Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Penulis remaja usia SMP masih sedikit yang menulis
cerita bertema kebudayaan untuk majalah-majalah remaja atau buku cerita fiksi
keluaran penerbit-penerbit ternama. Mungkin minimnya minat pembaca remaja
terhadap tema itu memengaruhi pembelian majalah atau buku. Akibatnya redaksi
majalah atau penerbit jarang mengangkat tema kebudayaan kecuali pada edisi atau
momen khusus saja. Namun tema-tema budaya Indonesia harus kita angkat, sebab
ada kecenderungan remaja lebih menyukai budaya negara lain, Korea Selatan
misalnya.
Untunglah ada Lomba Menulis Cerita Remaja untuk siswa
SMP/MTS yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikdas.
Salah satu tema yang harus diangkat peserta adalah Cinta Tanah Air. Khodijah
Wafia merupakan salah satu peserta yang mengangkat tema kebudayaan, khususnya
Budaya Warak Endok di Semarang. Judul cerpennya Cheng Ho di Balik Etalase
Budaya Semarang berhasil
meraih juara pertama Lomba Menulis Cerita Remaja 2012 untuk siswa SMP/MTS . Saat
menulis cerpen ini, ia masih duduk di kelas IX, SMPIT Bina Amal.
Silakan dibaca, mudah-mudahan banyak inspirasi yang
dapat kita peroleh dari cerita ini.
Cheng Ho di Balik
Etalase Budaya Semarang
Oleh:
Khodijah Wafia
Semburat cahaya mentari menyilaukan pandanganku.
Sengatan teriknya memanggangku tanpa pamrih. Aroma anyir kembali menusuk
hidungku. Tumpukan sampah yang berserakan mengenai jemari kakiku yang beralas
sandal jepit. Pasar tradisional berlautkan manusia kuterjang dengan sigap. Cucuran
peluh membasahi wajah Cinaku.
Kali Mberok tak menyurutkan langkahku untuk sekedar
berhenti menatap indahnya
arsitektur Semarang tempo dulu. Kata Mamiku, tata letak jembatan Kali Mberok
mirip salah satu jembatan ternama di Venezuela. Ah, tapi kali ini lebih mirip aliran
sampah. Tumpukan sampah menggunung di tepi Kali Mberok.
Langkahku semakin jauh dari Kali Mberok. Pupil
tajamku menatap seorang wanita tua yang sedang asyik menawar buah di antara
desakan pembeli. Wanita dengan lilitan emas di lehernya juga beberapa rakitan
emas yang bertengger di tangannya membuat derap langkahku kian cepat. Ujung
dompetnya menyembul dari tas mewah tersebut. Kumulai aksiku di tengah keramaian
Pasar Johar. Aksiku berhasil dengan mulus. Kubalikkan badanku menjauh dari
kerumunan. Dompet hitam hasil rampasan kusembunyikan di balik bajuku.
Pelarianku terhenti tepat di depan klenteng dengan
daun pintu yang tebal dan
kokoh berhias beragam ukiran dewa. Aroma semerbak hio, asap lilin dan minyakpun
tercium dengan jelas. Degupan kencang jantungku menjadi saksi aksiku. Kutarik
lembaran-lembaran rupiah merah dari dompet hitam itu. Aku bergegas memasukkan
lembaran uang itu ke saku celanaku. Garis tipis senyumku tersirat di antara
keringat yang menderai di wajahku. Kubuang dompet itu ke tempat sampah merah di
sebelahku.
Detak jantung yang belum stabil kembali kuajak
berlari. Menyusuri jalanan berhias
bangunan Cina dengan warna merah khas yang mencolok. Jejeran rumah beratap yu
bazaar, atap khas Cina menghiasi kanan kiri jalan. Aku terhenti di depan rumah
paling sederhana di sudut Pecinan.
“Kreek…”
Kubuka pintu merah berukir nagadengan perlahan.
Kulihat Papi masih memahat bagian kepala Warak Endog dengan khusyu’. Tak kuhiraukan
Papi yang asyik dengan aktivitasnya. Aku berlalu di hadapannya, menaiki tangga
bercat merah. Terbayang hamparan kasur empuk yang siap menangkap tubuhku.
