakuannya yang aneh. Jihan menawarkanku
segelas sirup buatannya. Aku mengangguk saja. Lagipula, aku tengah asyik dengan
acara film hari ini. Kubiarkan Jihan membuat sirup sendiri di dapur. Tak lama,
Jihan datang dengan dua gelas sirup yang ia janjikan. Namun, bukan segelas
sirup segar yang kudapat, melainkan pecahan gelas kaca. Ya, Jihan membawa
nampan gelas sirup itu tidak hati-hati. Alhasil, aku harus membersihkan pecahan
gelas itu dan mengepel rumah hingga bersih. Menyebalkan.
Suatu
hari, aku baru saja pulang dari sekolah. Dengan tubuhku yang lemas, aku
mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, Jihan membukakan pintu, dan menyambutku
dengan teramat manis. “Eh, kakak.. sudah pulang..” bicaranya lambat sekali. Aku
membalasnya dengan senyum simpulku. Kemudian, berlalu dari hadapan Jihan.
“Kakak,
tunggu…” Lagi-lagi Jihan memanggilku. Aku menarik napas sejenak. Aku berbalik.
Menatap Jihan yang tersenyum manis. “Ada apa lagi?”
Jihan
tidak menjawab, tetapi tersenyum-senyum kepadaku. Sembari memainkan
jari-jarinya, ia memandangku dengan malu-malu. “Kak, Jihan mau diajarin
melukis, dong.”
Uh!
Hari ini saja aku sudah sangat sibuk di sekolah. Tugas sekolahku minggu lalu
menumpuk. Aku belum sempat mengerjakannya, karena minggu lalu aku harus
menemani Jihan bermain di rumah Nenek. Ini permintaan Mama, kalau saja bukan
Mama yang menyuruhku menemani Jihan di rumah Nenek, aku tidak akan mau
menemaninya. Lagipula, aku harus berlatih piano, karena dua minggu lagi sekolah
akan mengadakan pentas tahunan. Belum lagi, les melukis yang menambah padat
jadwalku.
“Tidak
bisa, Jihan. Kakak harus menyelasaikan tugas sekolah. Dan, minggu depan, Kakak
sudah mulai ujian. Kakak harus belajar dari sekarang,” aku berusaha sabar
menanggapi adikku ini. Kulihat raut wajah Jihan yang murung. Dia menunduk
mendengar jawabanku. Tak sampai hati aku melihatnya, namun bagaimana lagi, aku
benar-benar harus mengerjakan tugasku. “Minta diajarin Mama saja ya,”
Aku mengelus rambut Jihan. Ia tidak menjawab apa-apa dan meninggalkanku begitu
saja.
Jadwalku
yang padat, memang membuat waktuku dengan Jihan berkurang. Kata Mama, Jihan
kesepian. Ia senang jika aku menemaninya walau hanya sebentar. Namun, tetap
saja aku memiliki aktivitas sendiri. Aku memang sering mengabaikannya. Aku
bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. “Setelah Kakak ujian, Kakak akan
menyediakan waktu untukmu, Jihan,” aku bergumam sambil mengambil buku tugasku
di meja belajar.
Aku
masih larut dalam tumpukan buku pelajaranku. Samar-samar kulihat Jihan datang
menghampiriku. Tampaknya ia membawa hasil lukisannya. “Kakak, lihat nih,
Jihan juga bisa melukis, lho,” Jihan bersemangat sekali. Ia berlari-lari
menghampiriku. Dan, yang terjadi setelah itu…. Brak! Lukisan Jihan jatuh tepat
di buku yang sedang kupelajari. Lukisan itu benar-benar baru diselesaikannya.
Ah, benar-benar menjengkelkan!
“Jihan!
Sudah Kakak bilang, jangan ganggu Kakak! Lihat! Apa yang kamu lakukan? Kamu
tidak mengerti? Kakak bilang, Kakak mau belajar, jangan diganggu!” Aku marah,
karena tulisan di bukuku hampir tidak terbaca. Tumpahan cat warna memenuhi buku
itu. “Dasar anak enggak… ah….”
Sejak
saat itu, Jihan tidak pernah menggangguku lagi. Ia banyak menghabiskan waktunya
di kamar. Entah apa yang dia lakukan di kamar. “Cinta, coba kamu ajak adikmu
keluar dari kamar. Sejak kamu berangkat sekolah, ia mengabiskan waktunya di
kamar. Mama ajak keluar enggak mau, coba kamu rayu,” Mama menasihati
sambil duduk di ranjangku. Aku menanggapinya acuh tak acuh. Ah, Jihan, Jihan
dan Jihan…, batinku kesal. Terkadang aku merasa Mama terlalu banyak menaruh
perhatian pada Jihan, sehingga waktuku bersama Mama terbuang untuk Jihan.
“Sudahlah,
Ma. Paling Jihan sedang tertidur, atau dia asyik dengan hal-hal konyolnya. Dia
kan anak yang berbeda, enggak…,” Mama menatapku tajam, memotong
pembicaraanku. Sepertinya ada yang salah dari perkataanku tadi. “Berhenti,
Cinta! Berhenti mengolok-olok adikmu. Berhenti mengungkit-ungkit kekurangannya.
Jihan selalu berniat menolongmu, tapi dengan keterbatasannya, kamu harus
mengerti. Ingatlah, berapa kali kamu menyakiti hati lembutnya,” Mama
meninggalkan aku sendiri di kamar. Ah, tetap saja perkataan Mama tidak membuat
rasa jengkelku pada Jihan, terhapuskan.