“Xue Ying, barusan Papi ditelpon sama Ko Han, pelatih
Warak Endogmu.
Katanya
beberapa hari ini kamu tidak hadir di Sanggar Li Wei. Kenapa?” suara Papi menghentikan
langkahku menuju kamar.
Aku memang tergabung dalam Sanggar Li Wei. Sanggar
khusus anak keturunann Tionghoa beragama Islam. Tak jarang, sanggar tari ini
diundang dalam Festival Dugderan untuk menarikan Tarian Warak Endog.
“Xue Ying! Jawab pertanyaan Papi! Kemana saja kamu
selama ini?” tegas Papi menghentikan pahatannya. Lamunanku buyar. Kubalas
tatapan dingin Papi.
“Kenapa harus latihan? Percuma! Toh, ditampilkannya
hanya setahun sekali, kan? Lagian, Warak Endog sudah tidak banyak yang menyukai.
Tidak laku!” ketusku.
“Lha kalau bukan kita yang melestarikan siapa lagi?
Bagaimana orang-orang tertarik jika penarinya saja tidak semangat?” ujar Papi
sedikit membentak.
“Sudahlah, Pi. Warak Endog tidak akan membuat kita
kaya. Aku sudah memiliki penghasilan yang lebih baik untuk mendaftar SMA.
Daripada Papi, capek-capek menjadi pengrajin Warak Endog tapi hasil yang didapat
tidak seberapa!” ujarku seraya pergi meninggalkan Papi menuju kamar.
*
* *
Aku duduk di tepian Tugu Muda yang berdiri angkuh di
tengah keramaian kota. Percikan air mancur menyentuh tubuhku yang bersimbah
keringat. Kupandangi kendaraan yang lalu lalang di depanku. Matahari telah
meninggi, tapi satu mangsapun belum kutemukan.
Aku menatap bangunan tua bergaya indis di depanku.
Seakan memiliki daya magis, bangunan itu mampu menyeret langkah kakiku. Tak
kuhiraukan suara klakson yang menjerit dan umpatan-umpatan pengguna jalan yang
membentakku dengan kata-kata pedas. Kupandangi bangunan dengan ornamen lokal
yang sangat kental. Riuh pengunjung tak mengalihkan pandanganku untuk mengagumi
bangunan yang berusia hampir satu abad. Hiasan kaca patri di jendela menambah
kesan mewah dan elegan. Paras surya yang membuncah rupanya tak mampu memudarkan
kegagahan dan keanggunan Lawang Sewu, gedung yang menjadi landmark Kota
Semarang.
Gedung Lawang Sewu (2) |
Gedung yang terletak di depan Jalan Raya Pos
Daendelsini sejak pagi sudah sesak dengan kerumunan warga yang tertarik dengan
barang antik, wisata Lawang Sewu, atau bahkan hanya sekedar ingin menikmati
keindahan Lawang Sewu.
Aku berjalan menyusuri lorong panjang yang dipenuhi
pintu kayu di kanan kirinya.
Bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat tinggal pegawai NIS ini dilengkapi dengan ballroom, ruang makan yang luas, gedung serbaguna, hinggga gedung pertunjukan bahtera terbalik di lantai atas. Aroma kekejaman yang terjadi di
masa kelam terasa menyeruak meskipun asap-asap mengepul dari wingko dan lumpia, makanan khas kotaku yang harum menyerbak. Bingkaian lukisan indah terpampang di
sudut-sudut tembok lorong. Aroma lilin yang menjadi bahan dasar batik kotaku menjalar hingga tepi-tepi ruangan. Aku terkesima melihat budaya nusantara yang menyebar luas di Gedung Lawang Sewu.
Keindahan Lawang Sewu membuatku lupa pada tujuanku datang
ke gedung bercat putih ini. Mataku liar menyapu cekat pengunjung yang berlalu
dihadapanku. Aku mendekati sosok wanita yang menggendong anak. Ratusan warga
yang sesak mengantri untuk masuk ke Lawang Sewu membuat aksiku kian mudah
kujalani. Kubalikkan badanku dengan dompet yang kusembunyikan di balik saku
celana.
“Papi?” gumamku terkejut.
Lelaki tua itu berdiri tepat di depanku. Wajahnya
memerah. Kepalan tangannya nampak jelas, menandakan amarahnya yang sedang
bergejolak. Papi mendekatiku yang masih menata jantung. Papi menarik tanganku
dengan paksa, menyeretku keluar menjauhi kerumunan.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Papi. Tatapannya tajam
ke arahku.
“Em.. em..”
Aku tak mampu menjawab pertanyaan Papi. Tubuhku kaku.
Menggigil. Aku tak menyangka, Papilah yang memergoki aksiku. Tatapan Papi
nanar. Pendar-pendar kemarahan tergambar jelas dari sorot matanya.
“Sekarang, kembalikan dompet itu dan minta maaf pada
ibu tadi!” perintah Papi tegas. Aku pasrah, tak mampu berkelit. Mata tajam Papi
yang menatapku membuatku
ngeri dan harus mengembalikan dompet yang sukar kudapatkan. Aku segera
mengembalikan dompet itu, mengatakan pada ibu tadi bahwa aku tak sengaja
menemukan dompet yang terjatuh.
“Masuk ke mobil!” perintah Papi.
Deru suara mobil butut keluaran tahun 1970
peninggalan moyangku semakin membuat telingaku terusik. Mobil kuno dengan karat
yang menyelimuti tubuhnya berjalan dengan amat lamban. Beribu tanda tanya
bersarang di otakku. Sepatah katapun tak terlontar dari bibir Papi.
Pandangannya lurus ke depan. Aku menyimpan segudang tanya dalam pikirku.
Melempar bisu dalam mobil bercat coklat pudar.
Kurasakan roda mobil yang menggesek aspal semakin
lamban. Papi sengaja memberiku isyarat untuk menatap rangkaian huruf yang
bertuliskan Klenteng Sam Poo Kong berwarna hitam yang tertoreh di atas kayu
bercat merah. Sepasang naga bertengger di sekitarnya. Papi mulai menancap gas
kembali menambah kecepatan. Mobil butut yang dikendarai papi melewati pagar
kuning yang menjulang tinggi ke atas.
“Ciit…”
Mobil tua itu terhenti di sebuah bangunan megah
berwarna merah. Hiasan tulisan
Cina yang tertera pada lampion-lampion merah mengelilingi bangunan bernuansa Tionghoa. Papi mengajakku keluar mobil. Berjalan mendekati klenteng yang
berdiri kokoh dengan tiga lapis atap khas Cina. Pagar merah dengan sepasang patung singa terpampang kokoh di depan klenteng. Asap hio dan lilin dari dalam klenteng mengepul hingga sudut hidung kecilku. Kurajut jutaan tanda tanya yang mengelilingi otakku yang berkecamuk hebat.
“Papi, buat apa ke sini?” protesku pada Papi yang
seakan terhanyut dalam keindahan
klenteng itu. Papi tak menghiraukan seruanku. Telinganya seakan tak mau
mendengar suaraku.
Patung yang terletak di depan Klenteng Sam Poo Kong
itu memancing kaki Papi untuk mendekatinya. Papi menengadahkan kepalanya
menatap patung yang berdiri gagah di depannya. Mataku bergidik menatap wajah
patung itu.
Gapura Klenteng Sam Poo Kong dan Patung Cheng Ho (3) |
Sebagus
apa sih, patung ini? Biasa. Di klenteng-klenteng lain juga banyak kok! batinku
dalam hati. Aku memperhatikan Papi yang begitu serius menatap patung itu dari
atas sampai bawah.
Patung
siapa ini? Pemimpin? Atau kaisar Cina? Aku mulai menebak
patung itu dari pahatan yang membentuk pakaian petinggi dan pedang dalam
genggamannya.
“Xue Ying, kau tahu, mengapa namamu Xue Ying Cheng
Ho?” tanya Papi seraya memalingkan wajahnya ke arahku. Aku masih membisu,
kubiarkan Papi asyik dengan ceritanya.
“Cheng Ho adalah seorang pelaut dan penjelajah
Tiongkok terkenal. Cheng Ho telah melakukan tujuh kali pelayaran ke barat.