Tok..
Tok.. Tok.. Seseorang mengetuk pintu
kamarku. Kudengar langkah kakinya menapaki lantai. Segera kubuka pintu kamarku.
Tidak enak jika aku tidak membukanya, apalagi kalau yang mengetuk itu Papa atau
pun Mama. Ceklek! Bukan sosok manusia yang kutemui, melainkan sebuah
surat di depan pintu kamar. Aku meraih surat itu. Kubuka dengan perlahan.
Untuk Kak Cinta tersayang
Kak,
Maafkan Jihan ya. Jihan salah karena sudah merusak buku kakak. Jihan tau,
kakak marah. Di mata kakak, Jihan selalu salah. Tapi, memang Jihan anak yang
membawa sial. Anak yang enggak normal, seperti kata kakak. Kak, sekali
lagi maafin Jihan ya. Sebagai permintaan maaf, Jihan mau kakak datang ke
taman. Jihan mau tunjukin sesuatu. Jihan tunggu kakak sampai datang ke
taman.
Salam manis,
Adik
Kak Cinta yang menyebalkan
Entah
mengapa hatiku tidak luluh membacanya. Sepucuk surat itu tidak sukses membuatku
ingin menemuinya. “Ah, malas sekali aku datang ke taman. Lagipula, kenapa harus
di taman sih? Aku sangat mengantuk dan terlalu lelah untuk menemui
Jihan,”
Sudah
kuduga. Aku tertidur pulas sekali. Dan, sepucuk surat dari Jihan masih di
genggamanku. Samar-samar kudengar Mama mengetuk pintu kamarku sembari memanggil
namaku. “Masuk saja, Ma. Tidak dikunci kok,” aku menanggapinya.
“Cinta,
tolong cari adikmu. Heran, ke taman saja sampai petang. Terlebih di luar hujan
deras sekali,” ucap Mama sembari masuk ke kamarku. Dug! Aku jadi
teringat surat yang diberikan Jihan. Dia menungguku di taman. Segera kuambil
payung milikku, lalu berlari menuju taman dengan tergesa-gesa.
“Jihan!
Jihan! Ini Kakak, Jihan,” Aku berteriak memanggil nama Jihan. Mencarinya di
sekitar taman perumahan yang luas. “Jihan, kamu dimana?” suaraku semakin
menggema mencari Jihan. Tetes air hujan ikut mengiringi perjalananku mencari
Jihan, adikku yang manis.
Dari
kejauhan kulihat sosok anak yang terbaring di tengah taman. Perasaanku mulai
bercampur aduk. Aku merasa sangat bersalah kepada adikku sendiri. Betapa
teganya aku mengabaikannya. Mengabaikan semua kebaikannya kepadaku. Oh,
Jihan....
“Jihan?”
Mataku menatap seorang anak yang terbaring lemah dengan gulungan kertas di
genggamannya. Aku tersentak. Sosok itu benar-benar Jihan adikku. Bibirnya pucat
sekali. Dia tergeletak lemas di taman dengan hujan yang membasahi tubuh
mungilnya. “Jihan, bangun..., ini Kakak…, maafkan Kakak Jihan, maafkan Kakak…,”
aku menggerak-gerakkan tubuh Jihan.
Aku
belum bisa membayangkan betapa kejamnya aku terhadap adikku sendiri. Aku
membuat adikku harus terbaring lemas di rumah sakit dengan jarum infus di
tangannya.
Sekali lagi kulirik Jihan yang belum juga terjaga setelah kejadian
kemarin. Aku sangat menyesalinya. Andai saja, aku menuruti permintaanya untuk
datang ke taman. Semua tidak akan berakhir seperti ini. Baru kutahu, Jihan
memintaku datang ke taman karena ia ingin menunjukkan hasil lukisannya. Dia
melukis dua orang anak perempuan yang bergandengan tangan. Anak perempuan yang
pertama lebih tinggi dari yang kedua. Di bawah lukisan anak perempuan yang
pertama terdapat tulisan ‘Kak Cinta yang cantik’. Dan, gambar anak perempuan
yang kedua bertuliskan ‘Jihan yang menyebalkan’. Lukisannya dipulas dengan
warna yang indah. Terdapat tulisan ‘Jihan sayang kak Cinta’ di atas lukisan
itu. Hampir menangis aku melihat lukisan Jihan. Terlebih saat aku mengetahui,
Jihan harus menahan laparnya demi menyelesaikan lukisannya di kamar. Jihan juga
merangkai bunga-bunga membentuk tulisan ‘Maafkan Jihan kak Cinta’. Sayangnya,
aku menyia-nyiakan usaha adikku itu. Aku telah membuatnya kecewa. Aku bukanlah
kakak yang baik untuk Jihan. Rangkaian tulisan dari bunga-bunga itu sedikit
hancur terkena hujan kemarin sore. Namun, aku tetap mengabadikannya di kamera handphone-ku.
Dan, ketika Jihan tersadar nanti akan kutunjukkan ‘Betapa Hebatnya Dia’. Mama
benar, Jihan anak yang hebat. “Jihan, cepatlah tersadar…. Nanti Kak Cinta
ajarin Jihan melukis… Kak Cinta sayang Jihan.” [*]
Komentar
Posting Komentar