Setiap pengembaraannya dilakukan bersama lebih dari 200 kapal. Cheng Ho lebih
hebat daripada Columbus karena Columbus hanya berlayar menggunakan 3 kapal,”
Papi mulai bercerita tentang identitas namaku.
“Kau tahu, Xue Ying, mengapa Cheng Ho diberi
kepercayaan memimpin pelayaran oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming? Karena ia
cerdas dan ulet. Dia ingin membuktikan pada kaisar bahwa dia seorang pelaut
yang hebat.”
“Tapi aku bukan seorang pelaut! Atau bahkan
penjelajah! Aku bukan Cheng Ho kebanggaan Papi!” ketusku.
“Papi tahu, kamu tak harus jadi pelaut atau
penjelajah. Tapi kamu bisa
menyontoh
Cheng Ho,” ujar Papi.
“Ya, aku memang bisa menyontoh Cheng Ho. Tapi tidak
setelah Mami meninggal. Semua itu karena Papi! Papi yang telah menyebabkan Mami
terperangkap dalam kobaran api. Saat itu, kemana saja Papi?” emosiku mulai
beranjak. Teringat kejadian satu tahun lalu. Aku hanya melihat jasad Mami yang
tergulai kaku setelah pulang sekolah. Asap-asap mengepul daan emas-emas
berserakan yang menjadi rebutan warga.
Bulir-bulir tetesan air mata membasahi wajah letih Papi.
Sesekali ia menyeka air matanya yang terlanjur merintik. Entah karena menyesal
atau sedih melihatku, aku sama sekali tidak merasa iba. Aku tidak bisa menerima
kenyataan pahit ini.
“Papi tahu, kamu selalu menyalahkan Papi atas
kejadian itu,”
“Ya. Karena Papi memang salah. Harusnya Papi bisa
menolong Mami. Bukankah Papi selalu menjaga toko emas itu bersama Mami?” aku
memotong kata-kata Papi.
“Saat itu... Papi sedang sholat.” ujar Papi merintih.
Papi diam sejenak mengatur nafas untuk menahan perih di hati.
“Papi juga tidak menyangka akan seperti itu. Sebelum
Papi pergi ke Masjid
Kauman,
Mami masih baik-baik saja. Bahkan, Mami sempat mengajak Papi bercanda. Papi
juga tidak menginginkaan hal itu terjadi. Tapi kita harus menerima kenyataan. Kita
harus yakin bahwa inilah yang terbaik untuk kita. Allah punya rencana sendiri untuk
kita, Xue Ying.” ujar Papi
Aku tercekat. Selama ini memang aku sering
menyalahkan Papi, “Kenapa Papi tidak cerita kalau Papi sedang sholat?”
Papi menghela nafas panjang, “Karena Papi tidak ingin
melihatmu sedih. Setiap kali Papi menyinggung tentang Mami, wajahmu langsung
berubah. Papi tidak tega.”
Aku semakin tertunduk. Ternyata lelaki berahang keras
di sampingku sangat menyayangiku.
“Xue Ying, apa kamu masih ingat kalimat-kalimat yang
sering dikatakan Mami? Bahwa kita harus menjadi orang yang ulet dan jujur.
Setiap malam Mami selalu bercerita tentang Cheng Ho. Cheng Ho yang mampu
berlayar mengelilingi dunia yang tidak kalah jika dibandingkan dengan pelaut
dari negara barat. Ia berasal dari rakyat biasa, tetapi dengan keuletannya ia
menjadi salah satu kepercayaan kaisar dan orang terpenting dalam sejarah dunia.
Mamimu sangat mengagumi Cheng Ho,” Papi mengusap kristal-kristal bening yang
mengalir dari bola matanya.
Papi melanjutkan perkataannya, “Mami ingin melihatmu
seperti tokoh kebanggaannya, maka ia memberi tambahan namamu Cheng Ho.”
Aku menatap Papi tak berkedip, “Jadi…”
“Ya Nak, namamu adalah pemberian Mamimu. Cheng Ho
seorang ksatria. Ksatria
tak akan pernah melakukan hal-hal yang buruk. Jika Mami masih hidup, pasti
Mami akan sedih melihatmu mencuri. Kamu harus seperti Cheng Ho, dengan keuletanmu pasti kamu bisa mengubah kehidupan kita Nak,” cerita Papi panjang lebar.
Rengkuhan hangat menyapa relung hatiku. Aku seakan
mendapat tamparan lembut tentang semua kebodohanku. Klenteng Sam Poo Kong
menjadi saksi penyesalanku, membuatku tersadar akan hakekat hidup ini.
Langit telah beranjak senja. Klenteng singgahan
pengunjung hampir sepi. Sunyi menyelimuti suasana klenteng. Papi mengajakku pulang
ke rumah. Di perjalanan, aku menyusun tekad untuk memenuhi keinginan Mami.
Meyakinkan Mami dan Papi bahwa akulah Cheng Ho kebanggan mereka. Cheng Ho yang
ulet, jujur dan cerdas. Seperti namaku, Xue Ying Cheng Ho.
*
* *
Sang surya telah jauh melayang di hamparan langit
Semarang. Panas yang membakar tak menyurutkan semangat para pengunjung Festival
Dugderan.
Pancaran
sinarnya membuat pesona siang kian ramah. Riuh pengunjung memadati jalan.
Jejeran celengan gerabah terpampang rapi di depan kios sederhana tanpa etalase.
Kata Papi, tak hanya untuk menabung, celengan itu juga menyimpan makna yang
mendalam bahwa kita diperintahkan untuk menabung pahala di Bulan Ramadhan.
Pasar Johar tak terlalu kumuh untuk siang ini. Jemari
kakiku tak lagi mengenai gunungan sampah yang berserakan. Aroma anyir tak
terlalu menusuk hidungku. Hari ini warga Semarang ikut andil menyemarakkan
kedatangan Bulan Ramadhan. Tradisi turun menurun telah mengakar dalam balutan
kekayaan budaya Semarang.
Tabuhan bedug terdengar bertalu-talu. Mendesak
gendang telingaku secara paksa. Menggemparkan jalanan yang penuh dengan desakan
warga. Aku siap dengan baju warna-warni yang seragam dengan penari lain.
Warak Endog pada Festival Dugderan (4) |
Aku mulai menggerak-gerakkan tubuhku mengikuti irama.
Tarian Warak Endog
yang telah lama kutekuni bersama Ko Han dan penari lain membuatku lebih percaya
diri. Aku dan ketiga penari lain berhasil menggertak Festival Dugderan ini. Menari
lihai sambil membawa Warak Endog buatan Papi. Kambing berkepala naga ini seakan
menari di atas pundakku. Keuletan Papi dalam memahat kepala naga membuatku
semakin hidup dalam tarian paduan tiga budaya. Arab, Cina, dan Jawa. Warak
Endog adalah hewan imajiner yang mempunyai kepala naga, simbol etnis Cina.
Berbadan buraq, simbol etnis Arab. Berkaki kambing simbol etnis Jawa. Warak Endog
adalah gambaran Semarangku yang selalu hidup dalam toleransi tinggi. Beragam
masyarakat dari berbagai etnis, agama dan budaya yang unik, tapi kita dapat
hidup berdampingan.
Aku semakin larut dalam tarian Warak Endog. Deretan
manusia yang membanjiri tepian jalan semakin membuatku bersemangat
mempertontonkan kelihaianku dalam menari Warak Endog. Kata Papi, Warak Endog
adalah tarian pengendalian diri.
Aku lebih memilih menjadi penari Warak Endog.
Mengurung nafsuku untuk tidak
mencuri lagi. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tapi aku dapat melestarikan budayaku.
Dan yang terpenting, aku bisa belajar dari Warak Endog, mampu mengendalikan
diri dan dapat berlaku jujur. Seperti yang diharapkan Mami. Rezeki seberapa tak
masalah asal berkah dan halal. Mungkin dengan kondisi keluargaku yang seperti
ini, aku harus lebih ulet dalam belajar agar mendapat beasiswa untuk meneruskan
sekolahku. Tentunya seperti Cheng Ho kebanggaan Mami. [*]
Sumber foto:
(1) e-book Antologi kara Pemenang LMCR 2012
(2) www.beritamaya.com
(3) www.coretanpetualang.wordpress.com
(4) www.
Komentar
Posting Komentar